[Cerbung] Perawan Sunti dari Bawono Kinayung #16

[Cerbung] Perawan Sunti dari Bawono Kinayung #16

 

Enam Belas

Keping-Keping Terangkai

 

 

Perubahan dalam diri Kresna, tentu saja tak luput dari radar Wilujeng. Anak lelakinya yang satu itu sudah hampir seminggu ini muncul untuk menikmati sarapan bersama dengan diliputi aura yang lain daripada biasanya. Terlihat lebih ceria, bersemangat, tapi jadi sedikit lebih pendiam.

 

‘Kamu sedang jatuh cinta?’

 

Dituliskannya pesan itu melalui ponselnya. Jawabannya ia peroleh tak lama kemudian.

 

‘Aku sudah menemukannya, Bu.’

 

‘Siapa?’

 

‘Gadis yang sering muncul dalam mimpiku.’

 

‘Ah, senangnya! Kapan kamu kenalkan pada Ibu?’

 

‘Hahaha.... Nantilah, Bu. Kami belum ada seminggu ini bertemu. Dan, Ibu harus tahu, kisah kami aneh sekali!’

 

‘Aneh bagaimana?’

 

‘Kapan Ibu ada waktu? Aku ingin ngobrol berdua sama Ibu.’

 

‘Besok bisa, Kres. Kebetulan Pinpin mau diajak mancing ke Telaga Talok sama Ayah.’

 

‘Oke, besok aku jemput Ibu sekitar jam dua belas, ya? Aku selesai ngajar kelas ekstensi jam sebelas. Kita ngobrol di luar.’

 

‘Baik. Ibu tunggu.’

 

Wilujeng menghela napas lega. Beberapa minggu yang lalu, Seta sudah memperkenalkan secara ‘resmi’ kekasihnya pada mereka sekeluarga. Seorang gadis manis yang berprofesi sebagai guru TK. Erika namanya. Sepertinya memang cocok betul dengan Seta yang terkadang masih juga aleman. Pun, Pinasti langsung lengket padanya.

 

“Ngomong-ngomong, Erika mirip Ibu, ya?”

 

Begitu ucap Kresna saat itu, begitu Seta pergi untuk mengantar gadisnya pulang. Baik Wilujeng maupun Mahesa ternyata memiliki penilaian yang sama. Sorot mata Erika terlihat sangat teduh dan sikapnya begitu sabar. Keseluruhan sosoknya sangat sederhana.

 

Mereka sempat kaget ketika Seta muncul lagi seusai mengantar Erika pulang, dan bercerita bahwa Erika adalah putri tunggal Samudro Sancoyo, seorang juragan beras dan palawija terbesar se-Palaguna. Selain tetap menekuni profesinya sebagai seorang guru TK, Erika juga mulai belajar mengendalikan bisnis yang dibangun ayahnya. Sejauh ini, keduanya berjalan dengan cukup baik.

 

Wilujeng menoleh ketika Mahesa keluar dari kamar mandi. Bibirnya masih mengulas senyum. Laki-laki itu menatapnya sejenak.

 

“Senyummu selalu mengguncangkan duniaku, Jeng,” gumam Mahesa sambil menghempaskan tubuhnya ke ranjang.

 

Wilujeng tergelak mendengarnya.

 

“Ngomong-ngomong, istriku yang cantik ini kenapa bawaannya senyum-senyum melulu dari tadi?”

 

Wilujeng ikut merebahkan badannya, tepat di samping Mahesa.

 

“Kresna lagi jatuh cinta,” bisik Wilujeng.

 

“Oh, ya?” Mahesa menanggapinya dengan antusias. “Bagaimana ceritanya?”

 

Tapi Wilujeng menggeleng. “Aku belum tahu. Baru besok dia mau cerita banyak. Selesai ngajar pagi, dia mau ajak aku keluar.”

 

“Hm.... Jangan lupa berbagi cerita denganku.”

 

“Pastilah. Besok jadi pergi mancing dengan Pinpin?”

 

“Jadi,” angguk Mahesa. “Anakmu itu mudah banget dapat ikan.”

 

“Dikedipi juga ikannya datang sendiri, nyangkut di kail.” Wilujeng terkikik geli.

 

Mahesa tertawa lebar karenanya. Si bungsu mereka itu memang unik dan ajaib. Membuatnya dan Wilujeng nyaris tak pernah berhenti mengucap syukur atas kelahiran Pinasti.

 

* * *

 

Untuk sementara, ia dan Alma terpaksa merasa bahwa percakapan dalam hening itu sudah lebih dari cukup untuk mereka. Posisi keduanya belum memungkinkan untuk dekat secara fisik. Meskipun begitu, percakapan mereka berlangsung setiap hari. Saling menyapa, saling membuka diri, dan saling mengenal lebih dekat. Percakapan yang sungguh aneh. Baik ia maupun Alma cukup takjub akan kemampuan mereka untuk berkomunikasi secara telepati. Walaupun hanya ampuh untuk mereka berdua, tapi hal itu tetaplah mereka pandang sebagai keajaiban.

 

Kresna sendiri menyadari, ada banyak keajaiban yang singgah dalam hidupnya beberapa tahun belakangan ini, sejak peristiwa di Gunung Nawonggo itu. Dan, ia lebih ternganga lagi ketika tahu bahwa Alma adalah salah satu korban kecerobohan Alex. Betapa benang merah yang menghubungkan mereka sebetulnya sudah tersambung sejak semula!

 

 

 

‘Kami semua kehilangan Kak Alda. Aku juga hampir lewat. Tapi ternyata keajaiban itu masih ada. Juga ketika aku mendapat ganti saudara. Kalau dulu posisiku adik, sekarang posisiku kakak. Nama adikku Alto. Masih TK kecil.’

 

‘Wah, seusia Pinpin.’

 

Kresna bisa merasakan bahwa Alma tengah menahan tawa di seberang sana.

 

‘Kenapa?’ tanyanya kemudian.

 

‘Tadi itu, kukira Pinpin anak Mas Kresna, hahaha... Atau paling tidak keponakanlah. Ternyata....’

 

Kresna ikut tertawa. ‘Kalau benar aku sudah punya anak, kenapa memangnya?’

 

‘Hahaha... Entahlah. Aku lagi males mikir, nih!’

 

 

 

Kresna tersenyum lebar mengingat pembicaraan dalam heningnya dengan Alma Senin malam yang lalu. Pembicaraan yang mengerucut pada keakraban dan perasaan begitu dekat. Seolah mereka sudah lama saling mengenal.

 

Ya, barangkali mereka memang sudah saling mengenal cukup lama. Dalam mimpi. Dan, bagaimana itu bisa terjadi, ia tak bisa berhenti mempertanyakannya. Begitu juga Alma. Walaupun keduanya juga sama-sama tak punya jawaban yang cukup memuaskan hati.

 

Dihelanya napas panjang. Rasa-rasanya esok hari adalah waktu yang tepat untuk mengungkapkan semua itu pada ibunya. Dengan perasaan tenang ia kemudian berbaring di ranjang, dan mulai memejamkan mata.

 

* * *

 

Siang itu, setelah mereka duduk dengan nyaman dalam kedai kopi di sebuah pusat perbelanjaan, dan selesai memesan, Wilujeng menatap Kresna baik-baik.

 

“Nah, Ibu siap mendengarkan semua ceritamu,” ucap Wilujeng dengan seulas senyum teduh tersungging di bibirnya.

 

Kresna menghela napas panjang sebelum mulai bercerita. Semua tentang bagaimana mereka bertemu, rangkaian mimpinya, mimpi Alma, siapa Alma, apa hubungan kejadian yang pernah dialami Alma dengan apa yang dialami Alex, dan masih banyak lagi. Sempat terjeda sejenak ketika pramusaji menghidangkan makanan dan minuman pesanan mereka. Setelah itu, Wilujeng kembali mendengarkan dengan perhatian penuh.

 

“... Dan, Ibu percaya tidak? Kami bisa berkomunikasi secara telepati. Bahkan Seta dan aku pun tak pernah bisa melakukannya.” Kresna mengakhiri penuturannya.

 

Wilujeng mengangguk-angguk.

 

“Ibu tidak tahu kenapa rasanya banyak sekali keajaiban yang kita alami beberapa tahun belakangan ini, Kres,” gumamnya kemudian. “Menurutmu, berapa kemungkinan Ibu kembali secara utuh, selamat, dan tetap hidup setelah kecelakaan di Pegunungan Pedut?”

 

Kresna menggeleng. “Menurutku, hampir tak ada.”

 

“Nah! Tapi kenyataannya Ibu kembali, walaupun sama sekali tak ingat apa yang terjadi selama tiga belas tahun Ibu hilang.”

 

“Dan, aku mengalami kejadian yang sama,” sambung Kresna. “Walaupun hanya beberapa hari.”

 

Wilujeng kembali menatap Kresna dalam-dalam.

 

“Semua lukisanmu tentang padang bunga, padang rumput, matahari tenggelam, dan sebagainya itu...,” bisiknya, “entah kenapa rasanya akrab sekali dengan Ibu. Menatapnya, Ibu merasa seperti pernah berada di dalamnya.”

 

Kresna manggut-manggut.

 

“Dan, tentang nama Pinasti, kamu tentunya ingat bahwa kita menginginkan nama yang sama?”

 

Kresna menatap ibunya, tanpa bisa berkata apa-apa lagi. Sejenak kemudian ia tercenung menatap meja. Seutuhnya, ia memahami semua yang dirasakan Wilujeng, karena ia pun merasakan hal yang sama tentang semua keajaiban itu.

 

“Lalu, sekarang bagaimana denganmu dan Alma?”

 

Kresna sedikit tersentak ketika berhadapan dengan pertanyaan itu. Diangkatnya wajah.

 

“Aku tak bisa mengingkari perasaanku, Bu,” gumamnya kemudian, “bahwa dialah gadis yang sudah menempati sebagian hatiku sejak lama. Kalau ditanyakan ‘kenapa?’, maka aku pun sama sekali tak tahu jawabannya. Aku hanya... tahu. Begitu saja.”

 

Wilujeng kembali mengangguk-angguk. Seutuhnya ia memahami apa yang dialami anak lelakinya itu.

 

“Mm.... Ibu belum pernah bercerita tentang pengalaman Ibu dan Ayah beberapa tahun lalu, ya? Beberapa minggu setelah Ibu kembali, sebelum berangkat berlibur sama Ayah.”

 

“Belum,” Kresna menggeleng. “Ada cerita apa?”

 

“Jadi begini....”

 

* * *

 

“Sedang melamunkan apa, Jeng?”

 

Wilujeng tersentak mendengar teguran lembut itu. Mahesa mengambil tempat duduk di sebelahnya, di sofa teras belakang yang menghadap ke arah taman. Matahari mulai tinggi. Si kembar sudah berangkat ke kantor. Pelan, Mahesa melingkarkan lengan kirinya ke sekeliling bahu Wilujeng.

 

“Aku kepikiran nenek-nenek dan keponakannya yang menolongku itu, Mas,” desah Wilujeng.

 

“Mau menengoknya?”

 

Wilujeng seketika memutar kepala. Menatap Mahesa dengan mata bulat beningnya yang indah.

 

“Mas mau mengantarku?” Ia balik bertanya dengan nada tak percaya.

 

“Aku sudah pernah bilang,” senyum Mahesa, “apa pun yang kamu minta, Jeng.”

 

“Oh, Mas....” Seketika Wilujeng memeluk Mahesa.

 

Laki-laki itu balas memeluk dengan hangat.

 

“Tapi jangan datang dengan tangan kosong,” bisik Mahesa.

 

“Ya, ya!” Wilujeng mengangguk-angguk. “Lantas, kapan kiranya kita bisa ke sana?”

 

“Besok juga bisa.” Senyum Mahesa melebar melihat betapa berserinya wajah sang istri tercinta.

 

“Kalau begitu, aku harus belanja dulu!” Wilujeng buru-buru menegakkan punggung.

 

“Ayo, kuantar!”

 

Keduanya kemudian beranjak.

 

* * *

 

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Wilujeng dan Mahesa sudah berangkat ke Maniksuri. Ngentas Timur, tempat tujuan mereka, terletak agak di luar kota Maniksuri. Tak lupa Wilujeng membawa pakaian yang pernah dipinjamkan istri Kapolsek Ngentas Timur padanya, ditambah dengan dua kardus besar berisi oleh-oleh. Satu untuk orang-orang di polsek, satu lagi untuk istri Kapolsek. Selain itu, masih banyak lagi bahan kebutuhan pokok untuk Sentini dan keponakannya, memenuhi bagasi SUV Mahesa. Laki-laki itu sendiri yang mengemudikan mobilnya.

 

Menjelang siang, mereka sudah memasuki halaman Polsek Ngentas Timur. Pada petugas yang berjaga, Wilujeng segera mengutarakan maksudnya. Kebetulan saat itu Tamtomo, Kapolsek Ngentas Timur sedang berada di tempat. Dengan hangat laki-laki itu menyambut kunjungan Wilujeng dan Mahesa. Ia turut bersenang hati karena Wilujeng sudah kembali dengan selamat ke rumah.

 

Dari polsek, Wilujeng dan Mahesa kemudian menuju ke gubuk Sentini. Wilujeng masih ingat betul arahnya. Pun ada papan penunjuk kecil di tepi jalan, menunjukkan arah Telaga Wening. Mahesa pun membelokkan mobilnya masuk ke jalan tanah di tengah jajaran pepohonan hutan.

 

“Masih jauh ini?” tanya Mahesa setelah beberapa saat lamanya mereka menyusuri jalan itu.

 

“Nanti ada pertigaan kecil. Kita belok ke kanan. Tak jauh dari situ rumahnya,” jawab Wilujeng dengan nada yakin.

 

Tapi, hingga mereka sampai di dekat Telaga Wening, pertigaan kecil itu tak pernah mereka temukan. Yang ada hanya sebuah pertigaan besar yang salah satu jalannya mengarah ke kiri. Dan, mereka sudah melewatinya jauh di belakang.

 

“Yakin itu tadi jalannya?” tanya Mahesa.

 

“Yakin!” Wilujeng mengangguk.

 

Dari balik kaca jendela mobil, Wilujeng dan Mahesa melihat ada beberapa orang yang sedang memancing di telaga. Mahesa menatap Wilujeng.

 

“Coba aku tanya dulu. Siapa tahu ada di antara mereka yang kenal dengan Nenek Centini.”

 

“Sentini,” Wilujeng membetulkan.

 

“Ah, ya, Sentini.”

 

Dari dalam mobil, Wilujeng melihat bahwa beberapa orang yang ditanyai Mahesa menggelengkan kepala, hingga Mahesa sampai pada orang terakhir. Laki-laki yang tampaknya sudah selesai memancing itu tampak terlibat perbincangan cukup serius dengan Mahesa.

 

Beberapa saat kemudian Mahesa kembali ke mobil. Sebelum mulai bicara dengan Wilujeng, ia sempat mengangguk dan melambaikan tangan pada laki-laki terakhir tadi, yang melintas di depan mobil bersama motornya. Mahesa buru-buru menghidupkan mesin mobil dan membuntuti laki-laki itu.

 

“Jadi,” Mahesa mulai bersuara, “Nenek Sentini, atau Nyai Sentini itu adalah seseorang yang diceritakan sebagai legenda turun-temurun. ...”

 

Wilujeng ternganga seketika.

 

“... Hanya saja, belum pernah ada yang bertemu dengannya. Laki-laki itu tadi, Mas Dono namanya, memberi saran agar kita mengukutinya untuk menemui Lurah Ngentas Timur. Barangkali ada yang bisa kita dapatkan darinya.”

 

Wilujeng terhenyak.

 

Mereka sudah mendekati pertigaan besar. Dono berbelok ke kanan dengan motornya. Mobil Mahesa tetap mengikutinya. Tak jauh dari situ ada sebuah gapura yang menyambut kedatangan mereka di Desa Ngentas Timur. Kantor kelurahan berada tak jauh dari situ.

 

Dono masuk lebih dulu ke dalam. Tak lama kemudian ia sudah keluar lagi dengan seorang laki-laki bertubuh ramping berusia menjelang enam puluhan. Kedua orang itu segera menghampiri Mahesa dan Wilujeng yang duduk di pendopo kelurahan. Setelah perkenalan dan basa-basi sejenak, Dono pun berpamitan. Meninggalkan Wilujeng dan Mahesa agar bisa bicara seleluasa mungkin dengan Pak Lurah.

 

Mahesa pun menceritakan kronologi hingga mereka sampai di tempat itu. Lurah bernama Suwari itu pun mendengarkannya sambil sesekali manggut-manggut. Setelah Mahesa menuntaskan penuturannya, Suwari menatap Wilujeng.

 

“Ibu beruntung sekali bisa kembali, walaupun harus kehilangan waktu belasan tahun lamanya,” ucap Suwari dengan nada halus.

 

Sekilas, Mahesa dan Wilujeng saling menatap.

 

“Hati saya mengatakan bahwa Nyai Sentini itu benar-benar ada walaupun saya sendiri belum pernah bertemu dengannya,” lanjut Suwari dengan nada rendah. “Selama ini namanya memang cuma legenda yang diceritakan leluhur kami secara turun-temurun. Tapi saya berpikir, sebuah legenda tentunya timbul atau ada karena ada sebabnya. Saya punya teman yang mungkin lebih paham soal ini. Namanya Saijan. Dia seorang pemilik toko obat herbal di Sembilangan, Saruji. Yang jelas, saya percaya sepenuhnya bahwa Ibu tidak mengada-ada. Ibu benar-benar ditolong Nyai Sentini, entah bagaimana caranya.”

 

Setelah berunding sejenak, Wilujeng dan Mahesa pun memutuskan untuk menutup pencarian mereka sampai di situ saja. Bahan-bahan pokok yang telanjur mereka bawa untuk Nyai Sentini, mereka tinggalkan untuk siapa saja yang membutuhkan di Ngentas Timur. Kalau Nyai Sentini sudah begitu baik dengan berkenan membantu mengembalikan Wilujeng, tentunya ia tak keberatan bila pemberian itu jatuh ke tangan orang lain yang mungkin lebih membutuhkan.

 

* * *

 

“... Jadi begitu ceritanya, Kres.”

 

Kresna ternganga. Ditatapnya Wilujeng tanpa kedip.

 

“Tadi siapa Ibu bilang?” Kresna menyipitkan matanya. “Yang punya toko obat herbal itu?”

 

“Hmm.... Saijan, atau siapa begitu. Ibu lupa-lupa ingat.”

 

Kresna menepuk meja dengan ujung jemari tangan kanannya.

 

“Saijan!” ucapnya nyaris berseru. “Aku ingat betul orang yang menemukanku dulu namanya Saijan. Katanya, dia sedang ada di hutan karena mencari bahan obat. Sembilangan! Ya, Sembilangan. Dulu aku diantarnya ke Polsek Sembilangan. Kemudian aku dibawa ke Polsek Sumpiang oleh polisi Sembilangan, sebelum diantar pulang ke polsek sini.”

 

“Benarkah?” Wilujeng membelalakkan matanya.

 

“Benar, Bu!” Kresna menggenggam kedua tangan Wilujeng.

 

“Pantas saja...,” gumam Wilujeng. Tersedot sesuatu yang terasa menerawang didepan mata.

 

Lukisan-lukisan itu... Semua perasaan terhanyutku ketika melihatnya... Sepotong nama Pinasti...

 

“Kres,” bisik Wilujeng. “Apakah mungkin... kita punya pengalaman yang sama?”

 

Kresna tercenung sejenak.

 

“Aku tak tahu, Bu,” kemudian ia balas berbisik. “Mungkin saja. Tapi... aku sungguh-sungguh tak tahu.”

 

“Kita harus mencari tahu!” Wilujeng menatap Kresna dalam-dalam. “Dan, Ibu rasa, gadismu itu ada hubungannya dengan semua ini.”

 

Kresna terhenyak.

 

* * *

 

‘Al, Ibu ingin bertemu denganmu.’

 

Seketika Alma tersentak. Ia sedang asyik membaca sebuah novel baru yang dibelinya siang tadi ketika keluar bersama Gamaliel. Ia sedang sendirian saat ini. Riska pulang ke Margiageng kemarin siang, begitu kuliah hari Jumat mereka selesai menjelang pukul sebelas. Besok ada acara pernikahan sepupunya. Senin lusa tanggal merah. Jadi, ada akhir pekan panjang saat ini. Ia sendiri memutuskan untuk tetap di Palaguna, walaupun rindu juga pada ayah, ibu, dan adik kecilnya. Baru dua minggu lalu ia pulang. Saat ini, ia sedang berusaha mengelola rasa rindunya agar tak mengganggu proses belajarnya di luar kota.

 

‘Al....’

 

‘Ya, Mas?’

 

‘Kamu dengar pesanku baru saja?’

 

‘Ya, ya. Aku dengar.’

 

‘Jadi?’

 

‘Euh....’

 

Sejujurnya ia senang. Itu artinya Kresna sudah bercerita tentang ia pada sang ibu. Tapi...

 

‘... Kok, rasanya aku belum siap, Mas.’

 

‘Hanya sekadar bertemu saja, kok. Ibuku baik. Dan, rasa-rasanya, Ibu akan sangat menyukaimu.’

 

Tanpa bisa dikendalikan, semburat rasa hangat terasa menjalari wajah Alma.

 

‘Mm.... Baiklah.’

 

‘Besok aku jemput jam sembilan, ya?’

 

‘Jangan!’ cegahnya segera.

 

‘Lho, kok?’

 

‘Maksudku, aku berangkat sendiri saja. Di indekosku banyak anak Palapa Sakti. Nanti ketahuan kalau kita ada hubungan dekat.’

 

‘Oh, ya, ya!’

 

‘Kasih tahu saja alamat Mas. Kirim lewat PesanKu. Nanti kucari jalurnya melalui AkuPeta-AkuPeta.’

 

‘Ng.... Ngomong-ngomong, aku belum tahu nomor ponselmu.’

 

Alma hampir terbahak karenanya. Ia sudah memiliki nomor kontak pribadi Kresna, tapi belum pernah sekali pun menggunakan nomor itu untuk berkomunikasi. Segera saja ia meraih ponselnya, mengirimkan pesan melalui aplikasi PesanKu pada Kresna. Sejenak kemudian....

 

‘Hmm... Ini, ada cewek keriting kriwil kirim pesan ini siapa, yaaa?’

 

Alma tergelak seketika. Tapi masih ingat untuk menutupi mulutnya dengan bantal. Beberapa detik kemudian masuk pesan ke dalam ponselnya. Alamat lengkap Kresna.

 

‘Jadi, jam berapa besok Ibu mau bertemu denganku, Mas?’

 

‘Jam sepuluh? Okekah?’

 

‘Baik, Mas. Sampai ketemu besok.’

 

Jantung Alma berdebar kencang tanpa bisa dikendalikan begitu pembicaraan dalam hening itu berakhir.

 

* * *

 

Alma mematut dirinya sejak selesai mandi. Sejauh ini, hampir setengah jam berlalu, ia sudah berganti pakaian tiga kali. Ketika menatap pantulan dirinya pada cermin, selalu saja ada bagian yang dirasanya kurang pas dan membuatnya kurang nyaman.

 

Dengan menghela napas panjang, ia melepaskan baju ketiganya dari tubuh, dan menggantinya dengan sehelai blus lengan pendek berwarna putih dan kulot krem yang panjangnya hingga semata kaki. Ketika ia memasukkan bagian bawah blusnya ke dalam pinggang kulot, barulah ia menarik napas lega.

 

Rasanya nyaman berada dalam balutan busana itu. Pun terlihat cukup sopan. Setelah selesai dengan urusan baju, ia ganti fokus pada wajahnya. Biasanya, ketika ia hendak berangkat kuliah ataupun keluar bersama teman-temannya, ia hanya sekadar memulaskan bedak pada wajahnya dan mengoleskan pelembab berwarna merah muda pada bibirnya.

 

Ketika menatap wajahnya sejenak, ia pun segera memutuskan bahwa ia tak akan mengubah penampilannya. Tetap hanya berbedak tipis dan memakai pelembab bibir berwarna. Itu dirasanya sudah cukup. Pun rambutnya. Sekadar diikat di atas tengkuk agar tidak berkibar ke mana-mana saat ia mengendarai motor nanti.

 

Beberapa menit sebelum pukul setengah sepuluh, ia sudah siap. Sekali lagi ia mematut diri melalui pantulan cermin sebelum mengenakan sepasang sepatu sandal bertali tipis dengan bahan suede berwarna cokelat tua. Tak lupa meraih sling bag yang sewarna dengan alas kakinya. Benda kecil itu terlihat agak gendut karena berisi dompet dan ponsel.

 

Ia sempat bertukar sapa dengan beberapa teman satu indekosnya yang baru saja masuk ataupun hendak keluar dari garasi. Kali ini ia memakai motornya sendiri, bukan motor Riska. Sejenak kemudian, sebuah skuter bongsor 200 cc berwarna cokelat susu, dengan pengendara yang mengenakan helm sewarna, meluncur keluar dari garasi.

 

* * *

 

Jantung Wilujeng berdebar lebih kencang sepanjang pagi ini. Ia sama sekali tak bisa mengendalikannya. Rasanya seperti ia hendak menghadapi sesuatu yang besar. Padahal yang akan menemuinya hanyalah seorang gadis muda berusia sekitar delapan belas tahun yang jadi pacar Kresna pun sepertinya belum resmi.

 

Ia melongok dari balik jendela kaca dapur yang membuka ke arah garasi ketika mendengar suara mobil menderum masuk. Ternyata mobil Seta. Sejenak ia melirik jam dinding. Menjelang pukul setengah sepuluh. Tak lama kemudian Seta muncul, bersama Erika dan Kresna.

 

Pinasti yang tahu kedua abangnya dan Erika datang segera berlari menyambut. Segera saja Erika diseretnya pergi, yang dilayani dengan tawa oleh Erika. Seta dan Kresna segera duduk di depan island dapur. Berdekatan dengan Mahesa yang tengah menyesap kopinya dengan nikmat.

 

“Kamu nggak jemput dia?” Wilujeng menatap Kresna.

 

Yang ditatap menggeleng sembari tangannya mencomot sebuah pisang crispy hangat berbentuk seperti kipas di atas meja.

 

“Lho, gimana, sih?” gerutu Wilujeng.

 

“Bu,” jawab Kresna sabar, “di indekosnya, banyak anak kampus kami. Nggak enak kalau ketahuan ada apa-apa di antara kami.”

 

“Hmm....”

 

“Anak-anak punya cara mereka sendiri, Bu,” ucap Mahesa, bijak.

 

Wilujeng manggut-manggut. Mereka kemudian mengobrolkan banyak hal. Suasana itu makin hangat ketika Pinasti dan Erika muncul untuk bergabung. Beberapa menit menjelang pukul sepuluh, Kresna bangkit dari duduknya dan berpamitan untuk ke teras depan, menunggu kedatangan Alma.

 

“Mas!” seru Pinasti sambil melincat turun dari kursi. “Ikut!”

 

Kresna tertawa sambil mengulurkan tangannya. “Cuma ke teras ini, Pin.”

 

“Belikan es krim kalau abangnya lewat,” ucap Pinasti dengan nada manja.

 

Kresna pun menarik tangan adiknya dan membungkuk. Mendaratkan ciuman gemas ke pipi kanan Pinasti.

 

Tepat pada saat Kresna menutup pintu garasi dari luar, mobil es melintas pelan-pelan di depan rumah. Pinasti segera berlari memanggil. Kresna pun mengikuti langkah adiknya. Saat memilih-milih es krim, sebuah skuter matik berwarna cokelat susu berhenti di dekat mereka. Kresna menoleh dan mendapati Alma tengah membebaskan kepalanya dari sekapan helm.

 

“Halo!” sapanya dengan senyum lebar.

 

“Hai!” balas Alma, malu-malu.

 

Sebelum obrolan itu berlanjut, Kresna terlebih dulu menyelesaikan pembayaran sekitar selusin es krim cone aneka rasa yang sudah dipilih Pinasti. Setelah itu, ia memperkenalkan Pinasti pada Alma.

 

“Wah, Pinpin, kamu cantik banget!” Alma membungkuk sambil menjabat erat tangan Pinasti. “Mahkota bunganya mana?”

 

“Ng....” Pinasti sejenak menatap Kresna.

 

“Lho, iya, ke mana mahkotamu?”

 

“Aku simpan di kulkas,” ucap Pinasti polos. “Biar nggak layu.”

 

Seketika Kresna dan Alma tergelak. Pinasti menatap Alma dengan senyum lebar.

 

“Kakak juga cantik,” pujinya. “Rambutnya keren banget! Aku suka!”

 

“Owh.... Terima kasih!” Alma membungkukkan badannya sejenak, seolah sedang menghormat pada seorang putri raja.

 

“Eh, ayo, masuk!” ujar Kresna. “Nanti es krim kita mencair.”

 

“Sini! Aku masukin ke kulkas dulu!” Pinasti menyerobot kantung plastik dari tangan abangnya, kemudian berlari masuk ke rumah melalui garasi.

 

“Sini, kunci motormu,” Kresna menatap Alma. “Biar kumasukkan ke garasi. Biar nggak kepanasan.”

 

Alma mengangguk sambil mengulurkan kunci motornya. Setelah urusan itu selesai, Kresna segera menggandeng tangan Alma. Masuk ke dalam rumah. Dirasanya telapak tangan yang ada dalam genggamannya itu sedikit bergetar. Maka, Kresna pun mengetatkan genggamannya.

 

“Ibu pasti senang bertemu denganmu,” ucap Kresna, menenangkan.

 

Dan, sambutan hangat pun diterimanya kemudian. Kresna tampak mencari seseorang dengan matanya.

 

“Ibu sedang ke kamar mandi,” bisik Mahesa.

 

Ketika perempuan berwajah teduh itu muncul, Alma terpana melihatnya. Pun Wilujeng. Tak berkedip menatap gadis dengan tatapan bening itu. Lalu, seolah ada magnet yang berlawanan kutub dalam diri masing-masing, keduanya saling mendekat. Wilujeng mengulurkan tangan, yang segera disambut Alma dengan sebuah kecupan ringan di punggung tangan.

 

“Saya Alma, Bu Wilujeng,” lirih suara gadis itu. “Senang bertemu dengan Ibu.”

 

Wilujeng tak menjawab. Hanya menarik gadis itu, dan menenggelamkannya dalam pelukan yang begitu hangat.

 

* * *

 

Alma sempat tercekat ketika Kresna menyebutkan nama adiknya. Pinasti. Seolah ada dentam-dentam liar bermain dalam dadanya ketika mendengar nama itu. Tapi tatapan bening Pinasti menyadarkannya. Gadis kecil yang lucu dan menggemaskan itu sudah mengulurkan tangan, mengajaknya bersalaman. Alma segera menyambutnya dengan hangat.

 

Dan, kemudian, ia sungguh terkesima ketika bertemu dengan ibu Kresna. Tatapan teduh perempuan berusia awal lima puluhan itu terasa menyedot seluruh jiwanya.

 

Pada saat-saat tertentu dalam perjalanan hidupnya lima tahun belakangan ini, ada terselip secuil perasaan kosong dan kerinduan dalam hatinya. Entah karena apa. Entah rindu pada siapa.

 

Tapi kini, saat berada dalam pelukan hangat ibu Kresna, semua kekosongan itu seolah sirna. Lenyap begitu saja. Berganti dengan perasaan ‘penuh’ dan tenteram dalam hati. Dibalasnya pelukan hangat itu dengan sesuatu yang sama.

 

Setelah beberapa saat lamanya, keduanya pun saling melepaskan pelukan. Wilujeng menatap Alma. Dalam.

 

“Aku... seperti mengenalmu,” bisiknya. “Entah di mana. Entah kapan.”

 

Sejujurnya, Alma pun merasakan hal yang sama. Sementara di dekat mereka, Kresna sempat ternganga.

 

Rasanya ia tak mendengar ibunya menyebutkan nama diri. Ia pun belum pernah memberitahukan nama ibunya pada Alma.

 

Bagaimana dia bisa tahu nama Ibu?

 

Mahesa kemudian mencairkan suasana yang cukup hening itu dengan suara hangatnya. Mereka kemudian pindah dari dapur yang luas itu ke ruang keluarga. Obrolan mereka pun segera mengalir. Tapi, tatapan mata Alma berkali-kali jatuh pada lukisan matahari terbenam yang tergantung pada dinding, tepat di seberang ia duduk.

 

Sepertinya aku kenal lukisan itu. Tapi siapa pelukisnya? Kapan? Di mana?

 

“Alma, kenapa dengan lukisan itu?”

 

Suara lembut Wilujeng menyentakkan Alma. Gadis itu mengalihkan tatapannya pada Wilujeng. Sorot mata teduh itu menyergapnya lagi. Wilujeng kemudian berdiri. Diulurkannya tangan pada Alma.

 

“Ayo, Nduk, Ibu ingin bicara denganmu. Bertiga saja dengan Kresna.”

 

Ia hanya bisa menurut ketika Wilujeng menggiringnya dan Kresna ke sebuah ruangan lain. Ruang luas yang penuh berisi buku yang tertata rapi pada rak-rak yang hampir memenuhi tiga sisi dinding, sebuah meja besar beserta kursinya, dan seperangkat sofa. Rupanya itu ruang baca yang dimiliki keluarga Kresna. Wilujeng kemudian mendudukkannya dengan lembut di sofa panjang.

 

Kali ini, sebuah lagi lukisan seolah menyedot jiwanya. Gambaran padang bunga yang sangat indah terpampang tepat di depan matanya. Tergantung pada dinding di antara rak-rak buku di seberangnya. Sebuah perasaan yang sama kembali mengusik hati.

 

Deja vu.

 

* * *

 

(Bersambung)

 

Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.