Kisah Cinta Kita dan Sandal Jepit
kau adalah pelacur tengik yang belum lama hijrah, sementara aku bandit yang bertobat lantaran melihat seberkas sinar Tuhan pada matamu
Kisah Cinta Kita
dan Sandal Jepit
Selamat pagi, mari kita sambut
sinar hangat matahari. Semua orang tahu,
kau dan aku jarang sekali bangun pagi.
Aku seduhkan dua cangkir kopi tubruk
dengan sedikit gula pasir; dengan ponsel
pintar kau memutar instrumen entah
milik siapa—aku tidak peduli—yang
penting melodi itu tidak mengandung
kata-kata yang bakal mengganggu
pikiran kita, mesti tenang dan lembut,
mesti rapi dan ritmis, selera khas
aristokrat (baca: bangsat berkelas).
Di halaman depan rumah, kita bicara
tentang matahari yang telah membunuh
Galilei, daun-daun manggis yang berkilat
seperti tatapan mata bangsa penjilat,
aroma kopi dan puisi cengeng atau
adiluhung. Semoga sebuah rudal
melesat dari Iran, melenceng menuju
tanah air kita, dan meledak di meja
perjamuan pagi terakhir kita.
Selamat pagi, mari kita sambut
sinar lembut matahari. Semua orang tahu,
kau dan aku selalu tidur menjelang pagi.
Setelah lelah bercerita dan bercinta,
menangis dan bercinta, berkhayal dan
bercinta, bertengkar dan bercinta,
sepanjang malam, setiap malam.
Memang malam telah jadi milik kita
sejak lama: kau adalah pelacur tengik
yang belum lama hijrah, sementara aku
bandit yang bertobat lantaran melihat
seberkas sinar Tuhan pada matamu.
Saat itu, malam itu, saat kumasuki
rumahmu untuk mencuri, tiba-tiba
aku kehilangan gelisah yang biasa,
malah kutemukan kedamaian, seperti
ketika aku menginjak kota Mekah
pertama kali, seperti ketika aku sampai
di Tibet yang suci, seperti ketika aku
berada di pedalaman Kanekes yang
dimuliakan oleh adat. Pagi ini, setelah kau
menyesap kopi dua kali, setelah rokokku
terbakar separuh, semoga saja
musuh-musuh kita datang, polisi atau
para pendendam. Mereka menyuruhku
mencium bibirmu, memelukmu dengan
mesra, lalu meledakkan kepala kita.
Selamat pagi, mari kita sambut cahaya
tropis sekali ini. Semua orang tahu,
kau dan aku terbiasa abai pada pagi,
abai pada waktu, abai pada langit
dan bumi beserta segenap bajingan
dan seluruh penipu yang menghuninya.
Aku mencintaimu karena tidak ada
penipu paling penipu yang memikat
selain engkau. Kau mencintaiku karena
aku adalah bajingan paling bajingan
di antara semua bajingan yang engkau
kenal. Meski tak ada rudal nyasar
dari sebuah peperangan, tidak ada musuh
yang menemukan persembunyian kita
di kampung tertinggal dan terkutuk ini,
setelah dua cangkir robusta kita tandas,
aku yakin kita akan sama-sama pergi
ke kerajaan langit dengan jejak busa
di bibir masing-masing. Beberapa malam
kita telah sepakat bahwa cinta adalah
racun dan racun adalah cinta, yang
kedua-duanya tidak mungkin diciptakan
oleh setan atau Ifrit penunggu
beringin tua di belakang rumah.
Selamat pagi, kau dan aku, sepasang
kekasih, matahari dan hangatnya, dua
cangkir robusta yang belum dingin,
kursi dan meja kayu lapuk, mimpi
dan keinginan, hidup atau mati,
sepasang sandal jepit yang kau
hadiahkan untukku raib selepas isya
di halaman masjid tadi malam.
2020
Puisi ini pertama kali dipublikasikan di Basa-basi.co dan akan diikutsertakan dalam buku puisi pertama saya berjudul Lawang Angin
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.