AGAMA DAN BUDAYA

AGAMA DAN BUDAYA

Gak lama lagi kita akan menyambut Lailatul qadar. Saya berencana untuk melakukan itikaf kembali. Tahun lalu perjalanan spiritual saya belum sampai pada suatu kesimpulan yang memuaskan atas pertanyaan fundamental antara batas agama dan budaya

Waktu itu saya melakukan analisis tentang 2 pendapat yang kontradiktif yaitu apakah agama itu produk budaya? Atau sebaliknya, budaya mengintervensi agama sehingga mengubah status universalnya menjadi sangat lokal. OK, kita mulai dengan nama-nama malaikat.

Malaikat bukanlah penduduk bumi. Mereka adalah asisten Tuhan. Kalau Tuhan itu universal dan untuk semua umat, seharusnya Dia menamai malaikat-malaikatnya dengan nama unik. Artinya tidak mewakili satu budaya tertentu. Sehingga orang tidak mempertanyakan kenapa gak ada nama malaikat dari budaya gue?

Nama-nama seperti Jibril, Mikail, Israfil, Izrail rasanya terlalu lokal terdengar di telinga. Seakan agama ini sejak awal memang berasal dari satu peradaban tertentu dan kemudian disebarkan ke belahan dunia lain.

Atau bisa juga nama2 malaikat diambil dari berbagai budaya sehingga setiap bangsa merasa terwakili. Misalnya, ada malaikat yang namanya Mulyono (Indonesia) Ada malaikat yang bernama Cia Boen Houw (China) atau Anatoly Petrov (Rusia).

Ada yang mungkin membantah, "Tapi kan di Amerika disebutnya Gabriel, bukan Jibril." Nah, justru itu poinnya! Kenapa pas sampai Amerika bisa berubah jadi Gabriel, tapi di Indonesia kok tetap Jibril? Seharusnya kalo di Amerika Jibril jadi Gabriel, di Cina bisa disebut ‘Gouw Lie, di Rusia ‘Gabriachev’, di Jawa ‘Gogon’. Biar terasa bahwa malaikat juga diperuntukkan buat semua orang, bukan cuma buat satu bangsa tertentu.

Bukan cuma soal malaikat. Konsep jin juga bermasalah. Dalam kisah-kisah masyarakat Arab kuno, jin adalah makhluk halus dari padang pasir. Ketika agama ini menyebar, jin ikut "diekspor" ke berbagai budaya lain. Ini juga bikin bingung. kenapa demikian?

Kalo ngomong soal makhluk halus, budaya kita jauh lebih kaya. Indonesia adalah penghasil hantu terbesar di dunia. Kita punya genderuwo, tuyul, kuntilanak, jelangkung, wewe gombel, danyang dll. Bahkan kita terus memproduksi hantu-hantu baru, misalnya Si Manis Jembatan Ancol, suster ngesot dll. Jadi ngapain harus impor lagi? Bisa-bisa negara kita over quota makhluk halus. Harga makhluk halus di dalam negeri bisa merosot drastis.

Di jaman digital, orang berpikir semakin kritis dan rasional. Di berbagai platform banyak orang mempertanyakan apakah agama produk dari budaya? Sebuah konsep yang awalnya lokal tapi kemudian dipaksakan menjadi universal? Atau agama memang universal namun diintervensi oleh budaya tertentu sehingga menjadi terlihat lokal?

Semoga di itikaf nanti saya mendapatkan pencerahan. Kalo dapet saya akan tulis lagi di sini. Doain ya...

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.