Nasi Goreng Ibuk

“Kalian itu aneh! Anak orang lain pada berebut rumah warisan orang tua mereka, bahkan ada yang saling bunuh, kalian malah tidak ada yang mau rumah ini. Apa rumah ini terlalu jelek untuk kalian hah?” Kata Ibuk mulai meninggikan suaranya sambil menangis.

Nasi Goreng Ibuk

“Beli nasi goreng lagi?”

Tanya mas Ilham ketika pulang kerja mendapati 2 kotak sterofoam di meja makan.

 

“Iya , belum nemu yang sama kaya bikinan ibuk” .

 Kataku sambil ku bawakan tasnya ke kamar, lalu mengambil 2 piring dan sendok dari dapur. 

 

Sudah 2 minggu ini rasanya aku kangen dengan nasi goreng buatan ibuku. Entah kenapa sampai siang dan malam rasanya lidahku mencari - cari rasa itu. Rasa bawang merahnya yang dominan, sedikit berminyak, terasi, kecap bahkan tingkat kepedasannya yang selalu pas di lidah.

 

Aku pun sudah mencoba membuat dengan resep yang sama persis. Aku hafal di luar kepala resep nasi goreng Ibuk. Takaran garam, lada, penyedap semuanya. Karena sejak kecil aku selalu membantu Ibuk membuatnya. Ibuk hanya mendikte takaran bumbunya, dan aku yang melakukan semuanya. Tapi entah mengapa kali ini rasanya berbeda. Setiap hari selama 2 minggu ini aku bahkan selalu makan nasi goreng untuk sarapan, makan siang, maupun makan malam. Dari membuat sendiri, beli di warung tenda pinggir jalan sampai beli di rumah makan yang terkenal dengan nasi gorengnya yang enak. Tapi masih tidak bisa mengobati rasa sesak karena merindukan nasi goreng Ibuk. Bahkan aku sampai menangis dengan perasaan yang tidak bisa dijelaskan.

 

“Kita ke rumah Ibuk saja gimana? Minta dibuatin sama Ibuk”,

 

Masak kita sudah lama nggak berkunjung tiba – tiba datang minta dibuatin nasi goreng? Lagipula Ibuk sudah sepuh Mas, seharusnya aku yang masak buat beliau bukan sebaliknya”

 

“Ya masak mau seperti ini terus? Mungkin saja Ibuk kangen” kata Mas Ilham yang entah mengapa menimbulkan rasa ngilu di hatiku. Sampai tak sadar buliran bening jatuh di kedua pipiku.

 

Akhirnya kami sepakat berkunjung ke rumah Ibuk akhir pekan ini. Di perjalanan aku teringat saat menjelang kepindahanku ke kota Pati dari rumah Ibuk di Kudus. 

 

“Majid sudah punya rumah sendiri, kalau kamu pindah ke Pati terus ibuk sama siapa May?” Kata ibuk dengan mata berkaca - kaca. 

 

“Majid dan Ibuk sudah sepakat kalau rumah ini nantinya memang buat kamu, kenapa kamu harus pindah segala?”

 

“Kalian itu aneh! Anak orang lain pada berebut rumah warisan orang tua mereka, bahkan ada yang saling bunuh, kalian malah tidak ada yang mau rumah ini. Apa rumah ini terlalu jelek untuk kalian hah?” Kata Ibuk mulai meninggikan suaranya sambil menangis.

 

Sejak kecil memang Bapak kami mengajarkan untuk tidak saling berebut tentang apapun. Kata Bapak hubungan persaudaraan jauh lebih penting daripada masalah harta. Itulah yang membuat kami tidak pernah mempersoalkan tentang warisan.

 

 Begitu menikah, Mas Majid langsung membeli rumah dengan sitem KPR. Meskipun mencicil yang penting milik sendiri. Dan setelah aku menikah, akupun mengikuti ke mana suamiku tinggal. Kebetulan suamiku anak tunggal dan ibunya juga seorang janda jadi tidak mungkin pula Mas Ilham meninggalkan ibunya untuk tinggal di Kudus. 

 

“Mas Ilham kerjanya kan di Pati buk, jauh perjalanannya kalau tinggal di sini”

 

Aku mencoba memberi penjelasan ke Ibuk, berharap beliau tidak terlalu kecewa.

 

“Apa Ibuk mau tinggal sama Maya saja buk?” 

 

“Mana mungkin Ibuk menunpang tinggal di rumah orang sementara Ibuk masih punya rumah sendiri May? Apa kata keluarga suamimu nanti?”

 

“Bagaimana kalau tinggal sama Mas Majid saja buk? Mas Majid dan mbak Sari pasti nggak akan keberatan”

 

“Ndak!! Ibuk ndak akan pergi dari rumah ini. Biarkan Ibuk tua dan mati di sini! Kalian urus saja keluarga kalian masing - masing!” Kata ibuk jengkel.

 

Aku tersadar dari lamunanku ketika mobil Mas Ilham berhenti di halaman yang luas dengan pohon mangga di tengahnya.  Pohon mangga yang sedang berbunga, ditempeli dengan tumbuhan paku tanduk rusa yang bertambah lebat daunnya dari terakhir kali aku pulang. Entah apa yang aku lakukan? Jarak dari rumah Mas Ilham ke rumah Ibuk kurang lebih hanya 1 jam perjalanan, tapi aku hanya berkunjung setahun sekali.

 

Aku turun dari mobil dan menyusuri halaman rumah Ibuk yang tampak bersih dan asri. Mbak Lastri yang kami pekerjakan untuk membantu bersih - bersih di rumah ini tampaknya mengerjakan pekerjaannya dengan baik. 

 

“Assalamualaikum!!” Aku melangkah masuk menuju ruang tengah yang biasa digunakan ibuk untuk menghabiskan waktunya menonton televisi.

 

“Eeee waalaikumsalam!! Maya! Ilham?”

Ibuk berusaha berdiri dengan susah payah. Beliau memang sering mengeluhkan sakit punggung jika terlalu lama duduk.

 

Aku dan Mas Ilham mencium tangan Ibuk bergantian.

 

“Ibuk sehat? Masih sering sakit punggung?” Kataku seraya menuntun beliau kembali duduk di kasur lantai yang digelar untuk menonton TV.

 

“Yaah beginilah orang tua” kata ibuk sambil tersenyum.

 

“Kalian sudah makan belum? Sana cari makanan sendiri di dapur! Minta sama Lastri sana!” Kata ibuk kemudian sambil meluruskan kakinya.

 

Aku melangkah menuju dapur dan melihat apa yang ada di wajan di atas kompor.  Mataku membulat melihat ada nasi goreng di sana. Dari aromanya saja aku sudah tahu itu buatan Ibuk. Ya aroma bawang merah yang disangrai.

 

“Loh mbak Maya kapan datang?”

Suara Mbak Lastri dari arah kamar mandi tiba - tiba mengagetkanku”

 

“Barusan mbak!” jawabku seraya menyalami perempuan berambut cepak dengan tubuh berisi itu.

 

“Ibuk masih sering masak sendiri ya mbak?” Tanyaku menyelidik. Karena aku mempekerjakan mbak Lastri untuk memasak dan bersih - bersih. Biar Ibuk tidak kelelahan. 

 

“Cuma pas hari libur saja kok Mbak Maya! Ibuk selalu masak nasi goreng sendiri pas hari libur! Katanya nanti kalau anak - anaknya datang pasti suka dimasakin nasi goreng sama Ibuk”

 

Deg!! Kata - kata mbak Lastri membuat hatiku berdenyut nyeri.

 

“Terus Mas Majid pernah datang nggak mbak?” Tanyaku sambil menahan air mata yang hampir jatuh.

 

“Akhir - akhir ini selalu dateng mbak, setelah saya cerita soal nasi goreng Ibuk. Kalau dulu kasihan ibuk, sampai malam ditunggu nasi gorengnya masih utuh. Karena sayang kalo dibuang akhirnya ya saya bawa pulang saja nasi gorengnya. Masih enak kok meskipun sampai malam juga.

 

Dan air mataku meleleh juga. Nyeri, sakit, membayangkan kerinduan yang ditahan Ibuk yang dituangkan dalam nasi goreng.

 

Gegas aku mengambil sepiring penuh nasi goreng Ibuk, lalu 1 toples kerupuk bawang warna warni dan membawanya ke kasur lantai di ruang TV.

 

“Ehm , kok suamimu nggak diambilin May”

Tanya ibuk mengagetkanku. Aku tersenyum malu tapi tangan kekar mas Ilham menahan pundakku yang hendak berdiri.

 

“Biar Mas ambil sendiri!” Kata mas Ilham sambil tersenyum, lalu berjalan menuju dapur.

 

Aku duduk bersila dan memakan makananku dengan lahap. Rasa ini, rasa yang aku rindukan 2 minggu terakhir ini. Masih sama tidak berubah. 

 

“Pelan - pelan makannya nanti keselek!” Aku menoleh ke arah Ibuk yang tersenyum dengan mata berkaca - kaca.

 

“Wuiiih enak banget nih pagi - pagi makan nasi goreng!” Aku menoleh mendapati Mas Majid datang seorang diri.

 

“Sari mana? Kok nggak ikut?” Tanya Ibuk.

 

Lagi nganter anak - anak cari tugas sekolah buk. Buat senin besok!” Kata Mas Majid sambil berjongkok hendak merebut sendokku, Namun aku segera menjauhkannya.

 

“Ish!! Ambil sendiri di dapur sana!”

Kataku sambil melotot.

 

“Dasar pelit!!” Mas Majid terkekeh lalu berjalan menuju dapur.

 

Di sinilah kami saat ini. Makan bertiga di kasur lantai sambil menonton TV. Diselingi candaan dan godaan layaknya kami waktu kecil dulu. Bedanya dulu hanya aku dan Mas Majid. Kami memang tidak punya meja makan, ritual makan bersama selalu kami lakukan di tempat ini. Sambil membahas acara TV atau apa yang kami lakukan seharian. 

 

Ibuk tersenyum lega melihat nasi goreng buatannya tandas tak tersisa. Dan aku berjanji akan selalu demikian di minggu – minggu berikutnya. Ibuk memang tak pernah berkata jika beliau merindukan kami, tapi rindu itu selalu diluapkan lewat sewajan nasi goreng buatannya. Dan kata rindu itu tersampaikan dengan sempurna lewat suapan demi suapan nasi goreng yang kami nikmati. 

 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.