Komunikasi Pejabat Publik di Saat Krisis

Komunikasi publik yang baik akan membantu masyarakat keluar dari krisis

Komunikasi Pejabat Publik di Saat Krisis

Presiden Joko Widodo memarahi para pembantunya saat marak aksi demontrasi menentang pengesahan Undang-undang (UU) Cipta Kerja pada Oktober 2020 lalu. Jokowi-panggilan akrab Joko Widodo-marah karena pembantunya baik dari kalangan menteri maupun pembantu lainnya dinilai buruk saat membangun komunikasi kepada publik.

Dalam pandangan Presiden, komunikasi yang buruk ini yang menyebabkan UU Cipta Kerja ditolak berbagai elemen masyarakat, baik kalangan buruh/pekerja, mahasiswa, kaum agamawan maupun intelektual. Demonstrasi merebak di mana-mana. Meski saya menilai reaksi penolakan publik terhadap UU Cipta kerja bukan semata-mata karena komunikasi buruk pembantu presiden, tapi konten UU Cipta Kerja ini memang memantik perdebatan publik sejak UU ini dalam tahap pembahasan di DPR. Tapi saya sepakat komunikasi menteri, juru bicara dan pembantu lainya sangat buruk sehingga ikut menambah keriuhan di masyarakat terkait UU Cipta Kerja.

Sebelumnya Jokowi juga memarahi para pembantunya karena komunikasi yang buruk pula pada kasus Pandemi Covid-19. Pada awal-awal krisis akibat Covid-19, para menteri sangat buruk dalam membangun komunikasi kepada masyarakat. Beberapa pejabat cenderung menyepelekan Covid-19. Ada yang menyebut Covid-19 sulit masuk ke Indonesia karena izinnya susah, orang Indonesia kebal virus Covid-19 karena makan nasi kucing. Ada juga pejabat bilang tidak perlu khawatir terhadap virus ini karena bisa sembuh dengan sendirinya. Seperti flu biasa. Ada pula pejabat tinggi yang bilang susu kuda liar bisa mengusir virus yang menggemparkan dunia ini. Belum lagi komunikasi yang berbeda-beda antara satu pejabat dengan pejabat lainnya. Bahkan ada yang saling bantah. Seolah-olah tanpa koordinasi. Juru bicara presiden yang punya tugas utama membangun komunikasi kepada publik tidak berfungsi dengan baik.

Akibatnya? Masyarakat cenderung menyepelekan virus berbahaya ini. Pemerintah juga tidak serius mengantisipasi virus yang kali pertama ditemukan di Wuhan, China. Pemerintah dan masyarakat baru tergaget-kaget setelah Covid-19 masuk ke Indonesia dan menimbulkan krisis besar.

Dari dua kasus di atas, saya ingin menyampaikan komunikasi yang buruk berdampak besar kepada masyarakat luas. Apalagi komunikasi buruk tersebut dikemukakan oleh pejabat publik di negeri ini. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), komunikasi, secara teori, adalah pengiriman dan penerimaan pesan atau berita antara dua orang atau lebih sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami. Tidak jauh beda dengan KBBI, secara teori, komunikasi selalu menyangkut penyampaian pesan dari komunikator (pengirim pesan) kepada komunikan (penerima pesan).  Komunikator tentu berharap ada efek yang ditimbulkan pada komunikan terkait penyampaian pesan tersebut.

Efek Jauh Lebih Besar

Dalam komunikasi massa, efek yang ditimbulkan tentu jauh lebih besar ketimbang komunikasi interpersonal atau komunikasi antarindividu. Komunikasi massa menyangkut penyampaian pesan yang disalurkan melalui media massa kepada khalayak luas. Pakar komunikasi, Harold D. Lasswell, menggambarkan proses komunikasi selalu ada source (sumber), message (pesan), channel (media/saluran), audience (khalayak) serta effect atau efek yang ditimbulkan. Semua komunikasi massa akan melalui tahapan seperti ini.

Di era digital saat ini, komunikasi massa lebih banyak menggunakan saluran platform digital ketimbang platform lainnya. Ini yang mengakibatkan sebuah pesan bisa viral atau menyebar luas dengan mudah dan cepat. Kondisi ini akan menimbulkan efek yang luar biasa.  Platform digital sangat mudah untuk menyebar karena setiap orang bisa menyebarkan melalui berbagai alat, misalkan melalui media sosial, grup-grup aplikasi percakapan, email dan sebagainya. Penyebarannya pun tak mengenal batas negara.

Para pejabat publik seharusnya memahami betul masalah ini.  Dalam konteks jurnalistik, apa pun omongan pejabat publik punya news value atau nilai berita yang tinggi bagi media masa. Apalagi omongan pejabat tersebut menyangkut isu besar. Isu UU Cipta Kerja dan pandemi Covid-19 sangat seksi bagi media massa. Informasi ini menyangkut khayalak luas. Apalagi pandemi Covid-19 menimbulkan krisis besar. Bukan hanya krisis kesehatan, tapi juga krisis ekonomi, krisis sosial, krisis pendidikan dan krisis kemanusiaan dalam arti yang luas. Tentu saja berdampak panjang bagi kehidupan masyarakat. Isu ini yang menjadi daya tarik media massa untuk memberitakan.

 

Menyelesaikan krisis berat seperti ini memang tidak mudah. Para pakar memprediksi krisis ini belum akan berakhir manakala krisis kesehatan belum bisa diatasi. Krisis kesehatan berakhir manakala virus ini benar-benar hilang dari bumi, atau setidak-tidaknya bisa ditekan seminimal mungkin. Mau butuh berapa puluh tahun agar Covid-19 berakhir? Apalagi proses vaksinasi Covid-19 ini belum mulai saat artikel ini saya tulis. Kalau pun mulai vaksinasi perlu beberapa tahun untuk bisa mencapai herd immnunity atau kekebalan massal baik di Indonesia maupun kekebalan massal dunia. Kita tak bisa memprediksi sampai kapan kondisi ini akan tercipta.

 

Namun demikian dampak krisis ini akan bisa ditekan kalau pejabat publik bisa menyampaikan pesan yang baik kepada masyarakat. Meski belum bisa menyelesaikan secara total krisis akibat pandemi, komunikasi publik yang baik akan menenangkan masyarakat, mengedukasi publik menyiasati tekanan hidup, membangun optimisme untuk bangkit dari krisis, dan sebagainya. Kalau kondisi ini bisa tercipta di masyarakat, bukankah ini setengah dari penyelesaian masalah? Pejabat publik harus bisa membangun orkestra komunikasi yang baik saat menyiasati krisis.  Bisa saja antara pejabat satu dengan pejabat lainnya menyampaikan pesan yang berbeda-beda sesuai tugas masing-masing. Hal yang paling penting semua pesan dari pejabat publik tersebut punya tujuan yang sama : membantu masyarakat keluar dari krisis.  Bak paduan alat musik yang berbeda-beda tapi bisa membangun simpfoni yang indah. Bukan malah bikin bingung masyarakat karena tidak ada paduan dalam membangun komunikasi kepada masyarakat. Seolah-olah jalan sendiri-sendiri, berubah-ubah seperti tanpa seorang dirigen.

Apakah para pejabat publik bisa menjadi komunikator yang baik? Saya yakin bisa asal ada kemauan untuk memperbaiki. Ingat ya, pejabat publik tugasnya membantu masyarakat keluar dari krisis, bukan malah bikin bingung masyarakat karena cara komunikasinya yang buruk. Selamat mencoba.

 

 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.