[Cerbung] Perawan Sunti dari Bawono Kinayung #22

[Cerbung] Perawan Sunti dari Bawono Kinayung #22

 

Dua Puluh Dua

Hadiah Indah

dari

Bawono Sayekti

 

 

Ketika suasana sudah meredup di Bawono Kinayung, rombongan itu sudah bersiap untuk berangkat ke Bawono Sayekti. Mereka menyusuri jalan setapak menuju sungai di belakang pondok Paitun. Di ujung jalan setapak itu, mereka berbelok ke kiri, dan sampai di dermaga kecil yang tak jauh dari belokan. Ada tiga buah sampan kecil mengambang di permukaan air. Masing-masing terikat pada tiang yang berbeda.

 

“Ayo!” sekilas Paitun menatap Alma dan Kresna. Menyuruh sepasang pengantin baru itu mengikutinya dan Sentini masuk ke sampan terdepan. Kriswo, Randu, dan Tirto masuk ke sampan kedua, sedangkan Janggo sekeluarga di sampan ketiga.

 

Setelah semuanya siap, sampan itu mulai meluncur perlahan membelah pertengahan sungai. Makin lama makin cepat, walaupun tidak juga terlalu kencang. Kresna kembali mengabadikan perjalanan itu. Pun Alma, melalui kamera poketnya.

 

Aroma harum aneka bunga mulai tercium setelah beberapa saat mereka memulai perjalanan. Pun melewati pula rumpun-rumpun pakis dengan pucuk-pucuk yang masih tergulung.

 

“Kamu masih suka tumis pakis, Kres?” Tiba-tiba saja suara halus Paitun memecah kesunyian.

 

“Masih, Ni,” angguk Kresna. “Khususnya tumis pakis yang dimasak Ibu atau Alma, walaupun belum ada yang bisa menandingi sedapnya pakis yang ada di sini.”

 

Paitun tersenyum simpul. “Kalau kalian kembali ke ‘atas’, bawalah bibit pakis dari sini. Nanti biar dicarikan yang paling bagus oleh Tirto. Tidak sulit, kok, merawatnya.”

 

“Terima kasih, Ni. Nanti kami numpang tanam di halaman rumah Ibu. Sementara ini kami belum punya halaman karena masih tinggal di rumah susun.”

 

“Begitu juga baik,” angguk Paitun.

 

“Eh, tapi...,” Kresna mengerutkan kening, “... bukankah pakis butuh tempat yang dingin dan lembab agar bisa hidup? Palaguna tidak seperti itu, Ni.”

 

Paitun tergelak seketika, sementara Sentini mengulum senyum.

 

“Pakis dari Bawono Kinayung, Kres,” ujar Sentini. “Jangan lupakan itu!”

 

“Ah!” Seketika Kresna memahaminya.

 

Pakis dari Bawono Kinayung.... Coba, keajaiban apa lagi yang akan dibawa oleh bibit pakis itu?

 

Ketika hari sudah makin temaram, sampailah mereka di dermaga dekat pondok Sentono dan Winah. Ternyata, kedua orang itu sudah menunggu di sana untuk menyambut mereka. Winah memeluk erat Alma.

 

“Wah..., bayi Bawono Sayekti sudah dewasa sekarang,” bisiknya, penuh haru.

 

“Terima kasih atas undangan ini, Ni,” ucap Alma, sedikit tersendat. “Kembali ke Bawono Kinayung dan Bawono Sayekti, semua terasa seperti mimpi bagiku.”

 

“Mimpi yang menjadi nyata,” timpal Winah, tertawa kecil.

 

Sepasang tetua Bawono Sayekti itu pun segera menggiring rombongan tamu mereka ke pondok. Bilik-bilik sudah disiapkan, dan Janggo membawa keluarganya ke pondok Suket Teki.

 

Tak jauh dari pondok Sentono dan Winah, pada sebuah tanah datar yang agak lapang, sedang ada kesibukan. Beberapa orang tengah mendirikan naungan besar yang mulai dihiasi dengan aneka rupa dedaunan dan bunga-bungaan.

 

“Besok, kita adakan makan siang bersama di sana.” Sentono menunjuk kesibukan itu. “Ah, kami semua senang sekali berjumpa dengan kalian!”

 

“Kami juga, Ki.” Alma dan Kresna menjawab serempak.

 

“Nah, kalian sekarang istirahat dulu,” ujar Winah. “Kalau mau mandi, silakan. Tempatnya ada di belakang. Bilik-bilik buat kalian, sini, aku tunjukkan.”

 

Rombongan itu pun mengikuti langkah Winah, masuk ke pondok.

 

* * *

 

Selepas senja, mereka semua duduk mengelilingi meja besar di bagian belakang pondok Sentono dan Winah. Meja besar itu penuh dengan makanan yang sungguh menggugah selera. Mulai dari nasi merah yang masih mengepulkan asap, kalkun panggang yang permukaannya cokelat keemasan mengilap dan menggiurkan, sup bening jagung manis, tumis pedas daun dan bunga pepaya, tumis pakis yang terlihat sangat segar, sambal goreng krecek dan tahu, beberapa cobek berisi aneka sambal, selada buah dengan saus madu, dan juga satu teko besar sari sarsaparilla.

 

Mereka menikmati makan malam sambil bercerita tentang banyak hal. Kehidupan Alma dan Kresna di ‘atas’, kabar Wilujeng, apa saja yang terjadi di Bawono Kinayung dan Bawono Sayekti sepeninggal Wilujeng dan Alma ‘Pinasti’, kabar bawono-bawono lain.... Semuanya terlalu menarik untuk tidak diungkapkan.

 

Sentono dan Winah menyatakan kebahagiaan mereka atas pertemuan kembali Kresna dengan Wilujeng, Kresna dengan Alma, dan Alma dengan Wilujeng. Semua yang memang sudah pas pada tempatnya.

 

“Orang baik seperti ibumu, memang sudah sepantasnya menjadi belahan jiwa orang sebaik ayahmu.” Winah menatap Kresna dengan mata berbinar. Ia kemudian beralih menatap Alma. “Dan, orang tua sebaik orang tuamu, sudah sepantasnya untuk tidak memperoleh terlalu banyak kehilangan. Kalian sendiri,” Winah menatap Kresna dan Alma bergantian, “tetaplah saling membuka hati agar jiwa kalian tetap menyatu selamanya.”

 

“Iya, Nini,” ucap Alma dan Kresna serempak, dengan nada takzim.

 

“Kami akan selalu berusaha untuk mengingat dan melaksanakan pesan Nini,” lanjut Kresna.

 

“Bagus!” Winah mengangguk dengan wajah puas.

 

“Terus, acara yang akan kalian gelar itu besok sebetulnya bagaimana, Mbakyu, Kang?” Paitun menatap Winah dan Sentono.

 

Sentono dan Winah saling menatap sejenak sebelum Sentono berdehem sedikit dan menjawab.

 

“Jadi begini, mumpung pengantin barunya diundang ke Bawono Kinayung, sekalian saja Winah dan aku ingin mengadakan syukuran di sini. Hanya jamuan makan siang sederhana saja, dengan mengundang orang-orang dari bawono lain. Tidak banyak, karena penghuni semua bawono memang cuma sedikit. Tak sampai seratus orang jumlahnya. Bagaimanapun, Alma dulu bayinya sempat dibawa ke sini, sempat juga dirawat selama beberapa hari di sini. Kresna juga sempat berkunjung ke sini, kan? Waktu ikut Wilujeng menengok makam.”

 

Semua manggut-manggut mendengar ucapan Sentono. Kresna kemudian menepuk keningnya.

 

“Oh, iya, saya belum menengok makam adik saya.”

 

“Itu,” Winah menunjuk ke sudut, “sudah kusiapkan bunga untuk taburan. Besok pagi-pagi sempatkan dirimu, Kres. Bawalah bunga taburan itu.”

 

“Baik, Ni,” angguk Kresna. “Terima kasih.”

 

* * *

 

“Aku tak banyak mengenal orang-orang di sini,” gumam Alma saat ia dan Kresna sudah berbaring di atas balai-balai. “Selama ini kalau aku ikut Ibu Wilujeng atau Nini ke sini, paling-paling hanya untuk bertemu dengan Aki Sentono atau Nini Winah saja. Itu pun tak pernah lama.”

 

Seusai makan malam, Sentono dan Winah mengajak Alma dan Kresna menemui orang-orang yang sedang sibuk menyiapkan tempat untuk jamuan makan siang esok hari. Meskipun Alma tak terlalu mengenal mereka, tapi mereka menyambut kehadiran keduanya dengan sangat hangat. Tampak ikut bahagia karena ada ‘lulusan’ Bawono Kinayung yang bertemu lagi sebagai belahan jiwa.

 

“Tapi melihat bagaimana mereka menyambut kita, rasanya terharu sekali, Yang.” Kresna menyahut dengan gumaman juga.

 

“Iya.” Alma mengangguk, kemudian menguap. “Bobok, yuk, Mas. Besok pagi-pagi jangan lupa ke makam dulu.”

 

Kresna pun merengkuh tubuh Alma, dan segera terbang ke alam mimpi yang indah di tengah padang rumput.

 

* * *

 

Pagi-pagi sekali, ketika suasana masih temaram, Kresna sudah berada di area pemakaman di daerah belakang pondok Sentono dan Winah. Alma ada di sisinya. Kresna lama sekali terdiam dan terpekur di depan makam kecil yang ia masih ingat betul letaknya. Makam yang masih sangat terawat. Sesekali ia mengelus nisan makam kecil itu, membuat Alma yang melihatnya merasa terharu dan matanya mengaca. Kresna baru mengangkat wajah ketika pagi mulai terang.

 

Dengan bergandengan tangan, keduanya beranjak. Suasana Bawono Sayekti mulai semarak. Alma dan Kresna duduk di balai-balai beranda belakang pondok. Sesungguhnya, tak tahu harus berbuat apa. Alma sendiri memang cukup asing dengan dunia yang berputar di Bawono Sayekti, sehingga ia sendiri tak tahu harus mengajak Kresna bertamasya ke mana di tempat itu.

 

“Kamu mau mandi sekarang?” Kresna akhirnya menoleh.

 

Alma mengangguk. Kresna kemudian berdiri.

 

“Kamu tunggu di sini. Aku ambilkan perlengkapan mandi kita.”

 

Alma kembali mengangguk. Kresna kemudian masuk, dan keluar lagi beberapa saat kemudian, Di tangannya ada sebuah tas kecil gembung yang berisi baju ganti dan peralatan mandi mereka. Kresna kemudian menarik tangan Alma.

 

“Yuk,” ajaknya lembut.

 

Nyaris sama persis dengan di Bawono Kinayung, bilik mandi Sentono dan Winah ada di bagian belakang, agak jauh dari pondok. Tidak persis di dekat sungai, tapi ada jalan setapak yang berbelok ke kanan menuju ke bilik mandi itu. Kresna mendorong pintu bilik mandi dan secepatnya menarik tangan Alma, untuk masuk ke dalamnya bersama-sama.

 

“Hah?!” Alma sedikit terperanjat.

 

Ditatapnya Kresna dengan mata bulat beningnya yang terbuka lebar. Sementara itu Kresna tertawa.

 

“Ayolah, untuk menyingkat waktu,” ujarnya di ujung tawa. “Apa salahnya, sih, mandi bareng?”

 

Tak pelak, ujaran itu membuat wajah Alma bersemu merah. Tapi diikutinya juga kemauan Kresna.

 

“Sudah sah, kok, masih pakai malu-malu?” gerutu Kresna sambil membebaskan diri dari semua jenis baju yang dikenakannya, membuat Alma mencubit pinggangnya dengan tawa tertahan.

 

Masih dengan tertawa-tawa pula keduanya kembali ke pondok Sentono dan Winah seusai mandi. Masuk melalui pintu belakang, di dapur besar pondok itu sudah ada Winah, yang tersenyum melihat kehadiran keduanya.

 

“Ah, aku cari-cari,” celetuk Winah. “Ternyata kalian sudah cantik dan ganteng.”

 

Baik Alma maupun Kresna tersipu mendengar celetukan Winah.

 

“Habis dari makam, Ni,” ucap Kresna. “Sekalian saja mandi.”

 

Winah tersenyum penuh arti. Tanpa penjelasan Kresna pun, ia sudah tahu apa yang baru saja terjadi.

 

Pengantin baru.... Maklum....

 

“Sekarang, apa yang bisa kami bantu, Ni?” Alma mencoba mengalihkan topik pembicaraan.

 

“Lho, kalian itu di sini jadi raja dan ratu sehari.” Tawa Winah pecah berderai. “Tinggal berdandan, duduk, menikmati pesta beserta seluruh sajiannya.”

 

“Wah....” Alma menatap Kresna.

 

“Nggak bawa baju pesta?” Winah mengibaskan tangannya. “Tenang saja, sudah kusediakan. Tak perlu khawatir. Aku menyewanya dari ‘atas’. Sudah bersih, tinggal pakai. Tak perlu khawatir badan kalian jadi gatal-gatal.”

 

Alma dan Kresna tertawa mendengar nada canda dalam suara Winah. Perempuan itu kemudian menggiring keduanya masuk ke sebuah bilik besar yang ada tepat di sebelah bilik yang semalam mereka gunakan untuk tidur. Dalam bilik itu ternyata sudah duduk menunggu seorang perempuan berusia pertengahan empat puluhan yang sangat cantik dengan dandanan apik, dan seorang lagi perempuan lebih muda yang juga tak kalah cantik.

 

“Ini, sekalian kupanggilkan Nyi Woro Rengganis, dukun manten paling top di seluruh bawono.” Winah menjelaskan. “Dia bawa asistennya yang paling piawai, Nok Rosati.”

 

Mereka kemudian berkenalan. Woro Rengganis dan Rosati segera ‘menangani’ Alma begitu Winah keluar. Woro Rengganis menyuruh Alma berbaring di sebuah kursi malas beralaskan tilam di sudut bilik, dekat dengan jendela, sementara Kresna memilih untuk keluar sebentar, mengambil kamera. Dengan seizin Woro Rengganis, ia kemudian mengabadikan proses didandaninya Alma melalui kameranya.

 

“Kalian tahu,” gumam Nyi Woro Rengganis, dengan ekspresi wajah berbinar-binar, sambil tangannya sibuk menotok wajah Alma, “Nyai Winah bahagia sekali dengan pernikahan kalian. Apalagi kalian kemudian bersedia memenuhi undangan dari sini. Sebelum ini, belum pernah ada perhelatan besar di Bawono Sayekti. Di Bawono Kinayung sudah, ketika Kriswo dan Randu menikah. Di bawono lain juga pernah, ketika ada orang-orang dari ‘atas’ yang memang ditakdirkan untuk tinggal di ‘bawah’ bertemu, saling jatuh cinta, dan kemudian menikah.”

 

Sementara Nyi Woro Rengganis sibuk berceloteh sambil tangannya terus bekerja pada wajah Alma, Nok Rosati memijat kaki Alma, melakukan refleksi pada titik-titik yang tepat. Kresna sendiri yang sudah mendudukkan kameranya pada tripod menjadi pendengar yang setia. Ternyata, setelah Nok Rosati selesai dengan kaki Alma, giliran kaki Kresna yang ia tangani. Kresna berbaring telungkup dengan santai di balai-balai. Menikmati nyamannya pijat refleksi. Acara rias-merias itu berlangsung dalam suasana santai dan penuh canda, hingga selesai menjelang tengah hari.

 

Alma terlihat sangat cantik dalam balutan gaun panjang keemasan dihiasi bordir dalam warna emas dan payet-payet gemerlapan. Wajahnya hanya dirias sekadarnya. Hanya untuk menonjolkan bagian-bagian yang indah, terutama matanya. Justru karena itulah ia jadi terlihat jauh lebih mempesona. Rambut ikal kriwil-nya dibiarkan terurai dengan penataan sangat cermat, sehingga jatuhnya sangat indah membingkai wajah. Di kepalanya terpasang sebentuk mahkota keemasan serupa gelang besar yang dihiasi ratusan permata aneka warna. Menurut Nyi Woro Rengganis, mahkota itu adalah pusaka Bawono Sayekti. Hanya orang-orang terpilih saja yang boleh memakainya.

 

Sementara itu Kresna tampak sangat gagah mengenakan celana panjang dan kemeja lengan pendek yang bahan dan warnanya sama dengan gaun Alma. Kemejanya berkerah tegak. Pada bagian pinggang diikat sabuk keemasan, yang bentuknya serupa dengan mahkota yang dikenakan Alma. Kepalanya dihiasi semacam blangkon yang bahannya serupa dengan selop yang ia dan Alma pakai. Secara keseluruhan, penampilan keduanya sungguh ‘bercahaya’.

 

Nok Rosati membuka pintu bilik begitu sepasang pengantin baru itu selesai dirias. Semua yang sudah menunggu di luar bilik seketika ternganga melihat betapa cantik dan tampannya pengantin mereka siang ini, ketika melangkah keluar dari bilik.

 

Alunan gamelan sudah mulai dikumandangkan di tempat diadakannya jamuan makan siang. Alma dan Kresna pun diarak ke tempat jamuan. Di sana sudah tersedia semacam singgasana berwarna merah dan emas yang terlihat sangat agung. Baik Alma maupun Kresna sempat ternganga melihat betapa megahnya ternyata jamuan makan siang yang diadakan di Bawono Sayekti untuk merayakan pernikahan mereka.

 

Meja-meja panjang yang dikelilingi puluhan kursi sudah hampir penuh terisi tamu. Alma dan Kresna pun sudah duduk manis di singgasana mereka. Acara pun segera dimulai.

 

Yang pertama mereka lakukan adalah bersulang dengan menyesap sari sarsaparilla dicampur madu. Kalau tidak ingat bahwa ia harus bersikap sopan dan mengikuti ‘aturan pesta’ di Bawono Sayekti, ingin rasanya Kresna menghabiskan minuman yang sangat lezat dan legit dalam gelas yang dipegangnya itu dengan sekali teguk. Alma yang mengetahui pikiran Kresna hanya bisa menahan senyum geli.

 

“Nanti, ada satu gentong besar di dapur Nini Winah,” bisiknya. “Sepertinya boleh Mas habiskan sendiri.”

 

Kresna meringis sekilas.

 

Yang kedua adalah sambutan dari ketua persatuan seluruh tetua bawono. Namanya Ki Ageng Bintang Sakti. Seorang laki-laki sepuh bertubuh tinggi besar dengan seluruh rambuh dan janggut yang sudah memutih sempurna. Berlawanan dengan penampilannya, suara Ki Ageng Bintang Sakti mengalun sangat lembut, yang terdengar begitu teduh dan menyejukkan hati. Ia tak banyak memberikan petuah bagi sang pengantin baru. Hanya berpesan agar keduanya selalu membuka hati agar bisa menerima seutuhnya setiap kekurangan dan kelebihan pasangan, sehingga bisa saling melengkapi.

 

Berikutnya, diselingi dengan bersulang dan menyesap sari sarsaparilla-madu, masing-masing tetua bawono memberikan sambutan pula. Terakhir adalah sambutan dari Paitun. Dengan suara serak penuh haru, perempuan berkepala nyaris gundul itu menyatakan kebahagiaannya karena bisa mengantarkan jiwa Alma pada kehidupan yang memang sudah seharusnya dijalani. Berharap Alma dan Kresna bisa saling menghormati, mengasihi, dan mereguk kebahagiaan selamanya.

 

Sesudah itu adalah jamuan makan siang yang sungguh meriah. Makanan dan minuman yang tersedia melimpah ruah. Diiringi oleh tembang-tembang yang dibawakan bergantian oleh sinden-sinden­ dari seluruh bawono dengan suara mereka yang sangat indah. Alma dan Kresna bergabung di meja yang ditempati para tertua bawono. Mereka makan sambil bertukar cerita dalam suasana yang sangat menyenangkan.

 

Menjelang senja, acara itu diakhiri. Alih-alih langsung pulang, para tamu undangan justru bergotong-royong membereskan seluruh tempat dan sisa pesta hingga Bawono Sayekti kembali seperti semula. Barulah mereka berpamitan dan kembali ke bawono masing-masing, dengan meninggalkan banyak titipan hadiah untuk Alma dan Kresna.

 

Dibantu oleh Nyi Woro Rengganis dan Nok Rosati, Alma dan Kresna melepaskan semua atribut yang nyaris sepanjang hari tadi mereka kenakan. Dengan hati-hati, Nyi Woro Rengganis meletakkan pusaka Bawono Sayekti berupa mahkota dan ikat pinggang dalam sebuah kotak kayu berlapis beledu warna hitam, dengan tutup kaca. Nok Rosati segera memanggil Winah agar kembali menyimpan pusaka itu.

 

Seusai menyimpan pusaka, Winah kembali ke bilik. Nyi Woro Rengganis dan Nok Rosati sudah selesai membereskan barang-barang mereka. Keduanya pun berpamitan. Sepeninggal kedua orang itu, Alma dan Kresna membersihkan diri mereka di kamar mandi.

 

Selesai mandi, sambil bercakap, Alma dan Kresna kembali ke pondok. Apa lagi yang mereka bahas kalau bukan kemegahan pesta yang baru saja mereka nikmati? Sambil tertawa-tawa, Kresna membuka pintu belakang pondok yang tertutup rapat.

 

Di dapur pondok itu masih berkumpul beberapa orang. Selain tuan dan nyonya rumah serta semua tamu dari Bawono Kinayung, masih ada lagi yang duduk bersama melingkari meja makan. Pelan-pelan, Kresna menutup kembali pintu belakang pondok dari dalam. Winah kemudian bangkit, menghampiri Alma dan Kresna, kemudian merengkuh bahu Alma.

 

“Aku masih punya satu hadiah lagi darimu,” ucap Winah sambil menghela Alma ke arah meja makan. “Secara khusus aku sudah menjemputnya langsung dari Bawono Kecik.”

 

Alma mengerutkan kening. Ada sepasang orang dewasa yang duduk membelakanginya, dan ada dua anak kecil di kiri-kanan mereka. Winah membawanya makin dekat pada orang-orang itu.

 

“Semoga kamu masih mengenalinya,” bisik Winah.

 

Sebelah tangan perempuan itu menggapai bahu tamu perempuan mereka. Pelan-pelan ia berdiri dan berbalik. Seketika Alma hampir lupa bernapas. Ia ternganga lebar dengan mata membulat menatap sosok itu.

 

“Al...,” bisik perempuan itu, mengembangkan kedua lengannya lebar-lebar.

 

Alma mengerjapkan mata. Tentu saja ia mengenal perempuan itu. Bahkan sangat mengenalnya. Wajah perempuan itu tak banyak berubah dari terakhir ia bisa mengingatnya. Seketika ia menghambur ke dalam pelukan perempuan itu. Balas memeluknya erat.

 

“Kak Alda.... Kak Alda....”

 

Hanya itu yang ia mampu bisikkan.

 

* * *

 

Sudah terlalu banyak keajaiban yang menghampiri jiwa dan hidupnya. Alma sudah tak lagi berani bermimpi apa-apa. Termasuk bermimpi untuk berjumpa lagi dengan Alda. Mimpi terakhirnya tentang Alda masih melekat kuat dalam benak dan hatinya. Tak pernah pupus oleh guliran waktu. Bahwa Alda baik-baik saja di alamnya yang baru. Itu sudah lebih dari cukup baginya.


Tapi, benar-benar berjumpa dengan Alda?


Tak henti-hentinya Alma mengerjapkan mata, meraba Alda, mengelus Alda, memastikan bahwa yang ada di hadapannya saat ini benar-benar Alda. Wajah Alda sedikit berubah. Sudah sedikit menua. Tapi tetap menyisakan garis-garis yang masih sangat dikenali Alma. Dipeluknya lagi perempuan itu.


“Kak..., bagaimana Kakak bisa sampai di sini?” bisiknya.


“Karena memang sudah seharusnya Kakak ada di sini, Al,” Alda balas berbisik. “Banyak yang masih bisa Kakak lakukan di sini. Lebih tepatnya di Bawono Kecik, tempat bagi jiwa-jiwa dan tubuh-tubuh yang memang sudah harus menutup kehidupannya di dunia, tapi masih punya tugas tertentu.”


Alma merasa bahwa tak perlu lagi banyak bertanya soal itu. Soal mengapa dan bagaimana. Jawabannya ia sudah tahu, bahwa Gusti sudah mengatur semuanya sesuai dengan lintasan takdir. Untuk saat ini, cukup ia tahu bahwa Alda baik-baik saja. Sama sekali tidak menderita lagi karena peristiwa yang mengharuskan mereka berpisah.


“Ayah dan Ibu baik-baik saja?” Alda mengelus rambut Alma.

 

“Ya,” Alma mengangguk. “Selalu mendoakan Kakak.”


“Doa yang selalu memberiku kekuatan lebih,” senyum Alda.


Kedua perempuan itu saling melepaskan pelukan. Menyadari bahwa mereka tak sendirian dalam ruangan itu. Ketika keduanya melihat ke sekeliling, ternyata Sentono, Winah, Paitun, Tirto, Kriswo, dan Randu sudah menyingkir entah ke mana. Yang tertinggal hanya Kresna, seorang laki-laki dengan wajah yang sangat teduh, dan sepasang anak kecil yang masih berusia di bawah lima dan tiga tahun. Alda menggapaikan tangan pada laki-laki itu. Setelahnya, ia kembali menatap Alma.

 

“Al, kenalkan, ini suami dan anak-anakku,” ujar Alda.

 

Alma dan laki-laki itu saling berjabat tangan. Demikian pula dengan Kresna. Mereka saling menyebutkan nama. Suami Alda itu Andez namanya. Seorang laki-laki gagah dengan sorot mata teduh dan senyum yang menenteramkan hati.

 

“Dite, Astia, kasih salam pada Bibi Alma dan Paman Kresna,” ucap Alda lembut.

 

Kedua anak kecil yang tampan dan cantik itu pun dengan patuh menyalami Alma dan Kresna. Alma segera memeluk kedua keponakannya itu. Yang laki-laki – Dite – sangat tampan, mirip sang ayah. Bermata bulat bening, hidung bangir, dan rambut ikal yang dipotong pendek rapi. Sedangkan yang perempuan – Astia – merupakan fotokopi Alma ketika berusia sama. Berpipi bulat kemerahan, berambut ikal kriwil sepanjang bahu, dengan bibir mungil berwarna merah muda. Bulu matanya sangat lentik menaungi sepasang mata cokelat muda. Cantik dan menggemaskan. Alma menciumi pipi keduanya dengan segenap rasa sayang.

 

Andez kemudian mengajak kedua anaknya keluar ke beranda belakang. Kresna mengikuti ketiganya. Membiarkan Alma dan Alda memiliki waktu mereka sendiri untuk kembali melepaskan rasa rindu. Kedua perempuan itu duduk di balai-balai. Saling menatap. Kesulitan untuk merangkai kata ungkapan kerinduan.

 

“Aku...,” bisik Alma, akhirnya. “Ah, Kak, kita punya adik, pasti Kakak sudah tahu.”

 

“Ya,” Alda mengangguk. “Secuil jiwa Janggo kesayanganmu saat masih di sini itu, kan?”

 

Alma tertawa kecil. Ditatapnya Alda dengan mata berbinar-binar.

 

“Anak-anakmu lucu sekali, Kak,” ujar Alma dengan ekspresi gemas. “Aku jadi ingat Alto saat masih seusia Dite dulu.”

 

Alda menanggapinya dengan senyum lebar. Tapi sejurus kemudian sang adik tertegun.

 

“Kak..., mm.... Apakah... Anak-anak akan... kembali ke... ‘atas’?”

 

Seketika Alda menggeleng.

 

“Mereka bisa tinggal bersamaku dan Mas Kresna,” lanjut Alma.

 

Alda kembali menggeleng. Dengan suara lirih, ia kemudian menjelaskan bahwa ia, Andez, dan kedua anak mereka sudah abadi adanya. Suatu saat bisa berpindah ke bawono lainnya sesuai kebutuhan. Tapi sama sekali tidak untuk kembali ke ‘atas’.

 

“Sekarang ceritakan padaku, bagaimana Kakak bertemu Mas Andez?” mata Alma berbinar-binar ketika mengungkapkan tanya itu.

 

Alda tertawa ringan sebelum menjawabnya, “Hmm.... Kami bersamaan dipanggil ke sini. Berangkat pada ‘gerbong’--,” jemari Alda membuat tanda kutip di udara, “--yang sama. Dan...., mungkin memang benar bahwa sesungguhnya kami sudah ditakdirkan untuk jadi belahan jiwa.”

 

“Ah....” Hanya itu yang Alma mampu ucapkan.

 

Membayangkannya saja sudah menimbulkan fantasi yang sangat indah dalam benaknya.

 

“Keikhlasan kalian adalah kunci kebahagiaan kami di sini, Al,” gumam Alda, lembut. “Aku sangat berterima kasih karena kalian sudah merelakan aku pergi menjemput takdir. Aku bahagia di Bawono Kecik, bersama Mas Andez dan anak-anak. Sama sekali tak ada yang perlu dikhawatirkan.”

 

Alma mengangguk-angguk. Tanpa diungkapkan pun, dengan jelas Alma bisa melihat kebahagiaan itu dalam aura kemilau yang dipancarkan wajah Alda. Digenggamnya tangan sang kakak.

 

“Aku minta doa restu Kakak,” ucapnya sungguh-sungguh, “supaya Mas Kresna dan aku bisa jadi cahaya terang bagi orang-orang di sekitar kami.”

 

“Pasti,” angguk Alda.

 

Malam itu, Kresna merelakan dirinya tidur sendirian dalam bilik yang semalam menjadi tempat istirahatnya bersama Alma. Alma dan Alda tidur berdua dalam bilik yang pagi tadi menjadi tempat rias, agar rindu mereka benar-benar tuntas diungkapkan. Sedangkan Andez dan anak-anak tidur di bilik lain.


* * *

 

Keesokan harinya, menjelang siang, rombongan dari Bawono Kinayung berpamitan. Jumlah mereka bertambah karena Paitun mengundang Alda sekeluarga untuk berkunjung ke Bawono Kinayung selama dua hari. Ia tahu bahwa belum cukup Alma dan Alda saling melepas rindu. Keluarga kecil itu pun menyambut undangan Paitun dengan senang hati.

 

Sentono dan Winah melepas mereka di pinggir sungai. Sebelum benar-benar meninggalkan Bawono Sayekti, Kresna menyempatkan diri meletakkan sebuah mahkota bunga kecil di atas makam adiknya. Matanya sempat mengaca, karena tak tahu kapan lagi bisa berziarah ke makam itu.

 

Di bawah keteduhan Bawono Sayekti, empat buah sampan meluncur beriringan membelah sungai untuk kembali ke Bawono Kinayung. Berkali-kali Alma menengok ke belakang, memastikan bahwa Alda masih bersama mereka. Sebetulnya ia tak perlu melakukan itu karena sampan Tirto ada tepat di belakang sampan Alda sekeluarga.

 

Paitun sempat mengambil banyak sekali kuncup daun pakis di sepanjang perjalanan itu. Melihat hal itu saja Kresna sudah bisa membayangkan kelezatan tumis pakis ala Bawono Kinayung. Membuat Paitun menahan senyumnya ketika menangkap gambaran itu dalam benak Kresna.

 

Melampaui waktu yang bergulir sepanjang perjalanan itu, sampailah mereka di Bawono Kinayung. Satu demi satu mereka turun dari sampan di dermaga kecil di belakang pondok Paitun. Janggo dan keluarganya segera berpamitan karena mereka harus istirahat. Malam nanti adalah waktu bagi ia dan Pinasti untuk melatih kembali ketiga anak mereka agar nantinya bisa menjadi penjaga yang tangguh bagi Bawono Kinayung.

 

Paitun membuka pintu belakang pondoknya lebar-lebar. Pun pintu bilik di seberang biliknya, agar Alda dan Andez bisa meletakkan semua barang bawaan mereka di situ.

 

Sesudahnya, Tirto mengajak Kresna, Andez, Dite, dan Astia untuk ikut bersamanya memancing. Agar Alma dan Alda kembali memiliki waktu berdua.

 

Alma membawa Alda ke tempat-tempat indah di Bawono Kinayung yang ia suka. Di tempat-tempat itulah keduanya menikmati keindahan Bawono Kinayung sambil kembali melepaskan kerinduan dan saling bertukar cerita. Hingga tiba senja hari, saat keduanya harus kembali lagi ke Pondok Paitun.

 

* * *

 

Pada ujung sebuah pertemuan, selalu ada perpisahan. Setelah menginap selama dua malam di Bawono Kinayung, Alda sekeluarga pun harus kembali ke Bawono Kecik menjelang siang hari itu. Alma memeluk erat kakaknya sebelum mereka berpisah tanpa tahu kapan lagi bisa bertemu.

 

“Baik-baiklah kalian di ‘atas’, ya, Al,” bisik Alda.

 

Alma hanya bisa mengangguk-angguk dengan tenggorokan terasa tercekat. Paitun bekerja keras menyerap dan membuang jauh-jauh kesedihan yang mengambang itu. Membuat perasaan Alma dan Alda jadi lebih ringan menghadapi perpisahan itu. Lebih mudah karena keduanya tahu bahwa keadaan sang saudara kandung sama-sama baik di dunia masing-masing.

 

Setelah memeluk kakaknya dan saling bertukar untaian kalung yang selama ini mereka pakai, Alda pun memeluk kedua keponakannya erat-erat. Diciuminya pipi kedua anak itu. Dan, kini sudah tiba waktunya bagi mereka untuk berpisah.

 

“Titip Kakak, ya, Mas,” bisik Alda sambil menjabat tangan Andez, tepat sebelum laki-laki tampan itu masuk ke dalam sampan, menyusul istri dan kedua anaknya.

 

“Jangan khawatir, Al,” senyum Andez. “Kamu juga, baik-baik di ‘atas’, ya?”

 

Alma mengangguk.

 

Sampan kecil itu mulai meluncur perlahan membelah sungai di belakang pondok Paitun, untuk kembali ke Bawono Kecik. Mereka saling melambaikan tangan, hingga sampan itu menghilang di belokan. Alma memeluk Paitun.

 

“Nini, terima kasih banyak atas semua hadiah ini,” gumamnya. “Aku bahagia sekali, Ni, mengetahui bahwa Kakak baik-baik saja, dan sudah ada yang menjaganya.”

 

Paitun balas memeluk dan menepuk-nepuk punggung Alma sambil tersenyum. Mereka kemudian beriringan masuk kembali ke dalam pondok.

 

Alma dan Kresna masih semalam lagi berada di Bawono Kinayung sebelum harus kembali ke ‘atas’. Sesuai janjinya, Paitun membekali keduanya dengan bibit pakis terbaik yang berhasil ditemukan Tirto. Juga dengan aneka hadiah titipan dari Sentono dan Winah, yang berasal dari para penghuni bawono lain saat perjamuan makan siang beberapa hari lalu.

 

Sama seperti ketika Sentini menjemput mereka, perempuan itu mengantar mereka kembali dengan cara yang sama. Ketika kabut putih menghilang dari beranda belakang pondoknya, Saijan pun menyambut kehadiran kembali sepasang pengantin baru itu di dunia ‘atas’.

 

Mereka kembali ke apartemen dengan membawa segudang pengalaman indah dan sangat mengesankan. Merasa jauh lebih siap lagi untuk mengarungi hari-hari ke depan, bersama-sama sebagai belahan jiwa.

 

* * *


Bersambung ke episode terakhir

 

Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)

 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.