JAMAN SEKARANG POLISINYA BANYAK BANGET!

Ada sebuah peristiwa kecil tapi rasanya cukup menarik untuk direnungkan. Saat itu saya lagi ngeriung sama teman-temen di Citos. Biasalah ngopi-ngopi sambil ngemil nasi hainan dan mi goreng.
Makanannya, sih, gak penting tapi silaturahmi harus dijaga. Jadi kita berdiskusi hal-hal yang gak penting dan kadang ngaco. Sampai suatu saat seorang teman namanya Michael, melemparkan pertanyaan standar.
“Guys, kalian lebih seneng jaman Soeharto apa jaman sekarang?”
Awalnya gak ada yang merespon. Ngapain ngejawab pertanyaan seperti itu. Stupid question.
“Gue, sih, lebih suka jaman Soeharto.” Sekonyong-konyong Hendro salah seorang dari kami menjawab juga.
“Kenapa bisa begitu?” tanya Michael.
“Di jaman Soeharto kita takut hanya pada satu polisi. Kalo jaman sekarang polisinya banyaaaaaak banget!” jawab Hendro.
“Maksudnya bagaimana, Dro?” tanya seorang teman yang lain lagi gak ngerti.
“Di jaman Soeharto cuma ada satu polisi dari Polri. Di jaman sekarang banyak banget. Ada polisi moral, ada polisi agama, ada polisi jender, ada polisi fashion, ada polisi grammar dan banyak polisi-polisi lainnya,” sahut Hendro sambil mengunyah pastel yang dilumuri bumbu kacang.
Saya selalu suka sama Hendro. Dia sering mempunyai sudut pandang yang unik setiap kali mengamati masalah.
“Wah, bener, itu,” kata Toni, “Gue posting foto waktu ke kawinan teman kuliah gue. Tau-tahu ada yang komen, ‘Acara formal, kok, pakai celana jeans dan sepatu ketz? Itu tandanya kamu gak menghargai tuan rumah’, begitu katanya.”
“HAHAHAHAHAHA...” Semua tertawa mungkin pernah mengalami hal yang sama.
“Nah, itu Polisi fashion,” kata Hendro.
“Pengalaman lo mirip sama gue, “kata Anna, “Gue lagi bikin status Facebook tentang Anies Baswedan. Terus ada yang komen, ‘Cuma orang goblok yang yang gak bisa melihat kehebatan Anies. Cuma orang kafir dan munafik yang menolak Anies jadi presiden.”
“HAHAHAHAHAHAHA....” Ngakak abis deh semua sekaligus iba pada nasib yang menimpa Anna.
Seorang teman lain langsung nyamber, “Kalo status Facebook gue dibilang sexis. Katanya tulisan gue merendahkan kaum perempuan. Gue bingung salahnya di mana.”
“Mirip sama gue, dong. Status gue yang berbunyi ‘With God everything is possible, He has all solutions’. Lo tahu gak ada yang komen apa?” kata Tony.
“Apa?” tanya Anna gak sabaran.
“Ada yang komen ‘Kenapa God itu HE? Bukankah Tuhan itu tidak berjenis kelamin? Kenapa bukan SHE?’”
“Terus lo jawab apa?” tanya Hendro penasaran.
“Gue gak jawab. Langsung block!” sahut Tony.
“Hahahahahahahaha....” Semua tertawa berderai-derai.
“Kalo gue ditegur sama Polisi Bahasa. Gue nulis gini ‘Speak english, please. I can’t speak bahasa’. Terus ada yang komen, ‘Kalo belom bisa bahasa inggris gak usah sok tahu! Harusnya i can’t speak indonesian. Bukan speak Bahasa!’.”
“HAHAHAHAHAHAHA....” Kami ngakak lagi.
“Kalo pengalaman gue lain lagi,” kata Ryan, “Gue kepergok sama polisi agama.”
“Gimana-gimana...?” beberapa orang bertanya berbarengan.
“Gue posting foto seorang artis gaek yang meninggal dunia. Gue kenal baik sama artis itu karena dia teman nyokap. Orangnya baik banget. Gue respek banget sama beliau makanya gue posting sambil mendoakan supaya mendapat tempat terbaik di sisi Tuhan. Tahu gak ada teman gue komen gak disangka-sangka.”
“Apa komennya?” tanya crowd.
“Komennya gini, ‘tolong didelete fotonya. Artis ini sampai meninggal belum mengenakan hijab. Kebaikannya tidak dihitung. Dia langsung masuk ke neraka karena tidak menutup auratnya’ begitu katanya.”
“HAHAHAHAHAHAHA...!!!”
“Temen lo pasti baru dapet hidayah, itu!” tukas Tony.
“HAHAHAHAHAHAHA...” Kami ngakak lagi.
“Om Bud dari tadi diem aja. Ceritain, dong, pengalaman elo.” Tiba-tiba Hendro berkata.
Saya menatap ke arah mereka semua sambil tersenyum. Setelah beberapa detik, saya baru berucap. “Percayalah, teman-teman. Semua pengalaman yang kalian sampaikan, semuanya udah gue alamin. Semua! Tanpa kecuali!”
“Gile! Berarti lo punya pengalaman lain di luar pengalaman kita tadi, dong?” tanya Hendro.
“Mana ada, sih, pengalaman yang belom pernah gue alami,” kata saya songong.
“Gimana-gimana? Ceritain, dong?” tanya semua orang.
“Gue punya sahabat deket, namanya Heru. Orangnya gendut dan lucu. Gue kangen banget sama dia. Untuk mengekspresikan rasa rindu, gue ngedit foto gue jadi gendut dan gue kasih caption ‘Gue kalo gendut begini bentuknya. Tapi, kok, jadi kayak Heru, ya?”
“Terus ada yang komen apa?” tanya seseorang karena merasa gak ada yang salah dengan postingan saya.
“Ada teman gue komen ‘Bud, biasanya postingan lo inspiratif tapi kali ini gue gak nyaman dengan postingan lo. Ini sudah termasuk body shaming’ gitu komennya.”
“HAHAHAHAHAHA...” Ngakak lagi, ngakak lagi.
“Wah? Sekarang gue bingung ini. Itu termasuk polisi apa?” kata Hendro.
“Ya, polisi body!” tukas Tony.
“HAHAHAHAHAHAHAHAHA....” Kembali kami ngakak gak berenti-brenti.
“Sekarang ini memang banyak polisinya tapi gak usah takut untuk berkarya. Ikutin aja hati nurani kita. Kalo rasanya gak ada yang salah dengan postingan kita, hajar, bleh!!!” kata saya sok tau.
“Gue setuju sama, Om Bud. Kenapa? Karena sampe sekarang belom ada polisi hati nurani,” tukas Hendro lagi.
“HAHAHAHAHAHAHA...!”
Silaturahmi itu memang menyenangkan.
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.