OM PAT DAN TANTE JO

Family gathering adalah kegiatan yang sangat penting. Bertemu muka, ngobrol sambil makan adalah sillaturahmi yang tidak mungkin tergantikan oleh group WhatsApp. Itu sebabnya, pertemuan keluarga menjadi acara rutin yang menyenangkan dan kali ini, alhamdulillah diadakan di rumah kami.
Kali ini saya mau bercerita tentang sepasang suami isteri yang masih saudara jauh kami. Secara silsilah, saya sendiri gak ngerti gimana pertalian keluarga terjalin dengan mereka. Lucunya, meskipun cuma keluarga jauh, justru merekalah yang paling rajin dateng ke acara pertemuan keluarga tersebut.
Kedua pasangan itu sudah tidak muda lagi. Sang Suami berusia 74 tahun dan Si Isteri tahun ini menginjak umur 69 tahun. Mereka cuma tinggal berdua karena ketiga anaknya sudah menikah dan mempunyai keluarga sendiri.
Sang suami bernama Patrick dan isterinya bernama Josephine. Kami biasa memanggil mereka dengan sebutan Om Pat dan Tante Jo. Om Pat sangat akrab sama saya, itu sebabnya dia selalu menghampiri dan duduk di sebelah saya buat ngobrol.
Sambil menikmati makanannya, dia berkata, “Bud, kamu tau gak? Om Pat pernah bekerja di Papua selama 5 tahun."
"Weits? 5 tahun? Lama juga ya, Om Pat?" sahut saya.
"Lama, Bud. Om Pat pernah bergaul dengan kaum pemberontak yang yang ingin Papua merdeka dan lepas dari negara Indonesia.”
“Oh ya? Saya gak tau tuh, Om. Gimana ceritanya?” tanya saya.
Sebenernya Om Pat udah pernah bercerita kisah itu tapi karena dia sudah tua dan tidak punya pengalaman baru, dia selalu mengulang-ulang ceritanya. Bukan cuma ke saya tapi juga ke orang-orang lain yang ditemuinya. Sebagai orang yang lebih muda tentu saja saya harus menghormati yang tua. Itu sebabnya saya selalu memberi ruang pada Om Pat untuk menceritakannya kembali.
Lalu Om Pat menceritakan pengalamannya dengan penuh semangat. Sebuah kisah yang terjadi lebih dari 40 tahun yang lalu. Saya mendengarkan sambil memperlihatkan wajah penuh minat untuk menyenangkan orang tua ini. Baru saja Om Pat bercerita tiba-tiba Tante Jo memotong omongan suaminya.
“Udah gak usah cerita tentang itu lagi. Kesian Budiman tuh capek dengerin cerita yang itu-itu lagi!” kata Tante Jo.
“Kamu jangan sok tau!” sahut Om Pat, “Saya lagi cerita ke Budiman. Bukan ke kamu.”
Tante Jo menoleh ke arah saya, “Bud, kamu capek gak denger cerita Om Pat soal Papua? Pasti capek dong? Tante aja bosen banget dengernya. Udah lebih dari 100 kali dia cerita hal yang sama.”
"Kamu kalo gak mau denger cerita saya, terserah. Saya lagi cerita ke Budiman. Bukan ke kamu!” bentak Om Pat dengan nada mulai emosi.
“Heh! Saya ngomong gitu karena kesian sama Budiman karena kamu selalu mengulang cerita yang itu-itu lagi. Jaga dong perasaan orang lain!” kata Tante Jo gak mau kalah.
“Gapapa, kok, Tante Jo. Saya belum pernah dengar cerita Om Pat yang di Papua,” kata saya berdusta. Sebenernya saya sudah mendengar cerita itu minimal 3 kali tapi saya gak keberatan untuk mendengarkannya lagi dan lagi.
“Tuh, kan? Budiman belom pernah dengar cerita saya. Kamu aja yang bawel selalu ikut campur urusan orang lain.”
“Heh! Budiman itu cuma berusaha sopan aja. Saya aja udah denger cerita kamu ratusan kali, pasti Budiman udah denger cerita yang sama minimal 10 kali. Sadar, hey, Kakek Pikun. Sadar!!!” pekik Tante Jo lagi.
“Kamu itu isteri saya. Seharusnya kamu mendukung suami dalam setiap pertemuan keluarga. Bukannya justru mepermalukan suami sendiri di depan orang lain. Kenapa kamu suka mengatur-atur saya harus ngomong apa.Biarkan saya bercerita.”
“Justru karena karena kamu suami saya makanya saya ngomong begini. Saya mencegah kamu mempermalukan diri sendiri dengan selalu bercerita hal yang sama. Orang muak dengernya, tauuuk!!!”
BRAAAK!!!! Tiba-tiba terdengar suara yang sangat memekakkan telinga.
Saking murka, rupanya Om Pat sampai menggebrak meja. Semua tamu kaget dan menengok ke arah meja kami. Sebetulnya semua orang sudah terbiasa dengan pertengkaran pasangan itu. Setiap acara keluarga memang mereka selalu berdebat tentang hal yang sama. Tapi baru kali ini pertengkaran mereka berlangsung begitu hebat.
Om Pat napasnya kembang kempis dilanda amarah yang teramat sangat. Dia menunjuk ke arah hidung isterinya. Bibirnya berkomat-kamit hendak memaki. Tapi tak ada satupun kata makian yang terlontarkan. Dengan geram dia berdiri lalu tanpa permisi meninggalkan rumah kami. Tante Jo juga membereskan barang bawaannya lalu pamit pada semua orang yang juga shock pada pertengkaran yang diakibatkan perkara sepele tersebut.
“Tante pamit dulu, ya, Bud. Kakek-kakek pikun itu memang gak tau diri. Maafkan kami, ya…” kata Tante Jo.
“Lain kali Tante gak usah ngelarang Om Pat cerita. Demi Allah saya gak keberatan kok ngedenger ceritanya. Apalagi Om Pat itu pencerita yang hebat,” kata saya setulusnya.
“Thanks, Bud. Itu kakek-kakek makin tua memang makin nyebelin. Lama-lama Tante gak tahan hidup sama dia.” Habis ngomong gitu, Tante Jo mencium pipi saya lalu pergi menyusul suaminya.
Saya cuma bisa bengong ngeliat kelakuan kedua orang tua itu. Gak masuk di otak saya kenapa mereka bersikap seperti musuh satu sama lain. Mereka kan sudah uzur. Kenapa memilih cara seperti itu untuk menghabiskan sisa umur. Bukankah usia yang tersisa sebaiknya dimanfaatkan untuk kebaikan. Untuk saling membahagiakan? Ketika usia tidak banyak lagi tersisa, bukankah sebaiknya kita manfaatkan untuk membahagiakan pasangan yang sudah menghabiskan umurnya bersama kita.
Dalam hati, saya kasian banget sama Om Pat. Tante Jo gak pernah percaya bahwa dengan setulusnya saya benar-benar nggak keberatan mendengar cerita Om Pat. Cerita yang sama yang selalu dia ulang-ulang pada setiap orang. Saya gak bisa ngebayangin kalo sudah tua nanti lalu saya dan isteri menjalani hidup seperti Om Pat dan Tante Jo..
Pertengkaran Om Pat dan Tante Jo membuat saya merenung. Peristiwa yang terjadi pada mereka pastilah juga berpotensi terjadi pada semua pasangan suami isteri di dunia ini. Manusia adalah makhluk pencerita. Setiap bertemu dengan orang lain, mereka selalu terpicu untuk bercerita. Sayangnya, semakin tua, kita semakin jarang bepergian sehingga kita tidak mempunyai pengalaman baru untuk diceritakan. Akibatnya kebutuhan bercerita terpaksa hanya diisi dengan cerita yang sama. Cerita yang itu-itu lagi.
Biarkan pasangan kita mengulang cerita yang sama. Berpura-puralah kita belom pernah mendengar cerita itu. Apakah kita tidak menyadari bahwa bisa jadi kita juga sering mengulang-ulang cerita yang sama. Dan ternyata pasangan kita terlalu baik sehingga dengan sabar mau mendengarkan cerita yang sama tanpa bosan. Kenapa tanpa bosan? Karena dia melakukannya dengan cinta.
Kalo kita tidak mampu melakukannya, cobalah paksakan diri untuk bepergian. Dengan bepergian, kita akan memperoleh pengalaman baru. Dengan pengalaman baru, kita jadi mempunyai bekal untuk bercerita dalam pertemuan keluarga yang akan datang. Cinta adalah alasan kita untuk berpacaran. Tapi langgengnya sebuah perkawinan yang dibutuhkan adalah pengertian.
Suatu hari, Om Pat meninggal dunia karena serangan jantung. Kami semua berduka dengan berita tersebut. Dan percaya gak? Tante Jo ternyata sangat terpukul dengan kematian suaminya. Setiap kali saya mengunjungi rumahnya, saya selalu mendapatkan dia sedang menangis menggerung-gerung. Tangannya menggenggam baju Om Pat dan terus menerus dihendus-hendus ke hidugnya.
“Tante kangen sama Om Pat, Bud. Buat Tante, Om Pat adalah orang paling baik di seluruh dunia.” katanya dengan berurai air mata.
“Itu baju kenapa dicium-cium terus, Tante Jo?” tanya saya.
“Tante kangen sama Om Pat, Bud. Bau Om Pat masih bisa Tante rasakan di baju ini Huhuhuhu….” Tangisnya semakin lama terdengar semakin memilukan.
Dengan perlahan saya peluk Tante Jo. Sayangnya, bukannya reda ternyata tangisnya malah makin kenceng, loh.
“Huhuhuhuhuhu…. Om Pat itu orang baik, Bud. Tante gak bisa hidup tanpa dia. Tante mau mati aja rasanya. Sudah hampir 60 tahun Tante hidup sama dia. Huhuhuhuhu…..”
“Iya, yang sabar ya, Tante Jo. Kalo Tante nangis terus nanti Om Pat gak tenang di alam sana. Kita doakan aja supaya Om Pat masuk surga.”
“Huhuhuhu…Om Pat orang baik. Tante nyesel suka kasar sama dia di penghujung umurnya. Huhuhuhuhu….”
Saya peluk Tante Jo sepeluk erat. Saya cium pipinya berkali-kali namun Tante Jo makin histeris. Dia meraung dengan kesedihan tiada tara, “HUHUHUHUHUHU…..!!!”
Hidup memang tidak mudah. Tapi peristiwa Om Pat dan Tante Jo telah memberi saya pelajaran yang sangat berharga. Di masa tua nanti, sesebel-sebelnya saya pada isteri, entah karena dia udah mulai pikun, entah karena udah cerewet, udah bawel dan udah nyebelin, insya Allah saya akan memperlakukannya dengan baik. Saya akan mengurusnya sepenuh jiwa.
Sejak dulu saya mempunyai pemahaman, kalau kita merasa bahwa pasangan kita adalah orang baik, katakan ketika dia masih hidup. Kalo kita merasa sangat mencintainya, katakan ketika dia masih bernyawa. Kalau kita gak sanggup hidup tanpanya, katakan ketika dia masih bersama kita.
Kalo kita mengatakannya saat pasangan sudah menjadi mayat dan berstatus sebagai penghuni alam kubur ya percuma. Dia tidak bisa mendengarnya. Sekali lagi saya berjanji akan menghabiskan hari tua bersama isteri dengan hanya fokus untuk membahagiakannya. Saya juga berdoa, semoga isteri saya juga akan melakukan hal yang sama terhadap saya. Amin. Insya Allah.
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.