Untuk Perempuan di Persimpangan

Untuk Perempuan di Persimpangan
Image by pixabay.com

Entah mengapa, aku merasa menjadi manusia paling bodoh.


Aku yang sangat mengetahui bahwa perjalananku denganmu hanya aku yang menginginkan menjadi sebuah cerita, selalu memaksa masa untuk memberikan jeda pada sebuah janji yang telanjur terikat.

 

Kuhirup aroma kopi yang tak menusuk hidung. Tak becus aku menyajinya, kenapa menjadi hambar?. Padahal tak ada penghuni lain dalam secangkir robusta yang aku seduh bersama didihan mokapot tanpa bacot.

 

Sesekali kuperhatikan layar Mac yang sengaja kubiarkan terbuka layarnya, tak ada pesan untukku.

 

Inilah cerita kupu-kupu yang tak pernah siap untuk terbang.

 

“Kutunggu kau jam enam pagi di dekat kedai kopi samping kostmu, aku tak perlu turun dan kau langsung saja masuk mobilku!”

 

Kuperhatikan setiap kata yang terlihat jelas dengan ukuran font maksimal hingga memenuhi layar kecil iphone jelekku.

Baik, artinya aku harus siap-siap lebih pagi.

 

Tepat jam empat pagi, alarm berisik menelisik yang berubah menjadi sebuah teriakan agar aku segera membuka mata.

 

Untuk kesekian kalinya, tak bisa kupungkiri bahwa aku bahagia.

Kukenakan baju yang dia suka, kupasang senyum yang tak seharusnya keberikan dan aku duduk di sampingnya.

 

Perjalanan Jakarta-Cianjur, seharusnya tak memakan waktu lama.

Dasar setan sedang ada di antara kami, dibuatlah jalanan menjadi sangat padat, dibuatlah perut kami kelaparan dan dibuatlah kami memadu rindu yang telanjur menjadi candu.

Setidaknya untukku.

 

“Rokokku habis, kita berhenti di rest area sebentar ya, sambil kau pastikan titiknya. Jangan sampai kita salah keluar pintu tol!”
“Ok.”

 

Kuhubungi orang-orang yang akan kami temui seminggu kedepan, jadwal kami buat sedemikian rupa agar banyak waktu yang dapat dihabiskan berdua.

 

“Kamu perlu aku siapkan apa untuk di mobil?”
“Hmm, air mineral saja.”

 

Tak sampai setengah jam, mobil sudah dibesut kembali ke jalanan tol yang tak seperti jalan tol.

 

Pura-pura diam, padahal tak mau diam.
Pura-pura sibuk padahal sedang tak sibuk.
Pura-pura tak peduli padahal ingin dipedulikan.

 

Sial, mukanya tetap lurus ke arah jalan.

 

Jam menunjukkan pukul dua belas siang, dan kami sudah berada di Kawasan puncak, langit yang hanya sedikit menampakkan mataharinya, melengkapi dingin yang sedari tadi sudah menggodaku bergumul dengan AC.

 

Kugosokkan tanganku, tak ada api unggun namun perasaan kesalku padanya melebihi panasnya api saat pasukan pramuka menyelesaikan jurit malamnya.

 

Setan berbisik perlahan pada telinga sebelah kiri.


“Kamu yakin dia suka sama kamu?”
“Iya dong.”
“Hahahaha, tolol kamu. Coba kau perhatikan baik-baik. Aku rasa dia hanya tidak enak saja padamu.”

“Setan lu, sana pergi. Ga usah jadi orang ketiga, kata orang yang ketiga itu setan.”
“Lah kan gue emang setan.”
“Oiya gue lupa.”

 

Kutatap dalam-dalam matanya, sesekali dia perhatikan pandanganku, setelah itu dia mencoba cairkan suasana.

“Dingin ya, lapar pula. Makan dulu yuk!”

“Ayok, perutku juga lapar dari tadi.”

 

Kurapikan bajuku, kupasang sepatu yang tadi kulepas di mobil, kuambil tas yang berisi peralatan make-up dan segera kucari toilet untuk memastikan mukaku baik-baik saja.

 

“Hei, kamu di sini?”

“Loh, ini toilet cewe.”
“Ga ada tulisannya ko. Udah selesai?. Yuk cari makan!”

 

Mengelilingi sebuah factory outlet yang merangkap tempat makan, kami bingung. Tempat makan yang kami lihat di billboard tadi tak kunjung kami temukan.

Akhirnya ada tangan melingkar di pinggangku. Aku biarkan.

 

“Kenapa kita kaya anak SMP?”. Dia berseloroh.

 

Sial, ga bisa romantic dikit apa ya?

 

Waktu berlalu sangat cepat, sempat aku komplain pada waktu.


“Bisa ga sih agak pelan dikit kalo muter?. Masih kangen tau?”

“Ya lu kenapa pakenya energizer, pake dong merk lokal yang tugunya tadi lu lihat pas turunan puncak.”
Hah? Tugu? Merk lokal?. Apaan sih?”
“Udah, ga usah sebut merk. Nikmati sana waktumu. Entar gue pelanin dikit biar kamu bisa ngopi sambil haha hihi.”

 

Pekerjaanku dan dia tak lama, hanya butuh waktu dua jam saja. Lebih sebentar daripada waktu kami seharusnya bercumbu di mobil tadi.

 

Karena padatnya jadwal kerja kami, mobil terus dibesut untuk pindah ke kota berikutnya. Lagi-lagi jalanan padat. Seharusnya banyak waktu pula yang bisa aku gunakan untuk sedikit bermanja, namun rupanya gagal lagi. Alasannya harus focus ke jalanan.

 

Tiba-tiba aku menjadi wanita penyabar, tiba-tiba menjadi sangat ayu dan tiba-tiba menjadi wanita penurut.

 

Ngih, aku nda papa.

 

Baterai handphone habis, powerbankku tertinggal di koper di bagasi belakang. Tidak ada kabel charger yang aku tinggalkan di tas.

 

“Nih pakai handphoneku!. Hotelnya masih jauh atau tidak?”

“Harusnya sih tidak. Paling lima belas menit juga sampai.”
“Iya tapi kalau tidak hapal jalannya, malah jadi putar-putar.”



Sosok dewi menyelemuti hati

Tak ada caci apalahi maki

Hanya sebaris lirik yang sedikit miris

Bahwa yang terlihat semua tampak manis

 

Sampailah kami di hotel yang sudah kami booking beberapa hari yang lalu.

 

Dua room deluxe, dengan single bed dan no smoking room.

 

“Ko kamu pesannya no smoking sih?”
“Aku pesan smoking kok.”
“Lah ini mbanya bilang no smoking.”
“Ya aku ga tau, aku pesannya smoking.”

 

“Maaf, memang order awalnya smoking room, tapi karena ada perbedaan harga yang lumayan jauh, maka pihak travelnya mengubah ke no smoking room.”

 

Wajahnya kesal, entah karena lelah menyetir seharian entah kesal karena tidak bisa merokok di kamarnya.

 

Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.

 

Tok..tok…tok..


“Hei… “

“Ngopi yuk!”

“Bawa laptop?”
“Boleh”

 

Aku mengikuti langkahnya. Sengaja tak kupesan apapun, hanya ingin tahu apakah dia akan minum sendiri atau ingat bahwa ada aku di belakangnya.

 

“Cappucino satu.”

 

Kuambil bangku di sudut, kuletakkan Mac ku dan kusimpan satu buku di sampingnya. Siapa tahu dia sibuk dengan pekerjaannya, maka aku masih bisa ditemani oleh buku untuk membunuh waktu.

 

Kudatangi sang pemesan cappuccino yang masih ngobrol dengan barista perihal mesin kopi yang ada di kedai tersebut.
 

“Mbanya ga pesen mba.”
“Oiya, kamu ga pesan?”

“Boleh mas, aku minta cappuccino juga sama tahu garam pedas tanpa garam.”

 

Hmmm, rupanya baristanya lebih peduli padaku.

 

#

Setahun berlalu, perasaanku masih dipenuhi berbagai pertanyaan. Masih banyak hal yang mengganggu pikiranku. Masih banyak kebodohan-kebodohan lain yang mengetuk pintu otakku.

 

“Sudah kubilang berulang kali, apa yang kamu sampaikan, jawabannya adalah enggak. Atau lama-lama aku berpikir, jangan-jangan kamu yang ingin meninggalkan aku. Apa aku hanya mengganggu hidupmu?”

 

Rasanya ingin aku berteriak di samping telinganya. Sama, aku pun tidak.

Aku sampaikan dengan cara yang sedikit lebih baik dari pada rasa yang telanjur memuncah di ruang kosong yang semakin hari semakin penat.

 

Kau tak pernah paham mengenai kelam

Kau tah pernah sadar mengenai kadar

Kau tak pernah rasa mengenai asa

Kau tah pernah menjiwa mengenai gila

 

Halaman buku semakin tebal

Membuat otakku menjadi bebal

Rasaku semakin kebal

Inginku semakin menjadi khayal

 

Ingin berhenti namun tak mau mati

Ingin melepas namun tak mau kandas

Ingin menjauh namun tak mau jenuh

Ingin mengubur namun tak mau kabur

 

Suatu saat kau sampaikan terima kasih untuk aku tak paksakan keadaan.

Tahukah kamu, sungguh aku terpaksa katakan itu.

 

Kupanggil malam lebih cepat, ingin rasanya aku cepat terlelap dan besok saat kubuka mata, aku berada pada Lorong gelap tak berkawan.

 

Ingin kau berteman dengan mereka yang bisa tertawa tanpa harus ada cerita, yang bernyanyi tanpa harus ada sunyi dan yang bercumbu tanpa harus ada cemburu.

 

Di situlah tempat yang tepat, untuk kamu para kupu-kupu. Di Rumah Sakit Jiwa?

 

Kau tak pernah tahu bahwa kau begitu indah, lantas kenapa kau biarkan debu menutup sayap yang kau biarkan patah.

Kau tak pernah tahu bahwa kau begitu agung, lantas kenapa kau biarkan gaung terkatung dan mematung

Terbanglah jika kau mau, kelak segala tangis akan menjadi gerimis yang dinanti sejoli untuk jadi pemanis

Setidaknya hidupmu akan melepas miris dan hati yang terus teriris.

 

Pulang, jika jiwamu sudah kembali menjadi tawa!

 

#Bandung, 14 Mei 2020

 

 

 

 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.