Jembatan Kenangan. (Bagian Pertama)
Ini adalah cerita bersambung, ada 3 bagian. Terinspirasi dari sebuah foto tua bersejarah.
Bagian Pertama.
Aku berjalan menyusuri Centre Street Bridge.
Sambil menikmati pemandangan di Bow River.
Centre Street Bridge adalah jembatan tua yang cantik. Ini adalah salah satu bangunan bersejarah di kota kami, sudah berdiri sejak 1916.
Daerah tempat tinggalku ini berbukit bukit. Gabungan keindahan alam dan peradaban.
Di satu sisi ada bukit bukit berbunga, pohon pohon tua dan sungai. Berlatar belakang pegunungan Rocky Mountain. Di sisi lain terlihat pusat kota. Banyak bangunan tua bersejarah berbaur dengan pencakar langit.
Sungai Bow River dan Jembatan Centre Street-nya seolah menjadi pembatas antara bukit pemukiman penduduk dan pusat kota. Di sisi utara jembatan itu ada bukit taman yang luas. Surga bagi pencinta hewan, tempat pertemuan club hewan. Tembok pembatas taman dan jembatan dihiasi lukisan sepanjang jalan. Dan di sisi selatannya ada Chinatown, sebagai pintu masuk menuju pusat kota.
Celana yogaku terasa ketat, padahal aku belum makan. Kulihat jam tanganku menunjukkan pukul satu. Memang kebiasaanku tidak pernah sarapan. Tapi hari ini aku juga belum makan siang. Sengaja karena ingin diet. Sejak covid, berat badanku naik banyak. Karena semua gym harus tutup. Sudah tidak kerja, di rumah nonton netflix terus sambil ngemil.
Belakangan ini gym boleh dibuka kembali. Aku bertekat mau berolah raga lagi. Lokasi gym cukup dekat, sekitar setengah jam berjalan kaki dari rumah. Hitung-hitung pemanasan jalan kaki. Matahari sangat terik. Kaosku mulai berkeringat. Sudah 6 bulan tidak olahraga, baru jalan 15 menit sudah lelah. Padahal biasanya satu dua jam di gym tidak terasa.
Perutku mulai lapar. Banyak restaurant dari berbagai negara di Chinatown dengan aroma masakan yang mengoda. Rasanya ingin mampir ke salah satu restaurant itu. Tapi aku berusaha menahan diri. Ingat diet, ingin kurus. Dan ingat kantong karena lagi nganggur. Lagipula olahraga disaat lapar itu paling bagus untuk menguruskan badan. Kutahan laparku dan meneruskan perjalanan. Kakiku terasa lemas, serasa tak bertenaga, dan tiba tiba aku terjatuh.
Kurasakan kasarnya lantai jembatan dan kepalaku terpentur tembok batu. Tiba tiba gelap.
Sinar matahari menyilaukan dan suara bising percakapan orang membuatku terbangun. Kucoba membuka mataku perlahan. Badanku terasa sakit, kepalaku pusing. Aku masih terbaring di jembatan ini.
Kulihat orang orang di sekelilingku. Banyak pria berpakaian lusuh. Kemeja lengan panjang, memakai overall. bertopi dan sepatu kulit. Aneh. Bukan seperti para pekerja kantor karena kotor. Tapi bukan seperti pekerja buruh pada umumnya karena sepatu dan topi mereka. Bukan sepatu bola dan topi baseball. Seolah mereka memakai kostum jaman dulu.
“Kamu kenapa?” tanya seseorang.
“Kamu tidak boleh berada di sini, berbahaya!” ujar orang lain.
“Jembatan ini belum selesai, tidak boleh dilewati, cuma pekerja yang boleh berada disini!” ujarnya.
“Jangan takut, kita cuma ingin membantumu.” ujar pria lain tersenyum. Walau pakaiannya lusuh, tapi tak bisa menyembunyikan ketampanannya. Matanya biru terang. Dua lesung pipit menghiasi wajahnya. Sepintas mirip Channing Tatum, cuma rambutnya blonde.
“Kenalkan, nama saya Jack.” katanya seraya membantuku berdiri.
Kulihat sekelilingku, Jembatan ini terlihat berbeda, seperti belum selesai. Di sisi kiri kulihat jembatan terpotong dan dibawahnya banyak orang sedang membangunnya. Mereka berpakaian seperti orang orang yang mengelilingiku.
Aku bingung.
“Kamu harus pulang, jangan berada di sini!” kata seorang pria.
“Jangan Galak galak Tom, jangan membuat dia takut!” kata Jack.
Kakiku sakit, memar dan berdarah, kulihat darah juga mengalir dari kepalaku. Aku mencoba berjalan sempoyongan.
“Anda luka, biar kuantar pulang, di mana rumah anda?” tanya Jack.
“Dekat, di situ” aku menunjuk ke arah rumahku. Tapi aku terkejut, suasana sekitar sudah berubah total. Tidak tampak gedung pencakar langit di pusat kota yang biasanya terlihat dari jembatan ini. Tidak ada bukit berbunga, tidak ada tembok lukisan di dinding sekitar jembatan.
“ Tidak ada rumah di sebelah sana bu, di mana rumah anda? apa di China town?” tanya pria yang dipanggil Tom.
Aku diam tidak tahu harus menjawab apa.
Kalau jembatan ini belum selesai, Apakah artinya ini tahun 1916?
Apakah aku bermimpi? mana mungkin aku time travel?
“Kita punya teman orang Cina, mungkin kamu bisa bicara sama dia”
“Kong, sini kong!” Tom memanggil seorang pria bermata sipit.
Pria itu mulai bertanya padaku dalam bahasa mandarin.
“Maaf, aku tidak mengerti bahasa Mandarin.” kataku.
“Kamu bukan Chinese? Kamu orang apa?” tanya pria yang dipanggil Kong.
Aku bingung harus menjawab apa.
Kalau benar ini 1916, Indonesia belum merdeka. Harus kujawab apa?
“Mungkin dia native Indian.” kata seseorang.
“Bukan.” jawabku.
“Ayo kalian balik kerja lagi, jangan nonton di sini!” ujar Tom pada kerumunan itu.
Merekapun segera menuruti perintah Tom.
“Kong, bawa dia pulang ke Chinatown!” perintah Tom.
“Mandor menyuruh saya membawa kamu ke Chinatown!” kata Kong, mengiring saya pergi.
“Tapi aku tidak tinggal di situ!” jawabku.
“Kamu tidak tahu rumah kamu di mana!" kata Tom.
"Mungkin dia hilang ingatan, sudah bawa saja ke Chinatown, pasti ada yang mengenali dia di sana!” perintah Tom pada Kong.
Terpaksa aku menuruti mengikuti Kong ke Chinatown. Tom tinggi besar dengan kumis dan jenggot lebat. Suaranya berat. Tampaknya berwibawa dan ditakuti para pekerja di sini.
Chinatown masih di lokasi yang sama, hanya penampilannya yang berbeda.
Kong bertanya pada para penduduk di sana, apakah ada yang mengenali aku. Tapi tidak ada yang kenal. Kong lalu membawaku ke sebuah rumah. Seorang wanita tua tinggal di sana. Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Wanita itu memberikan aku semangkuk bubur. Dia membersihkan luka-lukaku. Dia menanyakan sesuatu padaku. Kong berusaha menterjemahkan untukku.
“Ini ibu saya, dia tidak bisa berbahasa Inggris, dia bilang baju kamu aneh.” Kata Kong.
Kulirik kaos oblong dan celana yogaku. Ya mungkin aneh untuk orang di jaman ini.
“Saya harus kembali bekerja, sementara kamu tinggal di sini saja, sampai kamu ingat alamat rumah kamu.” katanya. Lalu dia segera pergi.
Aku menghabiskan bubur itu, aku lapar sekali.
Wanita itu menunjukkan sebuah tempat tidur sederhana, dengan bantal kayu.
Aku berbaring di sana dan jatuh tertidur.
Ketika aku bangun, aku sekali lagi terkejut berada di rumah Kong.
Aku masih di 1916? Ah aku kira semua ini hanya mimpi buruk.
Kuraih tasku untuk mencari iphoneku. Ternyata tidak bisa digunakan. Ah lupa mana ada wifi di tahun 1916. kulirik jam tanganku sudah pukul 6 sore.
Wanita itu memanggilku ke meja makan. Dia sudah masak, masakan Chinese sederhana. Tapi enak. Aku memakannya dengan lahap.
“Xie xie” kataku berterima kasih. Walaupun tidak bisa Mandarin, tapi aku tahu beberapa kata.
Tak lama kemudian Kong pulang, dia bersama Jack.
Jack membawa sekantong buah-buahan.
“Makan buah biar cepat sembuh” kata Jack tersenyum.
“Siapa namamu?” tanya Jack.
Aku terdiam.
“Mungkin dia lupa namanya juga!” kata Kong.
“Bagaimana kalau kupanggil Jenny, untuk sementara saja, sampai kamu ingat nama kamu!” kata Jack.
Aku menggangguk dan tersenyum.
“Ibu saya tidak bisa bahasa Inggris. Saya bingung juga kalau saya kerja, si Jenny gimana tidak bisa komunikasi dengan ibu saya. Mungkin sebaiknya saya minta cuti sama Tom.” kata Kong.
“Ah alasan, kamu males kerja aja.” ujar Jack menggoda Tom.
“Sudah kubawa Jenny ke rumahku saja.” usulnya.
“Apa orang tuamu tidak marah nanti?” tanya Kong.
“Orang tuaku tidak tinggal di kota ini!” kata Jack.
“Kamu nanti pulang ke rumah aku saja ya” kata Jack kepadaku.
“Tapi Tom menyuruh dia tinggal di rumahku!” kata Kong.
“Tom cuma menyuruh membawanya ke Chinatown, bukan ke rumahmu. Dia cuma mau menyingkirkan Jenny. Agar kita cepat kembali bekerja, tidak berkerumun menonton. Tom tidak peduli Jenny tinggal di mana.” kata Jack.
Ibu Kong mengatakan sesuatu dalam bahasa Mandarin.
“Ibu saya bilang dia mau Jenny tinggal di sini, biar ada yang membantunya memasak dan mengurus rumah” kata Kong.
“Ibu kamu bukannya tidak bisa bahasa Inggris Kong?” tanya Jack.
“Tidak bisa bicara, tapi mengerti sedikit sedikit” kata Kong.
“Kalau Jenny mau dia bisa membantu di sini kalau siang, Nanti kalau malam saya bawa pulang ke rumah saya” Kata Jack.
“Buat apa bolak balik, tidur di sini saja” kata Kong.
“Kamu kan cuma punya 1 kamar, kamu tidur dengan ibumu. lalu Jenny mau tidur di mana?” tanya Jack.
“Jenny bisa tidur dengan ibuku di kamar, aku tidur di ruang tamu” Kata Kong.
“Ah nanti kamu capai tidur di kursi, paginya tidak bisa kerja. Sudahlah Jenny tidur di rumahku saja. Aku tinggal sendiri, rumahku luas ada kamar kosong” kata Jack.
Akhirnya Kong membiarkan aku pulang ke rumah Jack.
Rumah Jack sederhana tapi luas.
Dia membangun rumahnya sendiri. Semua furniture juga dibuatnya sendiri.
Halamannya juga luas dan asri. Ada ayunan di sana. Banyak bunga dan beberapa tanaman buah-buahan. Jack memetik raspberry dan memberikannya padaku.
“Banyak makan buah biar cepat sembuh.” katanya.
“Aku belum pernah melihat orang memakai baju aneh seperti itu.” katanya.
Diajaknya aku masuk ke kamar tamu.
Dari dalam lemari diambilnya sebuah gaun.
“Kamu bisa pake ini.” katanya.
“Baju siapa ini?” tanyaku
“Baju almarhum istriku.” katanya.
“Semua isi lemari ini baju dia, kamu bisa pakai. Sampai kamu ingat alamat rumah kamu.” katanya.
“Terima kasih.”
“Sudah berapa lama istrimu meninggal?, Kamu punya anak?” tanyaku
“Sudah lama, sekitar sepuluh tahun yang lalu. Dia meninggal saat melahirkan anak pertama kami” katanya.
“Lalu dimana anakmu sekarang?”
“Dia juga meninggal bersama istriku hari itu.” kata Jack.
“Maafkan aku, aku tidak bermaksud membuat kamu sedih” kataku.
“Tak apa.” katanya.
“Kamu bisa tidur di kamar ini, kamarku ada di sebelah. Jangan takut, aku tidak akan menggangumu.” kata Jack.
“Selamat malam.”Jack tersenyum dan melangkah ke luar.
Sepanjang malam aku susah tidur.
Kenapa aku bisa datang ke tahun 1916? Bagaimana aku bisa pulang?
Aku takut. Tapi diam diam aku sedikit senang.
Kenapa senang?
Ah kamu sih tidak melihat Jack. Kalau kamu melihat Jack juga kamu mengerti.
Bersambung...
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.