Jackpot
Kehidupan Bang Umar dan Firdha yang berubah drastis karena PHK, perjudian dan ketidakpedulian

"Sudah kubilang, kamu tidak usah banyak cakap akan urusanku. Aku, suamimu sedang cari cara untuk mendapatkan tambahan uang!" ujar Bang Umar lantang.
"Tapi bang, judi online itu hanya akan..", aku sontak terdiam dan melingkupi wajahku dengan lengan, menghindari tinju suamiku yang sudah entah ke berapa kali bersarang di wajah dan tubuhku, selama hampir lima tahun pernikahan kami.
---------------
Aku, Firdha, menikahi Bang Umar, manajer perusahaan tekstil terbesar di daerah kami, bukan karena jabatannya. Tetapi, ia sungguh pria yang mampu menaklukkan hatiku yang terbiasa keras karena harus berjuang menghidupi ibu dan adikku setelah ayahku pergi tanpa kabar. Kehadiran Bang Umar seolah mengingatkanku menjadi perempuan yang boleh bermanja.
Saat berada di pabrik, aku yang bekerja sebagai supervisor pabrik bawahan Bang Umar, bekerja sangat profesional. Namun setiap waktu pulang, Bang Umar akan selalu mengantarku pulang, dan menjemputku keesokan harinya. Awalnya itu terjadi karena tawaran saat hujan, tapi menjadi berkelanjutan ketika Bang Umar seolah menitahkanku untuk selalu menunggunya di lobi saat pulang.
Beberapa bulan kemudian Bang Umar meminta bertemu dengan ibuku, dan di hadapan beliau, Bang Umar meminta kesediaanku untuk mendampinginya sebagai seorang istri. Ibuku tentu saja mengizinkan, berharap pernikahan kami akan mengakhiri permasalahan finansial keluarga kami. Jujur saja, lelaki yang terpaksa kami panggil ayah itu meninggalkan banyak hutang.
Pernikahan kami dilangsungkan secara sederhana tapi khidmat, dan setelahnya kami tinggal di rumah Bang Umar karena memang lebih dekat ke tempat kerja kami. Meskipun demikian, Bang Umar adalah menantu bertanggung jawab. Ia mengambil alih tanggung jawabku membiayai kehidupan Ibu dan adikku, Maya.
Bukan itu saja, Bang Umar juga meratukan aku dan memintaku untuk tidak bekerja lagi. "Aku suamimu, aku yang bertanggung jawab atas kelangsungan hidupmu. Jangan bekerja lagi, dan biarkan aku menjagamu", ujarnya di peraduan saat malam pertama kami.
Semuanya begitu membahagiakan, berjalan lancar, seolah kehidupanku yang lama berubah 180 derajat. Sayangnya semua itu tak berlangsung terlalu lama, di tahun yang sama pernikahan kami, setelah anak pertama kami lahir, Bang Umar dirumahkan karena perusahaan tekstil mengalami kebangkrutan. Saat itulah surgaku berubah menjadi neraka, bahkan Bang Umar menjauhkan aku dan anakku dari Ibu dan adikku.
--------
"Bang, aku minta uang untuk membeli beras dan bahan makanan, Bang. Raihan sejak kemarin baru makan semangkuk mie, dan aku sedang menyusui Rania juga, Bang" ujarku nyaris merengek memohon belas kasihan Bang Umar.
Ia hanya mendengus dan berkata, "Kau tinggal hutang sama warung di ujung kontrakan, apa susahnya sih? Uang dalam dompetku tinggal untuk modal. Kalau nanti menang jackpot, 100 juta bisa kita pakai makan sampai muntah kekenyangan"
"Kalau, kalau, tapi tak pernah terwujud" sahutku tak tahan.
"Sudah pandai kamu membangkang pada suami ya? Istri kurang ajar!" bentak Bang Umar sembari melayangkan pukulan demi pukulan ke tubuhku.
Saat aku sudah tersungkur di pojokan kontrakan kami yang sempit, Bang Umar lalu berangkat pergi tanpa berkata apa-apa lagi. Anakku Raihan yang bersembunyi di balik dinding dapur menghampiriku dan berkata, "Ibu, adik menangis" Tak ada lagi ketakutan di mata bocah berusia tiga tahun itu.
Dengan bantuan Raihan aku berjalan tertatih menuju peraduan tempat bayiku menjerit-jerit mencari susu. Segera kusorongkan dadaku untuk membuainya. Raihan ikut merebahkan tubuh di samping adiknya, meringkuk memegang perut tanpa berkata apa-apa.
-------------
"Jackpot!" jeritku kegirangan. Akhirnya setelah nyaris setahun berjudi dan menjual hampir semua harta, impian 100 juta itu jadi milikku. "Biar si Firdha kubelikan sembako dulu agar tidak ribut dia!" ujarku dalam hati.
Uang 100 juta akan dikirimkan ke rekeningku dengan biaya ini dan itu, pajak pemenang apalah. Memang tidak akan utuh, tetapi tetap masih cukup banyak. Aku sudah memikirkan untuk pindah kontrakan yang lebih bagus, kalau perlu DP rumah baru atas nama Firdha.
Meski selalu menjadi sasaran kemarahanku, aku tetap mencintainya, dan juga anak-anak kami yang lucu-lucu, meskipun tampak kekurangan gizi.
Aku bergegas menuju ATM, dan melihat saldo tabunganku yang meningkat menjadi 80 juta. Entah kemana dua puluh juta lagi, aku tak peduli. Yang penting, sekarang akan kuambil 5 juta untuk berbelanja, dan mungkin yang 75 juta bisa kupakai jadi modal lagi.
Aku membawa kantong-kantong belanja berisi bahan makanan dan makanan jadi yang sudah menghabiskan uang sebanyak 1.5 juta itu. 500 ribu niatnya untuk membayar hutang Firdha di warung, dan 3 juta kurasa cukup untuk Firdha berfoya-foya.
--------------
Kontrakan tiga petak kami masih tertutup rapat, meskipun hari sudah siang. Gordennya saja belum dibuka. "Apakah Firdha kabur dari rumah?" batinku was-was.
Aku segera membuka pintu dengan kunci yang kubawa dan menyeruak ke dalam. Ruang depan kontrakan kami terasa lengang, membuat kekhawatiranku berganti kemarahan. "Berani si Firdha kabur membawa anak-anakku, istri sialan!" geramku.
Aku kembali mencari ke ruangan tengah, memastikan bahwa Firdha memang kabur. Namun aku terpaku melihat istriku terbujur kaku bersama putraku. Di dadanya bayi kami yang belum genap berusia 6 bulan masih melekat, meski tak lagi menyusu.
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.