Penawaran di mesjid

Setiap hari Jumat, saya bersama teman-teman sekantor biasanya mendirikan sholat jumat di masjid dekat kantor. Mereka antara lain, Yanto, Jimmy dan Asep.
Meskipun disebut dekat tapi lumayan jauh kalo ditempuh dengan berjalan kaki. Mesjid itu letaknya di Jalan Karang Tengah dan jaraknya kira-kira 2 km dari kantor kami.
Setiap kali selesai sholat, selalu aja ada salesman mobil yang memberikan flyer penawaran mobil ke saya. Dan anehnya, meskipun kami berempat, setiap kali ke luar dari masjid, selalu saya yang diberi flyer tersebut.
“Kok, lo selalu dikasih flyer tapi gue nggak, ya?” tanya Jimmy keheranan.
“Iya, loh. Saya juga selalu gak dapet. Pilih kasih tuh orang…” komentar Asep.
“Bukan begitu. Si Salesman kan ngeliat kalo kita satu rombongan, jadi dia merasa cukup kalo satu orang aja yang dapet,” kata Yanto.
“Betul-betul, sekaligus penghematan flyer. “kata Asep dengan suara lega karena akhirnya tidak perlu berkecil hati karena ga diberi flyer.
“Hehehehe…. salah lo semua. Bukan begitu yang ada di otak salesman itu,” kata saya.
“Emang gimana dia mikirnya?” tanya Jimmy.
“Jadi begini. Semua salesman itu dalam trainingnya udah dibekali ilmu marketing dan psikologi. Jadi dengan sekali melihat penampilan seseorang, dia dapat mengenali orang yang sangat prospektif untuk membeli dagangannya,” kata saya menjelaskan.
“Maksudnya gimana, Om Bud?” tanya Asep belum menangkap arah omongan saya.
“Jadi begini, Sep. Coba perhatiin penampilan lo, penampilan Jimmy dan Yanto. Sekali ngeliat aja, salesman itu udah tau kalo kalian itu miskin dan ga bakalan mampu beli mobil Hehehehehe….”
Mendengar omongan saya, ketiganya ikut tertawa, tertawa pahit tentunya hehehehe…..
“Apalagi sekarang ini yang ditawarkan Toyota Alphard. Mana kalian mampu belinya?” lanjut saya karena ingin memperpanjang kemenangan yang sedang diperoleh.
“Emang lo mampu beli Alphard?” tanya Jimmy lagi dengan suara ga percaya.
“Pointnya bukan mampu atau nggak. Tapi secara semiotik, salesman itu merasa gue mampu dan kalian tidak. Hehehehehe…..”
Nah suatu hari kami lagi-lagi sholat jumat bersama. Kali ini ga ada salesman mobil. Saya sungguh heran kemana para salesman itu perginya.
Sedang asyik celingak-celinguk mencari laskar salesman, tiba-tiba seorang wanita berjilbab hitam nyamperin saya.
“Maaf mengganggu, Pak,” katanya.
“Iya kenapa, Bu?” tanya saya.
“Saya mau menawarkan kapling pemakaman buat, Bapak.”
“Heh? Pemakaman?” tanya saya bingung.
“Bapak pernah denger pemakaman mewah San Diego Hills?”
“Iya pernah. Emangnya kenapa?”
“Nah, pemakaman kami sama bagusnya dengan pemakaman San Diego Hills tapi jauh lebih murah.”
“Ah, masa?” kata saya bingung harus nyaut apa.
“Yuk ikut saya. Nanti saya kasih brosurnya buat Bapak.” katanya sambil menggamit lengan saya menuju ke arah konter kecilnya di sebelah kanan masjid.
“Nama pemakaman kami ‘Al Azhar Memorial Garden,” kata Ibu itu sambil menyerahkan sebuah brosur.
Saya yang masih kebingungan membuka halaman demi halaman dari brosur itu. Tempatnya sih OK juga. Tapi sebagus-bagusnya sebuah kuburan pasti kita gak bisa menikmatinya juga kan? Ya gimana menikmatinya? Namanya juga udah mati.
“Jadi pemakaman kami khusus untuk muslim, Pak. Mungkin Bapak perlu mempertimbangkan untuk investasi….”
Saya masih belum bisa ngomong.
“Tanah di Jakarta semakin sempit. Dengan membeli kapling pemakaman di sini, Bapak bisa mati dengan tenang karena tidak perlu merepotkan keluarga Bapak kalau ada sesuatu yang terjadi pada Bapak,” Ibu itu terus mengoceh.
Saya cuma bisa mengangguk-angguk sambil terus membolak-balik brosur yang ada di tangan.
“Umur kan tidak bisa ditebak, Pak. Kalau Tuhan menghendaki bisa saja kita mati besok. Jadi ada baiknya kalo kita mempersiapkan diri dari sekarang…”
Ciiiiit!!!! Saved by the bell!
Alhamdulillah tiba-tiba supir kantor kami Si Untung sudah sampai di depan lobby masjid. Dengan segera saya pamit pada ibu itu dan bergegas masuk ke dalam mobil.
Dalam perjalanan pulang ke kantor, saya bertanya, “Lo semua ditawarin kapling pemakaman, gak?”
“Nggak, tuh.” Seperti paduan suara Yanto, Asep dan Jimmy menyahut.
“Masa, sih? Kok cuma gue yang ditawarin?” kata saya keheranan.
“Lo mau tau kenapa?” tiba-tiba Yanto berkata.
“Kenapa, To?”
“Jadi begini, Bud. Semua salesman itu dalam trainingnya udah dibekali ilmu marketing dan psikologi. Jadi dengan sekali melihat penampilan seseorang, dia dapat mengenali orang yang sangat prospektif untuk membeli dagangannya.”
“Heh? Maksud lo?”
“Coba perhatiin penampilan lo. Sekali ngeliat aja, salesman itu udah tau kalo kita bertiga matinya masih lama. Intinya Gue, Asep dan Jimmy bukan prospektif klien Hehehehehe….”
“Whoaaaaaaa……Kampret!!!!!
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.