PERBEDAAN TULISAN BLOGGER DAN STORYTELLER #1

Saat kelas storytelling mau dimulai, seseorang menghampiri saya dan berkata, “Om Bud, perkenalkan nama saya Abdul Riziek. Saya ke sini nganter isteri saya. Dia yang mau belajar storytelling.”
“Oh? Kenapa gak ikutan aja sekalian?” tanya saya sambil melirik ke arah isterinya. Wuiiih…cantik juga loh. Hehehehe…
“Saya seorang blogger dan saya sering diminta menulis oleh hotel dan resto untuk mempromosikan produk mereka.”
“Wah, keren dong? Ngobrolnya sembari ngopi, yuk?” sahut saya. Para peserta workshop memang disediakan sarapan kue-kue dan kopi ala kadarnya
Sambil ngopi dan ngerokok berdampingan, lelaki berusia sekitar 30-an itu ngomong lagi, “Saya gak ikut kelas ini karena buat saya, tulisan blogger dan tulisan storyteller gak ada bedanya.”
“Oh ya?” tanya saya seraya menyeruput kopi kebanyakan gula akibatnya rasanya jadi rada kemanisan.
“Minimal sampe saat ini, saya belum ngeliat bedanya. Emang ada bedanya?” tanya Riziek lagi agak ofensif.
“Agak susah menjawab pertanyaan itu karena kalo gue terangin pasti lo akan membantah omongan gue,” kata saya lagi.
“Berarti saya gak akan pernah dapet jawabannya, dong?”
Sejenak saya terdiam, mengambil risoles dan 5 cabe rawit sekaligus dan langsung saya masukan ke dalam mulut. Begitulah biasanya cara melakukan buying time, pura-pura sibuk padahal mikir gimana cara menjawab pertanyaan ini.
“Terakhir lo nulis tentang apa?” tanya saya.
“Sebuah Kafe di daerah Kelapa Gading.”
“Okay, kalo gitu begini aja. Kita bikin kafe fiktif lalu masing-masing membuat tulisan tentang kafe itu. Terus kita bandingin tulisan kita berdua.”
“Wah! OK, tuh! Boleh-boleh. Kafenya tempatnya cozy dengan ciri khas tradisional campur modern untuk kelas menengah ke atas.” Tiba-tiba orang ini bernapsu banget langsung menentukan brief sendiri tanpa ngajak kompromi.
“Okay!” Saya gak punya pilihan lain karena saya gak mau menggiring brief yang akan membuat dia berpikir menguntungkan saya.
“Hidangannya juga kue-kue jaman dulu tapi versi modernnya. Desainnya juga dengan desain dan ukiran japara campur modern. Teko dan mugnya juga yang antik tapi keren dan modern. AC-nya dingin membuat pengunjung nyaman banget.”
“Okay. Terus nama kafenya apa?” tanya saya lagi.
“Kafe Memori. Setuju?” kata Riziek lagi sambil menyodorkan tangan mengajak salam kesepakatan.
“Okay,” kata saya lagi sambil menyambut tangannya dan jadilah kedua tangan kami menyatu membentuk logo sabun jaman dulu merk Sunlight, kalo gak salah. Sunlight atau sabun Cap Tangan, ya? Gue lupa lagi.
“Jadi kapan kita berdua saling membacakan cerita?”
“Nanti pas break makan siang jam 12, ya?”
“Wah, Om Bud kan lagi ngajar? Nggak fair dong? Terlalu menguntungkan saya dan merugikan, Om Bud.”
“Gapapa. Gue terbiasa menulis di otak. Kalo gak selesai ditulis kan bisa gue ceritakan verbal. Yang penting ceritanya selesai.”
“Sip-sip. Thanks, Om Bud.”
Jam 9 Teng, panitia Mindstream institute, yang menyelenggarakan workshop, menyuruh semua peserta masuk ke dalam kelas. Saya menyeruput kopi saya sampe tandas lalu pamitan pada Riziek untuk mengajar.
“Sampe ketemu jam makan siang, ya,” kata saya sambi menepuk pundaknya.
“Selamat ngajar, Om Bud. Saya jadi seneng banget karena nunggu isteri juga gak bosen jadinya.”
Bersambung...
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.