Si Kumal

Si Kumal
“Ya kami nggak bisa jamin keamanannya sih, tapi pokoknya semua barang termasuk laptop harus dititip!” si judes mbak-mbak petugas penitipan tas berkata sengit.
 
Kejadian itu berlangsung di sebuah toko serba ada lokalan, yang berlokasi di pinggir kota Jakarta bagian selatan. Entah berapa tahun yang lalu. Membuat saya malas mengunjunginya lagi. Tapi,  karena dekat dengan rumah keponakan tempat saya kerap menginap , jadi lumayan cukup sering saya belanja ke sana. Mau beli jarum, ada; rice cooker, ada; cabe keriting, ada; makanan kucing, ada; jamur merang, ada; baju pramuka, ada. Apa aja ada. Palugada yang sebenernya asyik. Sialan juga…
 
Maaf memaki, tapi emang banyak mbak-mbak-nya yang tak menyenangkan di situ. Saya jadinya belajar mengelola sabar saja kalau belanja di sana, sadar bahwa pelanggan memang bukan raja sih. Tapi, tentu menyenangkan bila bisa balas dendam, demikian saya berpikir. Yang tidak bersifat kriminal tentunya.
 
Pada suatu hari—seperti cerita dongeng Cinderella saja ya—saya belanja lagi ke toko itu.  Tak banyak, nilai nominalnya saya lupa, tapi yang pasti di atas sepuluh ribu dan di bawah duapuluh ribu rupiah. Di dompet saya ada beberapa lembar mata uang duapuluh ribuan. Ada uang lama yang bergambar pahlawan nasional Oto Iskandar Di Nata, dan yang baru yang bergambar Dr. G.S.S.J. Ratulangi. Saya mengambil uang lama, yang paling kumal. Dengan niat menyingkirkan uang kumal itu dari dompet.
 
“Ini uang sudah nggak laku, Bu!” si mbak kasir kasar menyentak.
 
Loh, kenapa?” tanya saya.
 
Antara heran karena penolakan itu, dan sebal karena caranya yang kasar. Tapi, maklum mengingat banyak petugas di toko ini yang memang rada brengsek kalau dalam soal tata krama. Dan, menduga paling-paling si mbak sedang datang bulan.
 
Nggak laku!” si mbak-nya ngotot.
 
“Kenapa? Ini uang keluaran Bank Indonesia juga kan?” saya coba ngotot.
 
“Itu uang lama! Udah nggak laku!”
 
Harap dicatat, suaranya keras sekali. Semua orang memandang saya, dengan cara seperti menyaksikan tontonan topeng monyet. Atau, barangkali bagai menonton kecelakaan di jalanan. Nonton saja, tanpa niat membantu. Yang antre di belakang saya juga mulai memandang tak suka. Saya mulai berpikir, apakah saya melewatkan berita bahwa uang duapuluh ribuan lama itu memang sudah ditarik dari peredaran.
 
Akhirnya, saya mengalah. Tapi, tentu tidak dengan mudah. Alih-alih  mengeluarkan uang duapuluh ribuan edisi baru, atau limapuluh ribuan, saya keluarkan uang seratus ribuan (tak ingat edisi lama atau baru, karena tak penting).
 
Nggak ada uang kecilan!?” si judes lagi-lagi bersabda.
 
“Ada. Mau?”
 
“Kalau ada, ya yang kecilan aja!”
 
Nih,” saya sodorkan lagi si uang kumal tadi.
 
“Itu kan yang nggak laku!” meninggi lagi suaranya hahaha…
 
“Ya terserah,” saya sodorkan lagi uang seratus ribuan, yang diterimanya dengan muka asam.
 
Transaksi selesai. Sambil beranjak keluar untuk meninggalkankan toko serba ada yang kupret tapi asyik itu, saya masukan uang kembalian ke dompet. Tapi, eit, tunggu dulu, koq di antaranya ada warna hijau yang mencurigakan ya? Saya perhatikan uang hijau itu dengan mata hijau.
 
Ah, benar! Ini bukan uang baru dengan gambar Ratulangi, tapi yang bergambar Iskandar Di Nata. Ha, enak saja! Saya langsung balik badan, masuk kembali dan menghampiri lagi si mbak kasir judes.
 
“Mbak, ini uangnya nggak laku!” saya mengumumkan sambil menyorongkan uang kembalian darinya.
 
Sungguh saya tak peduli bahwa dia sedang melayani pelanggan pun. Si mbak kaget menengok.
 
“Laku!” jawabnya.
 
“Ini kan sama dengan uang yang tadi saya mau bayarkan ke mbak,” saya sodorkan juga uang lama kumal yang tadi itu.
 
“Beda!”
 
“Sama! Nih, lihat, gambar pahlawannya sama. Sengaja ya, kasih saya uang yang sudah nggak laku. Mau bikin konsumen rugi, ya!?” suara saya meninggi sengaja.
 
Tarik urat pun berlangsung. Saya tak ingat lagi argumen-argumen apa yang saya keluarkan, karena tak penting juga. Saya cuman asal nyablak. Para pelanggan toko di sekitar memandang saya dengan sebal, terutama yang mengantre di kasir yang sama.
 
Oooh, nikmatnya balas dendam! Di sudut mata kulihat pak sekuriti yang kerap berada tak jauh dari jejeran kasir, dan selalu memegang HT, datang mendekat.
 
“Ada apa?” tanyanya.
 
“Begini pak,” saya cepat menyergah, “tadi saya mau bayar pakai uang ini, tapi ditolak. Dikata’in nggak laku karena uang lama. Ternyata, dia kasih saya kembalian uang yang nggak laku juga, pak. Nih!”
 
Demikian saya menjelaskan secara panjang buntut kucing pendek buntut kelinci. Sambil menyodorkan dua lembaran duapuluh ribuan yang sedang kami perseterukan.
 
“Laku sih, tapi uang ibu itu sudah kumal!” si mbak membela diri ketika ditanya si satpam.
 
Nah, ketahuan kan apa motifnya menolak uang kumal itu.
 
“Jadi, tadi kamu bohong ya ke saya, bilang uang saya ini tak laku,” saya merasa perlu mempertegas bahwa dia berbohong.
 
“Uang jelek begitu, siapa yang mau terima, ya bu, ya,” dia malah berbicara ke pelanggan yang tengah membayar belanjaannya.
 
Si pelanggan mengangguk-angguk bagai pelatuk, seraya memandang sebal ke saya. Tak saya hiraukan saja manusia lain yang juga tak berguna itu.
 
 “Maaf, saya nggak tau lagi yang mana kebohongan dari mbak, yang mana kebenaran. Jadi, saya minta tukar uang ini dengan yang baru. Yang masih laku!”
 
“Tukarkan saja,” kata pak sekuriti ke si mbak.
 
“Tapi pak…,”
 
“Saya bilang, tukarkan saja!” tegas pak sekuriti.
 
“Tapi, saya nggak punya uang duapuluh ribuan baru!” si mbak masih tetap berkeras, memandang dengan kemenangan.
 
Eit, tidak bisa.
 
“Pokoknya, tukar! Terserah nominalnya. Sepuluh keq, lima ribu, dua ribuan juga boleh. Pokoknya harus uang baru!”
 
“Sudah, kasih saja!” pak satpam berbicara lagi.
 
Apes buat si kasir. Berkeras bilang tak ada duapuluh ribuan yang baru, maka kini berarti ia harus kasih nominal kecilan. Padahal, biasanya kan kasir selalu pelit dengan uang kecil. Oooh…, saya menikmati sekali situasi ini. Saya benar-benar di atas angin.
 
Di antara kembalian yang tadi saya terima itu, ada uang lama juga. Entah si mbak sadar atau tidak soal itu. Tapi, kalau itu dia pakai sebagai argumentasi, gampang saja! Saya akan minta ditukar juga. Biar tambah ramai.
 
Dengan merengut si mbak kasir mengambil dua lembar sepuluh ribuan edisi baru. Masih tetap berusaha memilih lembaran yang rada busuk, untuk meminimalkan kekalahannya. Tak soal, kan untuk saya asalkan ditukar dengan uang terbitan baru.
 
Di luar, saya segera merayakan kemenangan. Selembar duapuluh ribuan kumal tadi, beserta dua lembar sepuluh ribuan hasil tukaran itu, saya habiskan dengan jajan onde wijen mini dan tahu krispi. Hitung-hitung sekalian buang sial.   =^.^=

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.