Buaya-buaya Asrama

Buaya-buaya Asrama
"Mat, temenin donk," colek teman saya Indira.
 
"Ke?"
 
"Nelpon".
 
"Koin ada?" saya tanya lagi.
 
"Ada. Lo temenin gue aja," sahutnya.
 
"Banyak?"
 
"Cukup, koq"
 
"Wokeh!"
 
Dan saya pun berdiri dari duduk.
 
"Eh, tapi, bentaran ya, gue mau balikin bukunya Bu Edy dulu ke jurusan," Indira berkata sambil melambaikan tangan menyuruh saya duduk lagi.
 
“Sekalian aja gue temenin,” saya berkata sambil memasukkan buku dan alat tulis ke ransel.
 
Nggak usahlah, gue juga perlu bicara dengan Mang Hasan,” jawab Indira sambil ngeloyor.
 
Dasar… Ya sudah, saya lalu menuju ke taman sastra. Untuk menunggu Indira di salah satu bangku tamannya sambil melamun.
 
Ini kisah dari masa lalu, dari millennium lalu. Masa ketika kompleks kampus Universitas Indonesai (UI) masih berada di dua lokasi di Jakarta; Salemba dan Rawamangun. Masa sebelum UI bedol kampus ke Depok. Kampus saya yang di Rawamangun.
 
Waktu itu, yang namanya telepon umum tu susah bener. Jarang ada. Yang terdekat dengan kampus saya, FS (Fakultas Sastra, sekarang FIB = Fakultas Ilmu Pengetahuan Bahasa) di kampus Rawamangun ini, adanya di asrama Daksinapati.
 
Itu asrama cowoq. Kelakuan penghuninya memang sering bikin males. Kalau ada ceweq masuk ke lingkungannya, langsung ditegor sok akrab.
 
Di UI masa itu, ada tiga asrama mahasiswa. Dua untuk mahasiswa cowoq yaitu, asrama Daksinapati dan Pegangsaan Timur (PGT). Dan, satu untuk ceweq. Wismarini namanya. Berdasarkan pengalaman saya yang orang luar dari tiga asrama itu, yang paling barbar adalah yang PGT. Mungkin karena bangunannya sudah sangat tua, lebih tua dari yang dua lainnya sepertinya. Plus, penghuninya juga lebih sangar. Haha, bangunan dan penghuninya sama parahnya deh.
Saya cukup sering ke PGT. Seminggu sekali, setiap Rabu, klub pencinta alam UI kumpul di situ. Ada satu kamar yang penghuninya adalah anggota klub kami, dan kamarnya merangkap sebagai sekretariat. Cowoq-cowoq yang sangar-sangar di asrama PGT, mengganggunya memang tak terlalu kurang ajar. Tapi, kalau kami yang ceweq-ceweq lewat, pasti ada aja catcall atau teguran-teguran tak asyik.
 
"Kenalan donk," paling sering ada yang ngomong begitu
 
"Nggak!" begitu saya selalu menjawab tanpa nengok dan boro-boro berhenti melangkah.
 
Nggak usah disahutin, Mat,” teman-teman sering menasehati saya.
 
Kamar mandi di PGT itu mengerikan sekali. Pernah saya hendak buang air kecil di situ. Teman lelaki yang anak asrama PGT suruh saya hati-hati karena lantainya licin. Dia nggak mengingatkan bahwa pintunya nggak bisa dikunci. Tepatnya, tak bisa ditutup rapat.
 
Sungguh sangat menyebalkan, mengetahui kenyataan bahwa deretan kamar mandi itu semua pintunya memang tak ada yang pernah tertutup rapat. Meski berisi. Adegan apapun bisa terlihat pada saat lewat. Yang mandi sih tak perduli. Kupikir, sebabnya karena mereka malas saja untuk menutup pintu. Namanya juga anak asrama sangar.
 
Karena itu, kami enggan sekali kalau harus masuk dari arah depan asrama, yang akses masuknya berada di Jl. Pegangsaan Timur, berhubung harus lewat deretan kamar mandi. Kami lebih suka lewat akses belakang, dari Jl. Kimia. Pun lebih dekat ke tangga menuju kamar di mana markas kami berada. Di lantai dua.
 
Balik cerita niat ke kamar mandi, untuk mencari yang bisu tanpa suara jebar-jebur, saya harus menyusuri deretan kamar mandi itu. Berjalan pura-pura santai, dengan sudut mata yang mau tak mau kadang menangkap sosok manusia telanjang di dalamnya, yang kelihatan dari celah antara pintu dan kusen. Setiba di kamar mandi paling ujung di deretan kanan, tak terdengar suara apa-apa. Tak juga ada suara nyanyian sumbang, yang menjadi penanda klasik bahwa kamar mandi berisi orang.
 
Saya berkesimpulan bahwa kamar mandi itu kosong. Maka, PD saja saya dorong pintunya yang memang tak rapat. Agak berat, karena kayunya tebal sekali. Maklum, bangunan tua dari jaman Belanda tokh. Engselnya berderit, dan..., ...jengjeng!!! Hallelujah ya ilahi!!! Di depan saya sesosok laki-laki brewok agak gondrong telanjang bulat dengan tubuh belepotan busa sabun. Hwadoh! Dia tersenyum, pasti senang melihat wajah kaget saya.
 
"Mau ikut mandi?" tanyanya.
 
Mulut saya sudah mangap hendak minta maaf sebenarnya. Tapi, mendengar kata-kata jahilnya, niat minta maaf saya menyublim entah ke mana.
 
"Nggak!" jawah saya keras dan ketus, dan meninggalkan kamar mandi itu tanpa merapatkan pintunya lagi.
 
Saya sudah lupa nih, akhirnya saya pipis di mana haha...
 
Di asrama Daksinapati saya pernah sekali masuk ke dalam area kamar. Bersama dengan beberapa teman jurusan. Untuk membuat tugas kuliah kelompok, di kamar salah satu anggota grup studi. Tapi, tak pernah ke kamar mandinya. Kalau harus ke kamar mandi kan tinggal ngacir balik ke kampus FS.
 
Keperluan ke Daksinapati biasanya memang hanya untuk memakai telepon umum koin-nya. Untuk keperluan diri sendiri, atau menemani teman perempuan.
 
Posisi telepon umumnya terhitung masih di bagian luar asrama, tapi sudah masuk ke dalam pagar. Pesawat teleponnya menempel di tembok. Kalau sudah masuk, nah, kayak masuk taman safari yang binatang buasnya lepas hahaha... Banyak mahasiswa lelaki yang berpakaian santai banget. Maklum lah ya, mereka kan ‘di rumahnya’.
 
Tadi saya sebut bahwa asrama PGT adalah yang paling barbar. Tapi, setidaknya mereka tahu bahwa kami ceweq-ceweq yang datang tujuannya hendak ke sekretariat Mapala UI. Mereka kenal dan segan dengan senior-senior kami. Sehingga, ‘aman’ bagi kami para anggota ceweq. Sementara, di Daksinapati kami bukan siapa-siapa. Hanya ayam-ayam betina lepas, begitu sepertinya di mata para penghuni asrama.
 
Begitu kaki melangkah masuk melewati pagar, catcalling langsung berbunyi dari segala sudut. Tak cukup itu, beberapa orang akan mendekat, mengajak kenalan dan bertanya-tanya kami dari fakultas mana. Makin apes kalau harus antre menunggu giliran menelpon. Artinya, makin banyak kesempatan untuk diajak ngobrol.
 
Mereka tahu bahwa kami hendak menelpon, maka hampir semua akan menawarkan bantuan. Atau, menyuruh rekannya menawarkan bantuan. Bantuan? Ya, meminjamkan koin bertali. Dengan cara yang cukup memaksa. Mereka membujuk dengan berkata bahwa akan lebih menguntungkan bila meminjam koin bertali punya mereka. Bisa menelpon tanpa perlu keluar biaya.
 
Kalau nggak salah, dulu itu menelpon 3 menit biayanya Rp25,- saja. Eh, ataukah Rp50,- ya? Yang pasti, harus uang logam, koin. Oleh mahasiswa penghuni asrama, koin tersebut dibolongi dan diberi tali. Tepatnya, benang. Saat menelpon, benang dipegang baik-baik. Setelah tiga menit pemakaian telepon, koin akan jatuh ke ruangan yang lebih bawah.
 
Biasanya, kalau koin jatuh tandanya penelpon harus buru-buru segera memasukan koin lagi. Dengan adanya tali, maka koin bisa ditahan untuk tetap di atas. Pesawat telepon akan otomatis menganggapnya itu koin baru, maka hubungan telepon pun tak akan terputus.
 
Demikian kira-kira teknisnya yang saya tahu. Mungkin juga saya salah. Tapi, pakai tali memang bisa membuat telepon tak terputus. Seberapa lama pun kau menelpon.
 
Saya belum pernah meminjam koin bertali. Sebagai mahasiswa miskin, tantangannya lumayan. Tapi, saya tahu bahwa 'bayarannya' lebih mahal lagi. Teman saya Indira sudah pernah mengalaminya. Pernah dia hendak menelpon, tapi ternyata tak bawa koin. Dengan polos dia menerima tawaran peminjaman koin bertali.
 
Akibatnya, sepanjang Indira menelpon, cowoq yang minjemin koin berdiri terus di dekatnya. Terlalu dekat bahkan. Karena, dia yang memegangi tali. Alasannya, dia tak bisa membiarkan Indira yang memegang talinya sendiri. Dulu pernah ada ceweq yang dipinjami, katanya, dan dibiarkan memegang tali/benangnya sendiri. Tapi¸tali lepas dari pegangannya. Koin-pun lenyap bersama talinya.
 
Si cowoq gusar. Koinnya sih diganti. Tapi, kan dia harus khusus pergi ke bengkel buat ngebor lobang. Ada biaya lagi. Bikin repot!
 
Entah itu alasan saja, entah kebenaran, entah bohong belaka. Bisa juga dia karang-karang saja ceritanya kan tuh, agar bisa dekat-dekat ke Indira. Meminjakan koin bertali juga sebuah modus operandi kan tuh.
 
Tambah apes lagi buat Indira, cowoq itu ternyata anak Fakultas Hukum (FH). Transportasi Indira adalah bis kota yang turun di halte UI Jl. Pemuda. Dari situ, Indira akan menembus kampus FH menuju FS. Satu kali, saat sedang numpang lewat FH, terdengar suara mengelegar di tengah keramaian.
 
“Indiraaa!!! Heeei…, Indiraaa!!!”
 
Ternyata si cowoq koin. Suasana di kampus FH sedang ramai-ramainya. Saat jam peralihan mata kuliah. Segera banyak yang ikut-ikutan memanggil namanya.
 
“Indiraaaa!!! Hei hei, Indiraaaa!!!”
 
Itu kali terakhir Indira lewat FH. Tapi, bukannya berarti penderitaannya selesai. Karena, cowoq itu kadang ada juga di taman sastra, atau di bonbin (kebon binatang, lokasi penjual makanan). Tiap saat ia melihat Indira, panggilannya menggelegar. Belum lagi teman-temannya tu cowoq, yang jadi ikut-ikutan sering panggil-panggil nama Indira.
 
Asal ada yang memanggilnya tapi tak dikenalnya, Indira langsung menduga itu pasti temen si cowoq koin. Sesama anak FH. Atau, penghuni asrama Daksinapati. Atau…, pokoknya teman si cowoq koin lah.
 
"Elu sih, pake kasih tau nama lo segala hahaha...," saya ngakag.
 
"Gue nggak pernah ngasih tau nama gue, Mat. Dia nguping aja dari pembicaraan di telpon," sanggah Indira.
 
Oh iya ya...
 
Maka itu tadi saya pastikan Indira punya cukup koin. Dan, karena itu Indira minta ditemani buat menelpon.
 
"Yuk, Mat!" Indira yang baru kembali dari jurusan, mengembalikanku dari alam lamunan.
 
"Yuk!" sahutku berdiri, dan kami segera beranjak menuju asrama Daksinapati.
 
Kami berdua benar-benar ingin cepat-cepat menuntaskan urusan menelpon ini. Dengan menguatkan hati, kami pun menuju ke gerbang belantara asrama putra Daksinapati. Begitu masuk pagar, catcalling dan macam-macam ucapan membahana seperti yang sudah diduga.
 
"Suit suiíiiit..."
"Mau ke mana, non?"
"Kenalan, donk".
"Mau nelpon yaaa huahahaha, emangnya bisa!"
 
Menyebalkan! Tapi, herannya tak satu pun ada yang menawarkan koin bertali.
 
Tiba-tiba, Indira yang berjalan agak sedikit di depan saya berhenti mendadak.
 
"Eh!?" tanpa sadar dia berucap.
 
"Kenapa, Ra?" kubertanya agak cemas.
 
"Te…lepon…nya...," katanya pelan sambil menunjuk.
 
Kuarahkan pandanganku ke arah yang ditunjukknya. Ya ampun astaga!!! Di tembok yang seharusnya ada pesawat telepon koin, kini tampak kosong melompong. Yang tersisa hanyalah lubang-lubang bekas baut perekat pesawat ke tembok.
 
Aaah...
 
Kami pun kembali ke FS dengan kecewa. Benar-benar tak tahu harus ngapain.
 
"Nggak jadi nelpon, mbak hahaha," seseorang bersuara, tambah bikin keki.
 
Beberapa hari kemudian, saya bertemu dengan seorang kenalan. Salah satu penghuni senior di asrama, yang kuliahnya di Ekonomi tak kunjung lulus juga. Saya bertanya apa yang terjadi dengan pesawat telepon koin itu.
 
"Dicopot oleh Telkom," jelasnya.
 
"Ah, kenapa?" tanyaku terkejut.
 
"Gimana ndak. Pemakaiannya tinggi, tapi dana yang ada di dalam sangat sedikit. Tau sendirilah, anak-anak kan pada pakai koin bertali kalau menelpon. Telkom kesal, ya jadi mereka cabut ".
 
Oh…   =^.^=
 
 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.