NYATANYA CINTA ITU NYATA
"Hush! Ga usah mikir macem-macem!" Tukasnya tegas. Nada itu terdengar setengah oktaf lebih tinggi dari biasanya. Akupun mengangguk dan segera meraih tangannya. Kugenggam tangan itu. Dingin.

"Dicek lagi yang teliti ya mas, jangan sampai ada yang kelewat?", teriaknya setengah memerintah.
Kuterima sodoran ceklis yang pernah kami buat bersama untuk mengatur dan mencatat semua rencana perjalanan kami selama di Surabaya. Dari mulai jadwal berangkat, hotel, budget, standar protokol kesehatan bagi anak-anak hingga tetek bengek servis mobil dan pemasangan roof rack pun kami catat. Maklum aku bukanlah pengingat ulung sehingga seluruh pekerjaan atau aktivitas apapun yang kulakukan tidak akan terlepas dari bantuan ceklis.
Sementara Dani istriku, dibekali memori super hebat yang membuatnya mampu mengingat detail-detail kecil dari A-Z yang bahkan seringkali kuanggap sebatas angin lalu nggak penting. Inilah yang membuat kami sering terjebak dalam keributan sederhana namun berujung besar. Kalo sudah begini, komunikasi kamipun seketika rusak parah. Tak jarang bisa sampai berhari-hari lamanya. Sampai salah satu dari kami menyerah dan mengaku salah.
Seperti pagi ini, berita tentang tingginya kenaikan jumlah covid di TV saja bisa merusak kedamaian di ruangan ini. Mungkin inilah salah satu alasan kenapa perlahan televisi pun mulai ditinggalkan oleh banyak orang. Subyektif, tak netral, mendramatisir, bahkan cenderung mengagung-agungkan salah satu pihak.
Jawa Timur diklaim sebagai wilayah dengan penyebaran covid terbesar di seluruh negeri. Dengan Surabaya sebagai bintangnya. Padahal di banyak kota lain pertumbuhannya pun tak kalah menakutkan.
Februari ini kebetulan adalah bulan penting bagiku dan seluruh keluarga besar. Tanggal itu sudah ditentukan sejak pertengahan tahun yang lalu. Saat Dea, adik perempuanku satu-satunya, akhirnya memutuskan untuk menerima pinangan laki-laki pilihannya. Sayangnya, acara yang seharusnya terjadwal tahun lalu pun terpaksa diundur karena status pandemi di seluruh negeri.
Sebagai satu-satunya kakak, tentu aku sangat menanti-nantikan momen ini. Momen kelegaan yang terpancar pada wajah kedua orang tua kami yang sudah bersabar bertahun-tahun lamanya. Dea sebelumnya memang tidak pernah menjadikan pernikahan sebagai prioritas utama dalam hidupnya. Ah tapi itu dulu, sekarang alhamdulilah dia sudah menentukan. Lamunku sambil mengusap air mata yang tiba-tiba meleleh.
Awalnya aku tidak terlalu bersemangat untuk membahas tentang persiapan ini. Karena terlalu banyak deretan protokol kesehatan yang harus kami sepakati. Dari pembahasan tentang minta hasil swab sampai bagaimana cara membatasi anak-anak dari keroyokan om, tante, pakde, bude dan semua kerabat kami di Surabaya. Kebetulan si kembar ini memang sedang ranum-ranumnya dan belum pernah sekalipun dibawa pulang ke Surabaya sejak lahir. Ah, pusing sekali kepalaku dibuatnya. Sampai-sampai akupun kesal dan berkeras untuk pergi sendiri saja agar tidak ribet.
Tapi karena ini adalah hajatan keluarga, mau nggak mau akupun harus mengalah demi kemaslahatan bersama. Toh Dani sendiri ikut mengurusi segala detail persiapan yang Dea butuhkan. Dia jugalah yang bertugas jadi konselor pribadi adikku itu. Mulai pilihan desainer, model baju, fotografer, video, bahkan sampai penerima tamu pun mereka selalu diskusikan berdua.
"Mas nggak usah ikutan, ini urusan perempuan!" Begitulah yang selalu mereka ucapkan saat aku berusaha menyela sesi video call mereka.
"Mas, nanti tolong diatur baik-baik ya siapa-siapa yang boleh ketemu anak-anak selama di hotel.." kata Dani sore itu. Aku mendengus ringan seraya mengangguk. Tapi tak sepenuhnya setuju. Karena ini keluargaku, coba bagaimana kalau itu keluarganya? Apa iya dia rela?
Dengan geram, bergegas kusimpan data dan segera kumatikan laptop serta lampu ruangan kerjaku. Sore mendung itupun jadi semakin kelabu tanpa rasa.
Covid memang mengerikan, iya aku tau, tapi apa iya harus sampai seketat itu?
Tapi naasnya, kemarahankupun tak dapat kupendam lama, karena dua hari setelah kejadian itu, orangtua Dani, bapak dan ibu mertuaku terkonfirmasi positif walau tanpa gejala. Entah darimana datangnya, tapi cukuplah kesedihan itu meredakan amarahku dan mendamaikan kami. Karena toh jauh lebih penting bagi kami untuk mengurus kebutuhan isolasi mandiri mereka ketimbang hanya bolak-balik menyesali dan meributkan keadaan.
Awal tahun lalu, saat pandemi mulai merebak. Kisah tentang sedihnya isolasi mandiri tanpa subsidi, kuanggap hanya sekedar gurauan semata. Tapi nyatanya, kini aku tak lagi bisa tertawa saat kedua mertuaku pun dinyatakan positif.
2 hari sekali kami mengirimkan ransum makanan dan menggantungkannya dibalik pintu pagar rumah mereka yang terletak di pinggiran Jakarta. Rasa pilu benar-benar terasa ketika kehadiran kami kini tak lagi disambut peluk mesra. Namun hati inipun sedikit tenang walau hanya dengan melihat wajah mereka berdua dari balik kaca jendela. Yang penting mereka kuat dan tahu jika tidak sendiri menghadapi situasi ini. Kupandangi dan kudekap bahu istriku, berharap bebannya terbagi walau tanpa terucap.
"Neng, kalo aku kena juga kira-kira bakal gimana ya?" Tanyaku di tengah perjalanan pulang. Sejujurnya covid ini juga membuatku jeri setengah mati. Apalagi mendengar fakta jika hampir semua rumah sakit rujukan telah terisi penuh. Butuh orang dalam, jika kau hanya sebatas mengandalkan kartu bpjs semata.
"Hush! Ga usah mikir macem-macem!" Tukasnya tegas. Nada itu terdengar setengah oktaf lebih tinggi dari biasanya. Akupun mengangguk dan segera meraih tangannya. Kugenggam tangan itu. Dingin.
"Mas nanti tolong bilang Papa sama bunda ya untuk nggak gendong atau cium anak-anak dulu..." katanya pagi itu. Spontan akupun meradang. Bubur ayam lezat di depanku seketika berubah jadi hambar. Tak lagi kurasakan gurihnya irisan cakwe berpadu dengan kacang kedelai di dalamnya. Hilang sudah seleraku. Tapi sengaja kemarahan itu kutahan. Agar tidak meledak di depan anak-anak. Kutelan semampunya sisa sarapanku pagi itu.
Covid memang mengerikan tapi bagaimana bisa aku melarang ayah ibuku sendiri untuk tidak menggendong atau memeluk anak-anakku, sementara mereka tidak terpapar?
Selain itu, sudah lebih dari setahun aku tidak pulang ke rumah mereka gara-gara pandemi laknat ini. Masih juga dia memperlakukan keluargaku dengan tidak adil.
Namun, benci itu seketika pupus saat tahu dia benar-benar rela pasang badan mengorbankan dirinya. Apa yang selama ini selalu kutakutkan ternyata tak pernah ada. Rasa takut terbuang andai derita itu benar-benar datang pun seketika sirna.
Dari semalam aku tak nyenyak menunggu hasil. Demam ringan tempo hari membuatku parno. Padahal radang tenggorokan bercampur flu ringan adalah hal yang biasa kualami saat kondisi lelah. Tapi kini beda, sejak pandemi tahun lalu. Lelah fisik seolah jadi situasi yang wajib dihindari. Tubuh dipaksa untuk selalu prima tanpa titik ataupun koma.
Jam 3 dini hari, saat notifikasi email itu masuk. Bergegas kubangkit dari sujud. Kubuka dan kuinput tanggal lahirku lengkap sebagai password pembuka pesan khusus itu.
Seketika mataku memerah. Basah. Sedih tak terperi, walau yang kubaca adalah tulisan positif. Selama ini kuanggap kata positif itu selalu berarti baik, bahagia, menenangkan, memotivasi, tapi apa?
Nyatanya kata positif kali ini tak membuatku senang atau bahagia. S E D I K I T P U N!!!
Bayangkan saja, di rumah ini ada 1 bocah kecil berumur 4 tahun dan sepasang bayi kembar yang baru akan merayakan ulang tahun pertamanya Valentine besok. Iya, ulang tahun pertamanya.
Tuhan, kenapa sekarang?
Kau tahu kan 14 Februari besok adalah hari pernikahan adik perempuanku satu-satunya?
14 Februari besok pun adalah hari ulang tahun pertama putri kembarku?
Iya aku tau Kau Maha Benar dengan segala firmanMu. Kamipun demikian kecil di matamu. Memang benar jika kami manusia hanya berhak berencana dan Engkaulah Sang Penentu Segalanya. Tapi kenapa Ya Rabb, kenapa? Bukankah ini salah?
Maafkan jika cintaku padaMu belum sebesar harapanMu. Maafkan pula jika aku masih sering lalai menjalankan perintahMu. Tapi aku sedang berusaha keras untuk itu. Untuk kembali menyusuri jalan perintahMu.
Covid jelas tak hanya menyerang raga tapi juga rasa. Apalagi kini dia tak lagi bisa terbaca. Mungkin saat ini mereka sedang meledekku penuh arti dari tempatnya berdiri. Entah di bagian mana tubuhku. Tubuh ini berasa lunglai, tak ada lagi sendi atau tulangku yang mampu menopang. Aku bersimpuh dan meratap di tengah lantunan adzan Subuh. Semua terasa gelap.
Terkungkung di ruangan sempit berhari-hari, membuat nafas ini terputus dari aroma anak-anak dan istriku. Aroma yang kini nyaris menghantui kepalaku setiap detik. Aku memang masih bisa mendengar suara tangis manja dan derai tawa mereka. Tapi apa gunanya jika raga ini tak mampu lagi memeluknya.
Penyakit ini memang bukan aib, tapi dia jelas mampu menghukum korbannya. Menghancurkan keyakinan walau tanpa kesakitan. Melumpuhkan segala tekad. Menghadirkan ketakutan dan kengerian luar biasa.
Untung saja wanita ini benar-benar menunjukkan kompetensinya, bukan saja sebagai dokter tapi sebagai istri, anak sekaligus sosok ibu yang nyaris sempurna. Cintanya benar-benar tangguh, mungkin dialah yang paling berhak menangis saat membaca tulisan ini. Baru saja ayah ibunya dinyatakan negatif setelah diisolasi sepanjang Januari. Kini ada aku dan akhirnya putra sulung kamipun dinyatakan positif satu hari berselang. Bayangkan, hati wanita mana yang tak remuk?
Entah apa yang ada di pikiran dan hatinya saat ini. Membayangkannya saja aku sudah tak sanggup. Dia memang tak sepenuhnya tenang, tapi setidaknya tak tampak gurat kepanikan di wajahnya. Tak terdengar sedikitpun kemarahan dalam suaranya saat membakar semangatku. Bahkan tak kudengar sedikitpun nada bosan saat berulangkali menanyakan kondisiku.
Tuhan, jika boleh ku memohon, berikan tambahan kekuatan baginya. Berikan tameng terbaik yang mampu melindungi sekujur tubuhnya. Berikan malaikat-malaikat terbaikmu untuk membuatnya selalu tegar. Biarlah dia selalu jadi malaikat terbaik yang kau siapkan untuk kami.
***
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.