Prabangkara: Fragmen Aroma Harum di Pintu Gerbang
Namaku Satya. Akulah yang sering memimpikan Galuh Madhudaka dan Sungging Prabangkara. Mengenal merekapun aku tidak, sebelum peristiwa di Batu Karut itu.

Aku bermimpi lagi tentang Prabangkara. Kali ini entah mengapa ia ada di sebuah pos penjagaan gerbang kerajaan. Sebuah pintu gerbang besar berwarna kuning. Prabangkara mengangguk dan seluruh prajurit seketika mendorong pintu besar itu. Di mimpiku itu, aku hanya menjadi semacam penonton saja. Aku tidak ikut serta dalam jalannya cerita.
Lalu kulihat Galuh Madhudaka menunggang kuda putih. Kakinya lincah bergerak-gerak mengendalikan Seta Gumilang. Begitu nama kuda Sang Putri.
Tiba-tiba Galuh menghela tali kekang Seta Gumilang. Mereka berhenti. Dalam sekali ayun, Galuh turun dari kudanya.
Dengan mata terbeliak, Galuh mendatangi Prabangkara yang berdiri tegak di pos penjagaan berarsitekkan batu bata merah. Mata dan bibirnya tersenyum. Sedangkan perempuan di hadapannya masih menatapnya seolah melihat hantu. Sepasang mata itu, masih mata gadis bintang kejora.
"Kangmas?!"
"Kangmas di sini...? Bukankah baru saja saya menerima pesan lontar berisikan tugas untuk saya menengok wilayah Pancawana?"
Prabangkara tertawa.
"Memangnya tidak boleh ya, saya membukakan pintu gerbang untukmu?"
"Iya ... hmmm.. boleh.. sih... Tapi bukankah seharusnya Kangmas tidak berada di sini?"
"Kenyataannya saya di sini, kan, Dhiajeng?"
Galuh memicingkan matanya. Memiringkan kepalanya. Angin menerpa tubuhnya. Anak-anak rambut di dahi dan athi-athi-nya bergerak mengikuti arah angin. Kain parang yang dikenakannya berkelebatan ujung-ujungnya. Aku memandang adegan itu dengan terpukau. Prabangkara dan Galuh Madhudaka, adalah dua makhluk yang menyembulkan rasa kagumku sekaligus mengaduk-aduk rasa.
Sejurus kemudian, hidung Galuh bergerak-gerak seperti hidung kelinci.
"Kenapa lagi..?" Tanya Prabangkara. Lelaki tegap langsing itu memandang ke arah Galuh dengan pandangan teduh. Bibirnya yang tipis bersembunyi di derai kumis hitamnya terlihat tersenyum samar.
"Ini .... ini harum banget! Beneran deh, saya belum pernah mencium aroma seperti ini". Ujar Galuh agak keras dengan ekspresif.
Prabangkara tertawa terbahak.
"Udah deh. Kan Dhiajeng harus ke Pancala. Mumpung masih pagi, keburu hari gelap."
"Kangmas curang. Tidak mau kasih tau". Galuh meninju bahu Prabangkara. "Kenapa Kangmas ada di sini? Di pintu gerbang ini, dan ikut membukakan pintu gerbang untukku?" Galuh tampak bersungut-sungut. Ia rupanya sangat kaget dan tidak mengira Prabangkara bakalan berada di pintu gerbang keraton.
Tak urung, Galuh beringsut dan menghampiri Seta Gumilang.
"Sumpah deh ini wanginya gak ketulungan ...!" Teriak Galuh dari atas kuda.
Prabangkara mengangguk sambil tetap memasang senyum di bibir dan matanya.
"Kau suka harumnya?" Tanya Prabangkara.
"Enak sih, aku suka wangi kayak gini," Sambung Galuh sebelum memacu lari kudanya. Ketika Seta Gumilang beranjak dengan kecepatan yang perlahan meningkat kencang, ia hanya menyisakan debu jalanan yang menutupi pandang mataku.
***
Aku terbangun dari mimpi. Terbangun karena heran dan kaget. Harum wangi yang menerpa hidung Galuh rupanya bisa juga mencapai indera penciumanku. Wangiiii banget! Saat terbangun, melek mata, hidungku mencoba mencari-cari sumber aroma. Sayangnya tak sehiruppun tersisa.
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.