[Cerbung] Perawan Sunti dari Bawono Kinayung #13
![[Cerbung] Perawan Sunti dari Bawono Kinayung #13](https://thewriters.id/uploads/images/image_750x_5e6db0a8abec0.jpg)
Tiga Belas
Meniti Guliran Waktu
Amnesia sebagian....
Taruno menatap putri yang kini tinggal satu-satunya itu dengan sedih. Alma tengah duduk di atas ranjang rumah sakit. Sibuk membuka-buka sebuah album foto keluarga yang kemarin sore diantarkan ke rumah sakit oleh sopir mereka. Dengan sabar, Misty menjelaskan satu demi satu siapa saja yang ada dalam foto itu dan pada kesempatan apa foto itu diambil.
Alma sudah mulai pulih. Bisa bicara dengan lancar. Bisa membaca, menulis, berhitung, dan mampu mengenali banyak nama benda beserta fungsinya dengan tepat. Hanya ingat nama lengkap dan nama panggilannya, dan mengenal Taruno dan Misty sebagai ayah dan ibunya tanpa ingat siapa nama mereka. Tapi gadis muda itu seolah benar-benar terputus dari relasi sosial dan perkembangan teknologi. Belum mampu mengingat orang selain ayah-ibunya, dan asing dengan televisi, laptop, maupun ponsel.
“Bisa dibilang wajar,” ucap Dokter Kana kemarin siang, “karena kepalanya mengalami benturan hebat dengan benda keras. Tapi saya yakin dia bisa pulih. Mungkin prosesnya panjang. Jadi memang harus bersabar.”
Pelan, Taruno mengembuskan napas panjang. Saat itu Alma mengangkat wajah. Menatapnya.
“Jadi, kapan aku boleh pulang?” tanya Alma tiba-tiba.
“Mungkin dalam beberapa hari ini, sayang,” senyum Taruno.
“Kamu sudah bosan di sini, ya?” Misty mengelus lembut kepala Alma.
Gadis cantik itu mengangguk.
“Apa aku punya buku?” celetuknya lagi.
“Ada.” Taruno mengangguk antusias. “Banyak! Mau buku apa?”
“Apa saja.”
“Baik, Ayah akan telepon Pak Soli agar bawa ke sini novel-novel kesukaanmu.”
Sejenak kemudian Taruno sibuk dengan ponselnya. Sementara Alma mengamatinya nyaris tanpa kedip, sebelum kembali menekuni album foto besar yang masih terbuka lebar di atas pangkuannya.
* * *
Mm.... Hape, henfon, telepon genggam, telepon seluler, ponsel.
Alma berusaha mencatat baik-baik nama benda di tangan ayahnya itu. Ia kemudian kembali menunduk. Ditunjuknya sebuah foto.
“Kalau yang ini, Bu? Siapa saja?”
“Oh, itu keluarga besar kita. Diambil saat pernikahan sepupumu tahun lalu. Yang ini Pakde dan Bude Ripto. Yang ini Tante Mirta dan Om Sunu. Yang ini....”
Dengan sangat telaten Misty menjelaskan satu demi satu siapa saja yang berjajar rapi dalam foto itu. Taruno sudah selesai dengan pembicaraannya di ponsel. Ia kemudian mendekati ranjang dan duduk di tepinya. Direngkuhnya bahu Alma dengan penuh kehangatan.
“Tadi Dokter Kana bilang, siang ini kamu boleh makan makanan kesukaanmu. Apa pun yang kamu sukai. Nah, kamu mau apa saja?”
Alma berpikir sejenak. Selintas pikiran tiba-tiba saja masuk ke dalam benaknya.
“Mm.... Ayam crispy yang pedas, sup jagung manis, kentang goreng, green salad, dan... soda stroberi.”
Hening sejenak. Alma melihat bahwa ayah-ibunya bertatapan.
“Kenapa?” Diam-diam ia meringis. “Banyak, ya? Mm.... Aku lapar, Yah, Bu.”
Gelak tawa Taruno dan Misty pecah seketika. Taruno mengeratkan rengkuhannya.
“Tidak, tidak,” ucap Taruno di tengah gelak tawanya. “Tidak apa-apa. Itu semua makanan favoritmu. Dan, kamu bisa mengingatnya dengan baik! Ah, anak Ayah....” Taruno mengecup puncak kepala Alma.
“Nanti kalau Pak Soli datang, biar sekalian Ibu suruh belikan di resto sebelah,” timpal Misty dengan mata berbinar.
Alma mengangguk-angguk dengan wajah riang. Entah kenapa, ia suka sekali dengan kehidupannya yang sekarang. Walaupun sama sekali tak mampu mengingat seperti apa ia di masa lampau.
* * *
Lukisan terbaru Kresna sudah jadi. Diam-diam Wilujeng tercekat ketika menatapnya. Sekaligus ada rasa seolah hendak tersedot ke dalam lukisan itu.
Pemandangan yang memenuhi kanvas berukuran 90 x 60 sentimeter itu sungguh indah. Gambaran sebuah padang bunga dinaungi langit biru cerah dan sedikit arakan mega putih. Beraneka warna dan ragam bunga bermekaran, seolah saling berebut perhatian siapa pun yang melihatnya. Ada semburat warna hijau segar dedaunan di sana-sini. Pun julangan sebuah tebing di kejauhan.
Benar-benar menyeret Wilujeng dalam situasi deja vu. Dengan ragu, ditatapnya Kresna yang tengah asyik merapikan alat-alat lukisnya.
“Kamu pernah pergi ke tempat seindah ini, Kres?” tanya Wilujeng. “Di mana?”
Kresna mengalihkan perhatiannya, Ditatapnya Wilujeng, lalu pemuda itu menggeleng.
“Rasa-rasanya belum pernah,” jawabnya. “Tapi bermalam-malam aku bermimpi tentang pemandangan ini sebelum aku mulai menuangkannya pada kanvas. Selalu pemandangan yang sama, Bu. Dan, mimpi itu berhenti ketika aku mulai melukisnya.”
“Oh....” Wilujeng manggut-manggut.
Ia kemudian duduk di tepi ranjang Kresna. Ditatapnya baik-baik anak laki-lakinya itu.
“Mm.... Ibu dengar dari Ayah, kamu pernah hilang selama beberapa hari. Benar?”
Kresna kini benar-benar menghentikan kesibukannya. Pemuda itu memutar arah duduknya, tepat menghadap pada Wilujeng.
“Ya, Bu,” angguk Kresna. “Aku mendaki Gunung Nawonggo bersama teman-teman. Ada Seta juga. Sampai akhirnya aku didorong ke dalam jurang oleh Alex. Lalu, aku seolah-olah tersedot masuk ke lorong yang gelap gulita. Entah di mana, kenapa, berapa lama, dan apa yang terjadi, aku sama sekali tidak tahu. Baru sadar setelah seseorang menemukanku. Jauh sekali dari tempat aku jatuh.”
Wilujeng tercenung mendengarnya. Yang pernah dialaminya nyaris persis sama dengan yang baru saja diungkapkan Kresna. Hanya saja rentang waktunya jauh lebih lama. Tiga belas tahun. Begitu saja ia seolah terlempar kembali ke dalam terang dalam kondisi sudah menua. Kondisi yang memang sudah seharusnya ia alami.
“Bu....” Kresna tiba-tiba saja sudah berlutut di depan Wilujeng. Menggenggam tangan Wilujeng dengan erat dan hangat. Berucap lembut, “Apa pun yang terjadi pada kita, yang penting kita sudah kembali ke rumah. Bisa berkumpul lagi bersama.”
“Ya.” Wilujeng mengangguk dengan mata mengaca. “Kamu benar.”
“Nah!” Kresna melepaskan genggaman tangannya dan berdiri. “Sudah jam segini, Bu. Sebaiknya kita siap-siap untuk jemput Ayah dan Seta.”
“Oh, ya, ya!” Wilujeng menengok jam dinding.
Sudah hampir pukul sebelas siang. Ia dan Kresna sudah berjanji untuk menjemput Mahesa dan Seta di kantor. Mereka berempat akan menikmati makan siang bersama di luar. Membayangkan itu, Wilujeng tersenyum dan beranjak dari duduknya.
* * *
Paitun menghela napas panjang. Bawono Kinayung jadi jauh lebih sepi tanpa kehadiran Wilujeng. Bagaimanapun perempuan cantik itu sudah membuat suasana Bawono Kinayung jadi lebih semarak selama beberapa tahun belakangan ini.
Ia menatap berkeliling. Bilik Wilujeng dan Pinasti sudah bersih. Buku-buku yang selama ini menghiasi rak dan hampir memenuhi tiga sisi dinding sudah bersih dan dipak rapi. Siap dikirimkan ke pemiliknya secara bertahap.
Pinasti ajak sudah memilih untuk tidak menempati bilik itu. Ia lebih suka tidur melingkar di sudut ruang depan, beralaskan sehelai daster bekas milik Wilujeng, seperti saat ini, siang ini. Pada malam hari, ia akan bertualang bersama Janggo. Terkadang juga bergabung dengan para ajak lainnya menjelajah lebatnya hutan di dasar-dasar jurang Gunung Nawonggo. Sebuah kehidupan baru yang dinikmatinya dengan riang.
‘Tun....’
Paitun sedikit tersentak ketika suara itu menggema dalam benaknya, disertai aroma wangi yang menguar memenuhi udara dalam pondok itu.
‘Ya, Gusti?’ Ia menanggapi panggilan itu dengan sangat sopan.
‘Sebaiknya besok pagi-pagi sekali, kamu dan Tirto pergi ke Bawono Kecik. Ajak juga Janggo dan Pinasti. Ada orang baru yang akan datang malam ini. Bawalah ke sini, rawatlah dengan baik.’
‘Baik, Gusti.’
Lalu, ia mendapat satu pesan lagi yang harus diselesaikannya siang ini juga. Sebuah pesan yang langsung disanggupinya dan membuatnya bisa tersenyum lega.
Maka, ia pun segera bersiap diri. Menutup pikiran dan jiwanya. Berkonsentrasi pada satu hal yang baru saja menjadi tugasnya.
* * *
Taruno dan Misty sama-sama mengistirahatkan tubuh lelah mereka, duduk bersisian di sofa. Taruno merengkuh hangat bahu Misty, sedangkan Misty merebahkan kepalanya di dada Taruno. Bersamaan, keduanya mengembuskan napas lega.
Alma sudah kembali terlelap. Setelah Alma menyantap habis semua makanan yang dimintanya dan minum obat, ketiganya mengobrol sejenak. Kemudian Alma mulai memilih koleksi bukunya untuk dibaca. Ia menemukan sebuah novel yang kelihatannya cukup bagus, justru karena kondisi novel itu sudah sedikit lecek, tanda agak terlalu sering dibaca. “Omerta”, karya Mario Puzo.
“Itu novel favoritmu,” senyum Misty.
Alma mengangkat wajah sejenak, membalas senyum ibunya.
“Ya,” angguknya. “Aku rasa begitu.”
Dan, ia mulai membaca novel itu. Seketika ia seolah terlanda deja vu. Dari sedikit halaman yang sudah ia baca, ia sudah memahami isi novel itu, seperti benar-benar pernah membacanya.
Mungkin benar ini novel kesukaanku.
Tapi baru beberapa halaman, kantuk sudah menyerangnya. Ia menguap lebar-lebar.
“Kalau mengantuk, tidur saja,” tegur Taruno lembut.
Alma sedikit tersipu. Ia menutup novelnya dan meletakkannya di atas meja kecil di dekat bantalnya. Taruno segera menyetel ranjang Alma yang tadi dalam mode setengah duduk.
“Terima kasih, Yah,” ucapnya manis, sebelum berbaring dan memejamkan mata.
Taruno mengecup keningnya, dan Misty membenahi selimut sang putri.
Sejak sadar beberapa hari lalu, perkembangan kondisi Alma sangat menggembirakan. Pulihnya lebih cepat daripada yang diperkirakan. Kecuali amnesianya, tentu saja. Dokter Kana sendiri cukup takjub dengan keadaan itu. Pun Taruno dan Misty.
Meskipun demikian, Taruno masih tetap menolak kunjungan dari para guru dan teman sekolah Alma. Mereka masih perlu waktu untuk mengembalikan ingatan Alma. Sedikit demi sedikit. Kalau terlalu banyak yang dijejalkan pada Alma pada satu waktu, ia dan Misty khawatir akan terjadi ‘kelebihan muatan’ yang justru tidak baik bagi Alma. Untungnya mereka semua memahami kondisi itu.
“Yah...,” gumam Misty.
“Ya?”
“Seandainya Alma ingat Alda, ingat peristiwa itu, apakah... dia akan baik-baik saja?”
Taruno tercenung lama. Ia sama sekali tak punya jawaban atas pertanyaan itu.
Alma dan Alda hanya dua bersaudara. Keduanya saling menyayangi. Hubungan mereka sangat dekat sebagai adik-kakak dan sahabat. Beda usia mereka hanya sekitar tiga tahun, lebih tua Alda. Dan, membayangkan seperti apa Alma bila nantinya mengingat Alda secara utuh, Taruno sama sekali tak berani.
“Kita harus bisa lebih kuat daripada dia, Bu,” bisik Taruno, “agar bisa menopangnya.”
Misty tergugu.
Tiba-tiba...
“Kakak... Kakak... Kakak!”
Taruno dan Misty tersentak mendengar suara itu. Keduanya segera melompat dari duduk mereka dan berlari ke arah ranjang. Ketika tangan Misty menyibakkan tirai, dilihatnya Alma sudah bangun dan terduduk dengan berurai air mata. Bibirnya terus memanggil sang kakak, hingga Misty mendekapnya.
“Kakak mana, Bu? Kakak mana? Kak Alda mana?” tanya Alma di tengah sedu sedannya.
Misty hanya mampu mengeratkan pelukan, sementara Taruno pelan-pelan mengalihkan tatapan ke luar jendela. Dengan rasa di hati yang tak terkira perihnya.
* * *
Sejenak setelah memejamkan mata, Alma tenggelam dalam sebuah rasa damai. Perutnya kenyang, hatinya riang. Sedikit demi sedikit, banyak hal yang terkait dengan ingatan di masa lalu mulai masuk ke dalam benaknya. Entah bagaimana caranya.
Lalu....
Perlahan-lahan segulung kabut putih menyelimutinya. Terasa begitu sejuk, sekaligus menyeretnya dalam sebuah keheningan yang sangat menenangkan. Ia bisa melihat dirinya sendiri di tengah kabut itu, berdiri dalam sunyi, sebelum ada kilasan gambar berbagai peristiwa menyambar-nyambar dan memenuhi benaknya.
Ia hanya bisa terdiam ketika satu demi satu setiap episode dalam kehidupannya sebelum ini melompat masuk ke dalam setiap lorong ingatannya. Berbagai kejadian, berbagai kenangan, berbagai momen mengesankan, sekumpulan teman-teman, dan masih banyak hal lagi, mulai mengalir nyaris tanpa jeda. Hingga pada satu detik ia seolah dipaksa untuk terjaga dari mimpi. Terjaga dalam kondisi sadar dan ingat sepenuhnya siapa dirinya.
Ia adalah Alma. Zervia Almandine Garnet. Putri kedua sekaligus bungsu dari pasangan Taruno Pubowiyakso dan Mistykala Purbowiyakso. Ia memiliki seorang kakak perempuan bernama Alda. Lengkapnya Xania Aileena Emeralda. Ia punya banyak teman di sekolah. Bahkan ia punya geng lucu-lucuan bernama Buyar Kabeh bersama Binno, Riska, Camelia, Dondit, dan Gamaliel, teman-teman yang sudah bersama sejak TK.
Dan, peristiwa terakhir sebelum ia serasa terperosok dan terjebak dalam lorong gelap yang seolah tak berujung adalah kepergian mereka sekeluarga ke sebuah warung iga bakar di Samenik. Lalu....
Ayah dan Ibu selalu menemaniku. Tapi di mana Kakak?
Alma tersentak.
Gambaran itu muncul begitu saja di tengah kekacauan yang tiba-tiba melanda acara makan bersama mereka berempat. Ada ledakan. Kakaknya terjebak di sana. Di tengah api yang membara. Sia-sia ia memanggil sang kakak.
“Kakak... Kakak... Kakak!”
Kali ini ia benar-benar terjaga karena mendengar seruannya sendiri.
Kakak... Kakak di mana?
Ia mulai tersedu tanpa tahu apa sebabnya. Pun makin terjaga ketika sang ibu memeluknya erat. Hanya bisa terdiam ketika ia menanyakan keberadaan sang kakak tersayang.
* * *
Paitun sedikit terhenyak ketika tugasnya kali ini sudah purna. Ia sudah utuh mengembalikan ingatan seorang Zervia Almandine Garnet ke tempat yang seharusnya. Sejenak ia tercenung.
Sepanjang kehidupannya di Bawono Kinayung, tugasnya kali ini dirasanya jadi tugas yang terberat. Tapi ia tahu, hanya atas kehendak Gusti seutuhnyalah ia bisa menyelesaikan tugas itu dengan sempurna. Dihelanya napas panjang.
Kehidupan jiwa Pinasti di ‘atas’ sana, dalam tubuhnya yang baru, pastilah tak mudah. Tapi ia mengenal Pinasti dengan sangat baik. Apalagi Pinasti dibesarkan oleh Wilujeng yang sudah membekalinya dengan cukup pengetahuan dasar untuk hidup dan bertahan di ‘atas’ sebagai manusia normal.
Baik-baiklah kalian, Nduk....
Paitun mengulas senyum. Dihelanya napas panjang sebelum beranjak. Tugas lainnya sudah menunggu untuk dipersiapkan dan diselesaikan.
* * *
(Bersambung hari Sabtu)
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.