Tentang Hati Yang Patah
Alana terlalu terpaku pada masa lalu, hingga ia membuka hatinya pada cerita baru.
![Tentang Hati Yang Patah](https://thewriters.id/uploads/images/image_750x_603bb5f2a0edd.jpg)
Aku takut kepada kamu,
karena segala ketakutanku bersumber dari kamu
Aku takut akan khayalan,
karena begitu ia hilang; aku jatuh berantakan
—dari hati yang patah
∞
“By!”
Pemuda berambut raven itu menoleh, untuk melihat siapa yang memanggilnya dengan begitu bersemangat barusan. Sedetik kemudian, bibirnya mengulumkan senyuman tipis. Begitu manis; hingga gadis itu nyaris berteriak histeris.
“Baru pulang, ya?” tanyanya.
Pemuda tadi mengangguk pelan. Tangannya diulurkan untuk mengusap lembut helaian surai sang gadis.
“Kamu kenapa bisa kesini?” Ia balik bertanya.
Gadis itu mengangkat bahu, “Pengen ketemuuu..” jawabnya manja. Dengan segera ia memeluk lengan kekar pemuda disampingnya.
Gelak tawa langsung berderai menghangatkan suasana sore yang begitu lembut hari itu. Semuanya terasa sempurna. Entah kenapa, hal-hal yang sederhana seperti ini selalu saja mampu membuatnya bahagia. Asalkan bersama pemuda itu tentu saja.
“Daffa?” panggil sebuah suara lembut.
Tidak, bukan gadis yang tengah bergelayut manja di lengannya saat ini yang memanggilnya. Tapi sosok lain, seorang yang juga cantik. Daffa kelihatan salah tingkah, sebelum kemudian membalas dengan senyuman tipis—lagi.
Alana melepaskan pegangannya di lengan kekasihnya. Matanya menatap lekat ke arah sosok gadis di hadapannya, lalu beralih ke arah Daffa. Dia mengamati. Siapa dia? Apakah temannya Daffa? Tapi kenapa caranya memandangi pemuda itu begitu berbeda? Seperti...
Alana mencoba mengingat-ingat. Sebelum kemudian tersenyum pahit. Ah ya; cara Alana memandangi Daffa juga.
∞
Iris kecoklatan itu terbuka dengan begitu cepat. Refleks tubuhnya pun tak kalah hebat, ia langsung terduduk di tepi ranjang. Untuk beberapa saat, ia dapat merasakan jantung dan aliran darahnya begitu keras mengaliri tubuhnya. Alana memegangi dadanya, takut-takut jika hatinya pecah.
Berlebihan kah? Mungkin iya, bagi sebagian orang yang belum pernah merasakan terbangun di tengah malam sambil mengingat kenangan. Percayalah, rasanya bahkan lebih buruk daripada merasa kesakitan.
Mimpi tadi, harusnya mimpi yang indah kan? Tapi kenapa Alana merasa sakit? Dadanya begitu sesak, cairan bening itu benar-benar tak dapat tertahankan lagi.
Gadis itu meremas tangannya dengan kuat. Kepalanya berada diantara kedua lututnya, tak mampu lagi menghadap ke atas. Tanpa isakan, gadis itu menangis hebat; menumpahkan segala kepedihan di hatinya. Ia tidak mampu menghentikan pikirannya memutar kenangan.
Di saat-saat seperti ini, kenapa logikanya tak mau bekerja sama dengan sanubari? Kenapa terus melakukan hal yang membuat perih? Apa begitu parahnya patah hati?
∞
Orang-orang mungkin mengira ia telah mati—kalau saja ia tidak melakukan gerakan apa-apa. Bibirnya begitu pucat, raut wajahnya tidak menampilkan kehidupan; begitu datar tanpa ekspresi. Oh, bahkan Alana pikir mati lebih baik daripada harus menjalani hidup yang seperti ini.
Sekali lagi, kalian mungkin berpikir ia sudah terlalu berlebihan. Tapi, saat kalian patah hati, maka segalanya terasa tak lagi berarti.
“Alana sayang,”
Kalau saja pemuda itu yang memanggilnya dengan sebutan tadi, Alana pasti akan segera tersenyum lagi. Tapi bukan, ekspektasinya benar-benar tidak akan terjadi.
Syasya memandanginya dengan bingung. Tentu saja, ia menyadari ada yang tidak beres disini. Alana itu gadis periang, dia selalu bersemangat akan segala hal. Setiap hari, Alana pasti akan berjalan di koridor kampus dengan senyuman penuh percaya diri sambil menyapa orang-orang yang dikenalnya.
Belum sempat Syasya melontarkan pertanyaannya lagi, Alana tiba-tiba membalikkan langkahnya ke lorong sebelah kanan. Gerakan tubuhnya seperti orang ketakutan. Syasya benar-benar tidak tahan. Sebenarnya ada apa?
Matanya mengikuti arah pandangan Alana yang kelihatan sayu. Sosok bidang pemuda yang membelakangi mereka itu... Syasya mengenalnya. Tentu saja, Daffa! Kenapa ia tidak menyadarinya?
“Ada masalah sama..”
“Jangan sebut namanya, deh!” teriak Alana tepat sebelum Syasya menyebut nama lelaki itu.
Orang-orang melihat ke arah mereka dengan pandangan penasaran. Suara Alana tadi ternyata benar-benar keras. Alana menghembuskan napas, masa bodoh dengan apa pandangan orang dengan dirinya nanti. Sudah cukup dengan rasa sakit hati ini.
Melihat sikap acuh Alana, Syasya segera menarik lengan gadis itu. Memaksanya untuk ikut bersama Syasya.
“Kenapa? Lo kenapa, hah?! Cerita sama gue. Jangan gini, Lana!” Syasya menumpahkan amarahnya begitu mereka sampai ke toilet yang kosong.
Tangis Alana mulai pecah. Dengan cepat, dipeluknya sahabat dihadapannya sekarang ini. “Sya, gue...”
“Ssstt, gue ngerti sekarang,” jawab Syasya sembari membalas pelukan Alana dengan erat.
Ya, Syasya benar-benar mengerti sekarang. Syasya tidak bodoh sehingga tidak bisa mengamati apa yang tengah terjadi. Mereka berpisah—tentu saja. Meskipun alasannya masih belum diketahui oleh Syasya. Setidaknya, ia mengerti.
∞
Tanggal 15.
Kira-kira sudah hampir seminggu sejak mimpi buruk itu terjadi. Meskipun Alana tahu bahwa semua itu nyata, tapi ia benar-benar tidak bisa menoleransi rasa sakitnya. Dan di sinilah ia sekarang, berusaha menyibukkan diri dengan tumpukan kertas didepannya.
Sudah tiga jam lebih ia disini, dan badannya benar-benar sudah kelelahan sekarang. Tapi ia tidak bisa berhenti, karena otaknya juga tidak mau berhenti menyiksa hati.
Kriett.
Pintu mahoni kayu itu berderit, sebelum akhirnya menampilkan sosok yang sudah sangat dikenal Alana. Tentus aja; Syasya.
“Alana, pulang, yuk.” ajak Syasya. Napasnya terengah-engah. Mungkin ia berlari sebelum menuju kesini, pikir Alana.
“Lo pulang duluan aja. Gue masih mau disini,” jawab Alana pelan tanpa mengalihkan pandangannya.
Syasya menghela napas kesal, “ Ngapain sih lo? Mau nyakitin diri sendiri disini?”
Alana mendelik. “Masa cuma bikin tugas doang nyakitin diri sendiri, sih, Sya? Bukannya malah nyelametin diri sendiri, ya?” Alana mencoba untuk sedikit bercanda.
“Kalau lo ngerjain tugas sendiri, sih, iya. Tapi, kalau lo ngerjain tugas temen-temen sekelas lo dalam waktu sehari, itu namanya lo mau bunuh diri!” sahut Syasya.
Alana terdiam. Untuk beberapa saat, suasana begitu hening. Syasya tahu kalau bukan perkataannya yang salah, tapi sepertinya fakta itu yang membuat Alana enggan untuk menjawab.
“Ajakin gue jalan, Sya.” ujar Alana akhirnya. Ia benci suasana hening; pikirannya makin tidak dapat dikontrol.
Syasya tersenyum, “Yuk, gue sekalian mau ngenalin lo, ke temen-temen gue yang lain,”
∞
“Kemana lagi, deh, Sya?” tanya Alana ketus.
Kakinya terasa begitu pegal setelah mengikuti Syasya belanja di mall sebesar ini. Ah, tampaknya tadi Alana lupa kalau Syasya benar-benar gila belanja. Alana menyesali ajakannya kepada Syasya tadi.
“Bentar dong, Lan. Gue masih mau nyari sepatu. Itu, lho, yang kita liat bulan lalu,”
Kening Alan berkerut. “Emang masih ada?” tanyanya.
Tapi Syasya sama sekali tidak berniat untuk menjawab. Ia masih terus bergelut dengan barang-barang keluaran terbaru sebuah brand fashion kesukaannya. Alana bergumam pasrah.
Irisnya berkeliling menyapu setiap sudut toko. Sampai matanya menangkap dua orang yang tengah bermesraan berjalan tak jauh di hadapannya. Sudah cukup. Kali ini, Alana benar-benar tidak sanggup menahan segalanya. Dengan segenap kekuatannya yang masih tersisa, ia berlari dengan cepat meninggalkan Syasya sendirian disana dengan kebingungan.
Kenapa? Kenapa rasanya masih begitu sakit? Orang bilang waktu mampu menghapus rasa sakit, tapi sudah selama ini, kenapa masih belum juga hilang? Apakah hukum itu tak berlaku bagi dirinya? Atau.. kata-kata itu hanya sekedar ‘pil’ bagi mereka yang sakit hati agar mampu mencoba berdiri?
Alana tidak tahu kenapa rasanya sesakit ini. Lelaki itu bukan kekasihnya lagi, bukan miliknya lagi. Harusnya ini bukan masalah jika ia berjalan bersama wanita lain, kan? Memangnya, Alana siapa? Kenapa juga ia harus merasa sakit? Lelaki itulah yang meninggalkan dirinya. Harusnya Alana membenci dia. Tapi tentu saja, mengucapkan sesuatu itu lebih mudah daripada melakukannya, kan?
Cermin itu mulai kabur, setelah air matanya menetesi permukaannya yang rata. Dari sudut matanya, Alana dapat melihat Syasya yang tengah memandangnya dengan nanar.
“Kenapa harus lari lagi, sih, Lan? Kenapa lo buat dia merasa diatas angin karena udah bikin lo masih belum bisa ngelupain dia? Dia itu jahat, gak pantes buat lo. Jangan lo tangisin. Gak guna, Lan!” ujar Syasya.
Ia marah pada Alana yang begitu bodoh dan lemah. Tapi, ia lebih marah lagi pada Daffa yang telah membuat sahabatnya begini.
Tangisan Alana makin keras. Terlalu banyak pertanyaan ‘kenapa’ yang tidak bisa ia jawab. Kenapa ia masih terus bersedih? Ia sendiri juga tidak tahu. Kalau bisa memilih, Alana juga tidak ingin ada di posisi yang sangat memalukan seperti ini.
Ia frustasi. Ia merasa rendah diri. Lelaki itu lebih memilih gadis lain. Seberapa banyak kekurangan Alana? Setiap hari, ia mencoba untuk mencari tahu tentang mereka dan setiap hari pula Alana kehilangan rasa percaya diri. Gadis itu terlalu sempuran. Ia tidak bisa terima.
“Kan udah gue bilang, stop ngeharapin dia buat balik lagi sama lo. Kalau emang dia masih sayang, dia gak bakalan bikin lo gini. Dia gak bakalan ninggalin lo,”
“Gue tau, gue tau itu. Tapi kata ‘tau’ beda sama ‘bisa’, Sya. Gak peduli seberapa banyak orang bilang untuk lupain dia, gue tetep gak bisa. Lo pikir gue mau ada di posisi ini? Enggak, Sya. Gue juga benci jadi orang lemah kayak gini. Tapi gue gak bisa berhenti. Dia ninggalin disaat gue lagi sayang banget sama dia, Sya!”
Dan untuk beberapa saat kemudian, Alana menumpahkan segala kepedihannya kepada Syasya. Ia butuh tempat untuk bercerita.
∞
“Ini namanya Kevin,” kata Syasya sembari menunjuk seorang pemuda dengan raut wajah khas Australia yang kental.
“Kevin, ini namanya Alana.” Syasya mulai memberi isyarat pada Alana untuk memperkenalkan diri.
Alana tersenyum kikuk. “Hai, gue Alana,” ujarnya pelan.
Kevin balas tersenyum, tapi lebih lebar dan ramah dari senyuman Alana.
“Lo cantik,” kata Kevin.
Iris kecoklatan itu terbuka lebar, diiringi dengan deheman dan suitan dari yang yang lain.
“E-eh?” Alana tampak canggung, ia kelihatan malu-malu.
“Iya, lo cantik. Dan gue suka cewek cantik.” katanya cuek, diselingi dengan seringaian tipis.
Deheman dan godaan yang diterima oleh Alana makin menjadi. Alana segera sadar dari keterkejutannya tadi.
“Biasanya, cowok yang suka ngegombal itu playboy,” balas Alana.
Kevin mengangkat sebelah alisnya, “ Oh ya? Emang gue tadi ngegombal? Itu, kan, memang kenyataan. Coba aja lo godain cowok mana pun di mall ini, gue jamin gak ada yang bakalan nolak,”
Alana terdiam, mulut lelaki ini sepertinya benar-benar tidak ada rem. Ia mengatakan apapun sesuka hatinya dan bolehkah menganggap ucapannya itu sebuah kejujuran?
“Tapi cantik bukan alasan buat gak ditinggalin, kan?” pancing Alana, ia mulai berani juga.
Kevin menyeringai lagi. Alana memang tipe yang harus dipancing dulu baru ia mau mengeluarkan pendapatnya. Dia patah hati—Kevin tahu. Tapi sifat aslinya yang menyenangkan tentu saja saja tidak dapat dihilangkan. Kevin begitu tertarik sejak lama. Ah ya, sejak lama sekali.
“Yang ninggalin lo berarti bodoh. Gak bisa bedain mana berlian asli sama palsu. Dan oh ya, gue gak pengen bahas mantan brengsek lo disini. Gue cuma pengen bahas tentang kita berdua,” ucap Kevin mantap.
Alana menghela napas. Kita berdua? Yang benar saja. Mereka bahkan baru beberapa detik yang lalu berkenalan.
“Lo mungkin gak inget gue. Tapi kita dulu satu sekolah, kok, di SMA. Gue juga dulu sekolah di SMA Pelita Bangsa,”
Lagi, Alana tidak dapat menyembunyikannya rasa terkejutnya. Lelaki ini benar-benar penuh kejutan.
“Lo sekolah disana juga?” tanya Alana tak percaya.
“Yap. Dan gue yakin lo pasti gak tau sama gue,” kata Kevin.
Alana mengangguk pelan, “I-iya sih,”
“Ya gitu deh, orang yang terlalu sibuk buat ngejar popularitas dan prince charming-nya di sekolah. Yang seganteng Kevin aja lewat!” celetuk Andre—teman yang dibawa Syasya juga.
Alana tersipu malu. Irisnya beradu dengan iris hitam legam milik Kevin. Dia merasa begitu terpikat. Aneh, rasanya Alana sudah lama sekali tidak merasakan perasaan seperti ini. Sesuatu yang membuatnya begitu bersemangat. Sesuatu yang merupakan awal dari kata..
Cinta?
∞
“By!”
Pemuda itu tersenyum lebar, menampilkan raut kebahagiaan. Dan begitu lengan gadis itu memeluk erat lengannya, pemuda itu merasa penantiannya tidak pernah sia-sia.
“Kok baru pulang? Darimana aja?” tanya Alana kesal.
Bibirnya dipautkan, tanda kesal. Kevin tertawa kecil melihat tingkah imut kekasihnya ini. Seseorang yang ia sembuhkan dari rasa sakit hatinya. Memang tidak mudah mengembalikan kepercayaan sebuah hati yang pernah dipatahkan. Tapi, nampaknya perasaan tulus itu mampu menyembuhkan lukanya.
“Abis main futsal,” Alana mengangguk pelan.
“Sama Daffa..” sambung Kevin lagi. Ia sengaja ingin melihat bagaimana reaksi Alana ketika nama itu disebut.
“Oh,” jawab Alana cuek, kelihatan tidak peduli.
“Capek gak?” Alana balik bertanya.
Kevin menggeleng. “Daffa udah putus sama pacarnya,”
Alana mengangkat sebelah alisnya, “Terus?”
Kevin tertawa melihat reaksi Alana yang kelihatan tidak peduli. Lucu, ya? Bagaimana waktu dapat mengubah orang yang dulunya begitu kenal menjadi orang yang sama sekali asing bagi kita. Oh, juga tentang pepatah waktu itu. Alana baru menyadari, bahwa waktu tidak menghilangkan rasa sakit hati; tetapi waktu membuat kita terbiasa dengan rasa sakit itu sehingga ia tidak lagi menjadi masalah.
Bagaimanapun, patah hati mengajarkannya untuk lebih kuat dan juga mengantarkannya kepada Kevin. Alana tidak pernah menyesal untuk mengakhiri sebuah kisah yang membawanya pada cerita baru.
Selamat tinggal masa lalu.
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.