Keping Pertama: Kelana Malam Luna

Keping Pertama: Kelana Malam Luna

Dongeng yang biasa kamu dengar mungkin bercerita tentang kancil cerdik yang selalu bisa lari dari masalah, atau gadis kecil bertudung merah yang sangat polos, sampai-sampai tak bisa membedakan antara neneknya sendiri dan seekor serigala. Well, cerita anak-anak semacam itu tak pernah didengar Luna keluar dari bibir sang ibu.

Hal-hal yang didengarnya sebelum tidur adalah fakta-fakta mengenai fenomena alam di seluruh negeri. Bagaimana terjadinya petir, gempa bumi, atau tsunami. Kadang-kadang juga hewan apa saja yang ada di dasar laut, dari yang terkecil sampai terbesar, juga yang paling manis hingga yang paling ganas. Meski aneh dan tak biasa, Luna suka mendengar suara ibunya ketika mendongenginya hal-hal semacam itu.

Kalau ada dongeng yang bisa Luna kategorikan sebagai dongeng yang paling indah, atau yang paling ia suka, itu adalah tentang Selene dan Endymion. Kisah penantian panjang yang pernah dilakukan seorang dewi.

Ibunya bilang, Selene adalah Dewi Bulan, putri dari Titan Hiperion dan Theia. Bangsa Romawi menyebutnya Luna, dan hei, itu namanya!

Namun tidak seperti dirinya, Selene memiliki saudara dan saudari. Mereka bernama Helios, si Dewa Matahari, dan Eos, Dewi Fajar. Luna selalu bertanya, apakah mereka bertiga berhubungan dengan baik, mengingat matahari dan bulan sangat berlawanan. Ibu bilang, tentu saja mereka berhubungan baik, karena mereka bersaudara.

“Kalau begitu, Luna pikir tak ada yang istimewa dari Selene, Bu.”

Ibu tersenyum. “Kenapa tidak ada?”

“Karena dia punya ayah dan ibu, saudara juga punya. Itu kelihatan seperti teman-teman Luna yang Ibu bilang biasa-biasa saja. Kalau Luna, kata Ibu Luna istimewa karena Luna cuma punya Ibu dan tidak punya saudara, iya kan?”

Seperti luka dalam bertabur garam, hati wanita itu lagi-lagi tersayat.

“Iya, Luna anak ibu yang istimewa. Tapi Selene juga istimewa, karena dia punya sesuatu yang tak bisa ia miliki.”

Begitulah Luna menyebut dirinya istimewa. Karena dia punya sesuatu yang tak bisa ia miliki, seperti Selene. Seperti ibu.

Dikisahkan, Selene adalah dewi yang cintanya diperebutkan oleh dewa-dewa. Ia pun memiliki banyak hubungan dengan mereka. Bahkan dengan Zeus, ia melahirkan seorang anak bernama Pandi, yang akhirnya harus dibuang ke dunia manusia.

Ibu bercerita, bahwa pada akhirnya, Selene menemukan cinta sejatinya. Lelaki itu seorang manusia bernama Shepard Endymion, seorang pemuda gembala dan seorang pemburu yang sangat tampan. Seperti halnya manusia, keduanya jatuh cinta. Semua tampak bisa dimiliki Selene dalam sekejap. Hanya dalam sekejap.

Dewa-dewi mencemooh Selene, karena jatuh cinta pada makhluk rendahan. Dengan bersabar, Selene selalu menentang apa yang mereka katakan.

“Dia bukan makhluk rendahan. Dia manusia, tak pernahkah kalian mendengarnya?”

Selene heran karena Zeus tidak tampak marah. Ia hanya tidak tahu, bahwa Zeus merencanakan sesuatu. Segeralah Selene marah, ketika Zeus memberi pilihan yang menjebak pada Endymion, sebagai ganti amarahnya.

Dua pilihan itu adalah tetap menjadi manusia, dengan kehidupan baru yang tak melibatkan Selene di dalamnya, atau hidup abadi dan awet muda dalam tidur panjang.

Dengan bersedih hati, Endymion menetapkan pilhan. Ia meminta Zeus untuk menjadikannya abadi dalam tidur, sehingga ia tak akan pernah meninggalkan Selene. Meski pada akhirnya, ia tak akan bisa melihat Selene dengan kedua matanya yang tertutup.

Maka untuk menghormati kesedihannya, Selene meneteskan air matanya. Sang dewi memohon pada Zeus dengan wajahnya yang mengilat, bersimbah air mata yang ditimpa cahaya bulan. Selene memohon agar Zeus mengabulkan permintaan Endymion untuk hidup abadi.

Dengan enggan, Zeus mengabulkan permintaan Endymion. Di suatu bukit yang tinggi, dengan cahaya matahari yang hangat setiap hari dan cahaya bulan yang indah setiap malam, Endymion ditidurkan untuk selamanya.

“Memangnya kalau begitu, Selene bisa bertemu Endymion setiap saat, Bu?”

Ada gurat sedih di wajah sang ibu, yang tak kasat mata di iris cokelat Luna kecil. “Tentu saja tidak setiap saat,” tuturnya sembari mengelus surai hitam gadis mungilnya.

Sejak saat itu, wajah Selene yang rupawan selalu dihiasi pucat yang disebabkan oleh kesedihan karena berpisah dengan sang kekasih. Setiap malam, Selene mengenakan gaun suteranya yang elok, membawa obor di tangannya dan duduk di atas kereta yang ditarik oleh kuda-kuda langit. Sang dewi mengembara kelam malam, menyinari bumi dengan cahayanya yang indah.

Sinar bulan yang jatuh kepada rupa manusia yang sedang tidur, itu dilambangkan sebagai kecupannya untuk sang kekasih yang terbaring tenang untuk selamanya. Karena meski ia dapat melihat wajah Endymion yang tenang dalam tidurnya dari langit, Selene tak bisa turun ke bumi untuk menjumpainya.

Satu kali dalam kurun waktu seratus tahun, manusia mengenal yang namanya gerhana bulan. Suatu fenomena yang terjadi ketika bumi, bulan, dan matahari berada pada posisi sejajar. Hal itu membuat bulan tampak gelap dan sinarnya tidak mencapai bumi, dikarenakan cahaya matahari terhalang oleh bumi.

Banyak yang percaya bahwa sebenarnya gerhana bulan merupakan hari di mana Selene turun ke bumi untuk menghampiri Endymion. Sang dewi meminta bantuan pada saudaranya, Helios, Dewa Matahari, untuk  menyembunyikan bumi dari pandangan dewa-dewi lain di langit, sementara ia menutupi bumi dengan bulan dari sisi lainnya.

Hanya dengan cara itu, Selene bisa turun ke bumi tanpa dilihat oleh yang lainnya, bahkan Zeus sekalipun. Sayangnya, Helios hanya dapat melakukan itu sekali dalam jangka waktu yang panjang. Bagaimanapun, dewa-dewi yang lain akan curiga jika mereka melakukannya terlalu sering.

Sekali dalam seratus tahun, Selene akhirnya bisa mengecup sang kekasih, membelai wajahnya, dan menangis dalam pelukannya. Ada sedikit sesal karena Endymion memilih untuk hidup abadi dalam tidur. Namun Selene tahu, kalau Endymion tetap menjadi manusia, Zeus akan membuat umurnya pendek sehingga ia akan segera mati.

“Serba salah ya, Bu?” gumam Luna menyimpulkan.

“Iya.”Ibu menjawab lirih. “Begitulah, Selene selalu menanti gerhana bulan berikutnya, sementara Endymion tetap tertidur.”

Luna masih merasa iba atas Selene. Dia mengambil pelajaran bahwa kisah cinta yang sedih, tentang penantian dan perasaan sepihak bukan hanya terjadi pada manusia, tapi bahkan pada dewa-dewi jaman dahulu.

Luna juga mengerti, sesakit itu rasanya mencintai.

“Apa Ibu dan orang … ah, siapapun yang seharusnya bisa Luna panggil Ayah, juga berpisah seperti Selene dan Endymion?” tanya Luna sebelum matanya terpejam.

Rasanya, ibunya butuh waktu lama sekali untuk menjawab sampai-sampai kantuk hamper menguasai dirinya sepenuhnya.

“Mungkin, lebih tepatnya, akulah Endymion dalam kisah kami.”

 

[Fiksi ini adalah pengembangan dari mitologi Yunani tentang Dewi Bulan, Selene dan Endymion.]

 

7220, ©ranmay.

 

 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.