Say No to Violence

Mentari merekah di langit. Cahayanya mengelus pepohonan di halaman belakang sebuah rumah sakit. Kamar sunyi. Hanya suara desisan oksigen terdengar lirih mengikuti irama napas pasien melalui selang di hidung.
Si pasien tidur dengan damai. Seorang perempuan berwajah kuyu, dengan gaun kusut, duduk terpekur di dekat pasien itu. Perempuan itu tampak lelah, entah karena belum sempat mengganti baju kerjanya, atau tidak tidur semalaman. Matanya merah dan bengkak, serta ada bekas air mata mengering di pipinya.
Sepulang kerja, ia menemukan Tono, suaminya, pingsan tergeletak di lantai ruang keluarga. Intan, anak semata wayang mereka, berdiri mematung di sebelah ayahnya. Intan membisu. Ia tak menjelaskan apa yang terjadi.
"Aku di rumah saja, Bunda." Dengan suara lirih bergetar, Intan menolak menemani bunda membawa ayah ke rumah sakit.
Duduk di samping suaminya, Sarah menghela napas berkali-kali. Sarah memejamkan mata. Ingatannya berkelana ke masa kecilnya. Sarah berumur tujuh tahun saat pertama kali menyaksikan ayahnya menempeleng bundanya.
"Tidak apa-apa, Sarah. Ayahmu lelah bekerja seharian. Bunda seharusnya tak membuatnya kesal."
"Tidak, Bunda. Aku melihat yang terjadi. Ayah tidak boleh memukul Bunda." Sarah kecil menangis lirih, sesak kesulitan bernapas menahan marah.
Sampai suatu hari, Sarah kecil tidak bisa lagi menahan amarahnya. Begitu ia melihat ayahnya memukul bundanya lagi, ia menghambur ke arah ayahnya, menjerit dengan suara melengking, dan kecelakaan pun terjadi.
Dua puluh tahun setelahnya, Sarah kembali tercabik-cabik hatinya, ketika pada suatu hari Intan lapor ditampar ayahnya.
"Kamu pasti melakukan kesalahan. Ayah tak mungkin menamparmu tanpa alasan. Ya, kan?" Sarah mencoba memahami situasi.
"Bunda ga ngerti perasaanku," ujar Intan. "Ayah selalu saja nyuruh-nyuruh. Bawain handuk, ambilkan kunci mobil, hape, dan ini itu seakan aku tuh pembantu. Aku tidak mau, Bunda. Aku bilang aku bukan pembantu, dan Ayah langsung menamparku. Lagian, kan Bunda bilang kalo ga ada pembenar apapun untuk kekerasan?"
Saat itu, Sarah hanya mampu memeluk Intan sambil mengelus-elus kepalanya. Kini, setelah terjadi celaka, Sarah menyalahkan dirinya karena tidak mampu melindungi anaknya.
Tono beruntung. Dokter bilang bahwa Tono kena gigitan ular yang tak berbahaya. Ia akan pulih dalam dua hari. Kakek Intan tak seberuntung itu. Ketika ngamuk dan menjerit, Sarah kecil secara mengejutkan mampu mendatangkan seekor ular besar. Ular berbisa itu, yang tiba-tiba muncul entah dari mana, langsung menyerang dan menggigit ayahnya. Ayah Sarah meninggal seketika. (rase)
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.