Komunikasi adalah Solusi

Komunikasi adalah Solusi
Source : pixabay.com

 

Sore itu aku ada janji untuk bertemu dengan salah satu teman di Kafe Kupu-Kupu. Sesampainya disana, butuh waktu sekitar 1 menit bagiku untuk menemukan sosoknya diantara pengunjung lainnya. Ia mengenakan baju berwarna biru dengan kerudung bermotif bunga, duduk di kursi paling ujung kafe dan sedang menyeruput jus pesanannya.

 

‘Wid, kamu percaya ga kalau masalah bisa selesai dengan komunikasi?’, ucapku memulai pembicaraan.

‘Hmm, mungkin. Masalah apa dulu?’, tanyanya.

‘Waktu kita tingkat dua, sebelum aku berangkat ke Solo, kita bertengkar. Ingat?’

‘Itu kamu yang mulai duluan kan?’, ucapnya.

‘Haha, kamu masih ingat rupanya. Setelah insiden bertengkar di depan masjid, berhari-hari kemudian kita ga ngobrol sama sekali.’, aku mulai bercerita. ‘Aku kira kita akan membaik seiring dengan berjalannya waktu, tapi ternyata malah semakin memburuk. Kamu ingat tidak masalahnya apa Wid?’, aku bertanya padanya.

‘Masalahnya adalah kita bertengkar hanya karena hal yang sepele kan? Dulu kita lucu sekali yaa.’

Aku melihat ia tertawa.

‘Terus kenapa kita bisa baikan ya?’, ia bertanya.

‘Kamu meminta maaf Wid, bahkan untuk kesalahan yang tidak kamu perbuat. Dulu aku gengsi sekali dan berpikir seribu kali untuk memulai pembicaraan, namun tiba-tiba kamu mengirim pesan dengan sejuta kata-kata mutiara yang intinya adalah permintaan maaf.’, ujarku.

‘Komunikasi?’, ia tiba-tiba bertanya.

‘Kamu menangkap apa yang aku maksud ternyata.’

‘Iya Fa, setelah sekian lama aku menyadari sesuatu.’

‘Apa itu?’, tanyaku penasaran.

‘Bahwa kata maaf adalah komunikasi paling sederhana untuk berdamai dan awal mula untuk menyelesaikan masalah.’

Aku terdiam, mendengar closing statement darinya.

 

‘Berkaitan dengan komunikasi dan masalah, kamu juga pernah bercerita mengenai ketua departemen mu itu Fa.’, gantian ia yang memulai pembicaraan baru.

‘Ketua Departemen?’, aku berusaha mengingat-ngingat. ‘Oh, aku ingat!’, seruku seolah aku menemukan sesuatu yang sangat berharga.

‘Iya, sewaktu aku tingkat dua, aku menjabat jadi wakil ketua Wid, dan dia ketuanya.’, ucapku mulai bercerita. ‘Ditengah sibuknya mengurus program kerja, tiba-tiba ia menghilang entah kemana. Akhirnya semua tugasnya dibebankan kepadaku.’

‘Bukankah itu memang tugas seorang wakil?’, ia mengunciku dengan pertanyaannya.

‘Masalahnya ia menghilang dan tidak mengatakan sepatah kata pun, Wid. Bukankah itu seperti berlepas tanggungjawab atas amanah yang telah ia terima?’, aku membalik keadaan. ‘Aku sungguh kesal kala itu, dan rasanya sulit sekali untuk memaafkannya.’

‘Sampai sekarang?’, ia bertanya takut-takut aku masih menyimpan dendam pada sang ketua.

‘Haha, jelas tidak, Wid. Dua bulan setelah menghilang akhirnya ia memberiku kabar.’, ucapku memberikan penjelasan. ‘Ia bilang kalau sedang berada di posisi yang sulit. Selain itu ia juga masih berusaha untuk menyeimbangkan tugas kuliahnya dengan tugas di organisasi. Ditambah kesehatannya yang memburuk sehingga ia harus beristirahat untuk beberapa saat.’, tambahku. ‘Pada akhirnya ia meminta maaf dan berterimakasih. Ya, begitulah Wid, terkadang permasalahan bisa dengan mudah terselesaikan bila diawal ada komunikasi. Kalau saja ia mengatakan padaku permasalahan yang ia alami, mungkin tidak perlu ada prasangka buruk dariku’, pungkasku menutup penjelasan.

‘Ternyata komunikasi itu penting ya Fa.’

‘Tepat Wid! Selain penting, komunikasi juga bisa menjadi solusi untuk menyelesaikan sebuah masalah.’, tutupku mengakhiri cerita.

 

Sore itu aku tersadar, bahwa komunikasi bukan hanya solusi untuk menyelesaikan sebuah masalah yang terjadi, tapi juga merupakan sarana untuk merekatkan sebuah pertemanan yang sudah terjalin cukup lama.

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.