Mutiara di Hidungku

Mutiara di Hidungku
Image by Heike Tönnemann from Pixabay
Di satu hari, ketika kecil dulu sekali, aku pergi main ke rumah tanteku yang kupanggil Ibu Titi. Rumah beliau berada dalam satu kompleks dengan rumahku, jadi dengan mudah aku bisa pergi ke sana setiap saat semauku. Ibu Titi punya empat orang anak perempuan. Tiga yang pertama cukup jauh usianya dariku, sementara yang bungsu sebaya denganku.
 
Pada hari tertentu yang cerah itu, tak satu pun sepupuku ada di rumah sebetulnya. Tapi, tak mengapa, sebab bukan hal yang aneh juga bagiku untuk main sendirian di sana. Rumah Ibu Titi sudah seperti rumahku sendiri. Apa saja bisa dan bebas kumainkan, asal jangan menyentuh koleksi piringan hitam musik klasik milik Ayah Dee, suami Ibu Titi.
 
Hari itu, di kamar sepupuku yang sedang tidak ada di rumah, kutemukan butiran-butiran mutiara —tak asli tentunya. Senang sekali hatiku melihat benda bulat berdiameter sekitar 1 cm itu. Warnanya yang putih dengan pendar-pendar redup seperti pelangi tampak menarik. Aku menduga —entah kenapa— mutiara itu mungkin milik salah satu kakak sepupu yang sudah remaja. Tanpa ragu, kuambil dua butir, dan kubawa ke depan kaca.
 
“Ini mutiara, cantik banget deh,” kataku berkata kepada refleksi diriku di cermin, sambil memperlihatkan mutiara yang kupegang masing-masing satu di tanganku.
 
Entah apa lagi yang kukatakan dalam dialog dengan diriku sendiri itu. Semua kulakukan sambil mempermainkan dua butir mutiara tersebut di tanganku. Aksiku mulai lebih progresif, mutiara tak lagi hanya sekedar kupegang. Kumasukkan sedikit ke lubang hidung, sehingga tampak menggantung. Refleksi wajahku dengan mutiara di dua lubang hidung sedemikian rupa, bagiku sungguh terlihat sangat lucu.
 
Kutengadahkan satu telapak tangan di bawah hidung, lalu kuhembuskan nafas keras-keras. Mutiara jatuh ke telapak tanganku. Aku tertawa senang. Semakin semangat, kupasang lagi di lubang hidungku dengan sedikit lebih dalam, kuhembuskan lagi, dan aku pun tertawa senang lagi. Berkali-kali kulakukanm dan aku semakin semangat melakukan hal yang sejauh itu tampak membahagiakan.
 
Sampai ketika hanya satu butir mutiara yang keluar setelah nafas kuhembuskan. Sekali lagi kuhembuskan nafas dengan lebih keras. Tak berhasil. Satu mutiara yang masih menyangkut, keras kepala sekali tak mau keluar. Kuhembuskan sekali lagi! Lagi dan lagi! Lagi!!!
 
Duh, tak juga berhasil. Kukorek dengan jariku, alih-alih keluar malah semakin dalam si bandel mutiara masuk ke hidungku. Di puncak panik, aku keluar kamar dengan wajah hampir menangis.
 
“Ibu Titi!! Nggak mau keluar nih hikhikhik…,” kataku dengan cengeng kepada Ibu Titi yang sedang sibuk di dapur.
 
“Kamu kenapa?” tanya Ibu Titi yang kaget melihatku panik. “Apanya yang nggak mau keluar!?” Ibu Titi ikutan menjadi panik.
 
Ada sedikit drama pastinya, ketika aku harus menjelaskan apa yang sesungguhnya terjadi, sampai akhirnya Ibu Titi paham betul permasalahannya. Ibu Titi segera lari kekamarnya, mengambil saputangan yang lalu didekatkannya ke hidungku.
 
“Ayo, di-hik!!!” Ibu Titi menyuruhku.
 
Hik itu artinya menghembuskan hidung seperti kalau kita membuang ingus sekuat tenaga. Aku lakukan apa yang disuruh Ibu Titi. Berkali-kali, tanpa hasil. Tak sekalipun.
 
“Lebih keras lagi! Ayo lebih keras lagi!!!” Ibu Titi berkali-kali pula menyuruhku.
 
Karena tak juga aku berhasil mengeluarkan si mutiara, Ibu Titi lari ke dapur dan kembali dengan sebotol merica. Disuruhnya aku menghirup merica supaya bisa bersin. Diharapkan, bersin akan mendorong mutiara bandel itu keluar. Kulakukanlah sesuai arahan Ibu Titi. Hasilnya? Tidak ada sama sekali mutiara yang keluar dari hidungku. Ibu Titi pada akhirnya mengangkatku dan menggendongku. Membawaku dengan tergesa ke rumahku.
 
Saat itu aku memang masih kecil, tapi tak terlalu kecil untuk digendong dengan mudah dan juga tidak enteng. Kalau dipikir sekarang, Ibu Titi sebenarnya cukup menggandengku sehingga kami bisa lari bersama. Tapi, tidak, Ibu Titi memilih menggendongku. Setiap kali aku mengingat adegan itu, aku selalu merasa kehangatan kasih sayang Ibu Titi padaku, anak adiknya. Aku memang sudah bagaikan anaknya sendiri.
 
“Aat!!! Aat!!!” seru Ibu Titi memanggil nama Ibu-ku, bahkan sebelum kami memasuki pagar halaman rumahku.
 
Ibu yang mendengar suara kakaknya yang terdengar bercampur panik, segera muncul dari dalam kamar dengan cepat.
 
“Ada apa?” tanya Ibu dalam Bahasa Belanda dengan nada yang mulai ikut panik.
 
Ibu Titi menjelaskan secara singkat, dan segera drama aku dipaksa menghembuskan hik pun dimulai lagi. Berlanjut dengan mencium merica. Bulak-balik. Tidak berhasil juga. Sampai Ibu ikutan mencium merica untuk menguji keampuhannya, dan bersin berkali-kali padahal hanya dengan sekali hirup. Berhubung trik hirup merica tak berhasil padaku, maka diputuskan untuk membawa aku ke rumah sakit. Rumah sakitnya adalah yang sekarang bernama RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta.
 
Aku tak ingat detil perjalanan ke rumah sakit. Apakah Ibu yang menyetir mobil, atau kami menunggu sejenak sampai Ayah kembali dari kantor supaya bisa mengantar kami. Tempat kerja Ayah tak terlalu jauh dari rumah, dan masa itu di Jakarta tak ada kemacetan parah seperti di masa kini. Jadi, tak memakan waktu terlalu lama untuk Ayah bisa pulang ke rumah. Aku juga tak ingat apakah Ayah pulang untuk makan siang, atau karena Ibu yang menelpon sambil melaporkan tragedi yang terjadi padaku, dan meminta Ayah untuk pulang. Kami punya telepon kedinasan di rumah yang sentralnya berada di tempat Ayah kerja. Jadi, menelpon beliau bukan hal sulit bagi keluarga kami, meski pada masa itu masih sangat jarang rumah-rumah di daerahku yang mempunyai fasilitas telepon.
 
Kami tiba di rumah sakit yang bau karbolnya sangat tak nyaman di hidung dan di hati. Kami langsung ke IGD. Di ruang besar yang mempunyai bilik-bilik kecil berbatas tirai-tirai putih, aku dibawa masuk ke salah satu biliknya. Seorang dokter laki-laki sudah siap di dalamnya, ia lalu memeriksa lubang hidungku yang berisi mutiara.
 
Memakai senter sangat kecil, diperiksanya keberadaan dan posisi si mutiara. Lalu, dengan dua alat yang halus, dicongkelnya mutiara tersebut —aku masih ingat dinginnya pencongkel logam itu di dalam hidungku. Hanya dalam sekilas si bandel itu langsung keluar. Hebatnya! Barangkali semua proses itu hanya memakan waktu satu menit saja.
 
Karena tak ada tangan atau apapun untuk menadahnya, si mutiara pun langsung jatuh ke lantai. Kudengar kletikan bunyinya yang terdengar semakin lama semakin menjauh entah ke mana.
 
“Aduh, tunggu!!!” begitu aku ingin berseru pada si bulat bundar kecil bandel itu. Tapi, aku hanya bisa berkata setengah berbisik, “…mutiaranyaaa…”
 
Mendengar bisikanku, ibu melirik dengan pandangan tak percaya. Aku pasrah sajalah, mana mau Ibu apalagi dokter mencarikan mutiaraku yang sudah menghilang. Sang dokter terlihat lega karena misinya selesai dengan baik. Demikian pula Ibu.
 
Hidungku juga terasa lega, sementara hatiku agak sedih karena ditinggal sendirian oleh si mutiara, yang sempat mendekam di hidungku selama beberapa waktu. Dengan terpaksa ia kurelakan pergi…. =^.^= 
 
 
—Cikereteg, Desember 2024
 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.