MENUNTUT JAWABAN

MENUNTUT JAWABAN

“Udah berapa tahun kita gak ketemu, Bud?” tanya Sheyla.

“Kurang lebih 40 tahun,” jawab saya sambil menekuk-nekuk jari.

“40 tahun? Lama sekali ya...” desah Sheyla menggeleng-gelengkan kepalanya.

Yak, 40 tahun waktu yang sangat lama. Dan baru hari inilah kami ketemu lagi. Sheyla teman saya jaman dulu. Waktu itu saya masih tinggal di Bendungan Hilir. Orangnya cantik. Bapaknya Jawa dan ibunya Jerman.

Kami masih SMA waktu itu. Meskipun bersekolah di SMA yang berbeda, kami sempat berpacaran. Gak lama, sih. Cuma beberapa minggu kayaknya. Dan saya juga gak inget kenapa kami bisa putus secepat itu.

Pertemuan berlangsung di Citos. Saat pertama melihatnya, saya hampir tidak mengenalinya lagi. Begitu juga dengan Sheyla, dia nyaris tidak mengenali saya. Maklumlah kami berdua sudah uzur. Dari penampilan, cara berbicara dan lain-lain pastilah kami udah banyak berubah.

Ada satu momen yang pasti pernah dialami oleh semua orang. Ketika bertemu teman lama, kita merasa dia beda dalam segala hal. Anehnya, setelah kita berbicara beberapa menit, wajah teman yang kita kenal dulu, perlahan-lahan muncul kembali. Dan itulah yang terjadi pada kami.

“Lo jauh lebih ganteng sekarang daripada dulu, Bud.”

“Lo juga masih cantik. Badan lo masih langsing.” Saya mencoba mengimbangi.

“Itu artinya kita berdua menua dengan baik.”

Tanpa butuh waktu lama ice breaking terjadi. Kami bisa berbicara dengan lepas. Mengais-ngais kenangan masa lalu di Bendungan Hilir. Mengingat-ingat temen yang dulu nge-gank sama kita. Seru loh. Saya bersyukur sekali bisa ketemu anak ini. Thanks to TikTok yang udah mempertemukan kita.

“Lo inget gak kalo kita pernah pacaran, Bud?” Tiba-tiba suara Sheyla membuyarkan lamunan.

“Iya, inget, dong.”

“Lo tau gak kenapa kita putus?”

“Gak inget sama sekali. Ingatan gue rada menurun belakangan ini.”

Sheyla terdiam. Meraih juice tomat pesanannya. Sepertinya dia ingin mengatakan sesuatu namun ada yang menghambatnya.

“Lo bukan gak inget tapi emang gak pernah tau.”

“Oh ya? Kok bisa begitu?”

Sejenak Sheyla terdiam lagi. Kali ini cukup lama dia berdiam diri. Sampai akhirnya dia berkata, “Lo masih inget sama Icut? Nama lengkapnya Cut Mutia, inget, gak?”

“Iya, inget. Yang tinggal di flat komplek Angkatan Laut, kan?”

“Iya betul. Dia kan bestie banget sama gue. Dia yang punya ide gila itu.”

“Eh? Ide gila apa, Sel?” Saya mulai kebingungan.

“Dia bilang gini ‘lo serius pacaran sama Budiman?’ Gue jawab, ‘serius banget. I love him so much.’ Terus dia bilang gini ‘Iya elo serius tapi Budimannya serius gak?” Kita harus test dulu. Gue gak mau lo jatuh cinta sama orang yang salah. Gue gak mau elo disakiti.”

“Wah? Terus-terus?” tanya saya penasaran.

“Icut bilang, gue harus pura-pura minta putus sama elo. Menurut dia, kalo elo sedih, marah dan ngotot menolak putus, itu tandanya elo beneran sayang sama gue.”

“Heh? Jadi waktu lo ngajakin putus itu, lo lagi ngetest gue?” tanya saya takjub.

“Iya. Tolol ya gue..." sahutnya hampir tak kedengeran.

Saya menepuk-nepuk tangannya, "Gapapa, Sel. Anak SMA jaman dulu emang gitu."

Setan lewat. Keheningan terjadi beberapa puluh detik. Kami berdua terbawa pikiran masing-masing.

"Lo masih inget gak, di mana kita ketemuan waktu gue ngajak putus?”

“Inget, dong. Kita di Resto Tan Goei, Jalan Besuki, Menteng. Waktu itu ada live musiknya. Organ tunggal, penyanyinya orang Ambon, suaranya bagus banget. Kalo lagi break, dia suka ikut duduk di meja kita," tukas saya nyerocos.

Sheyla tersenyum manis sekali. Dan itu adalah senyum yang dulu sangat saya kenal.

“Nah, waktu gue minta putus, inget gak sikap lo gimana?”

“Gimana?” Sumpah saya gak inget sama sekali.

“Lo sama sekali gak tanya 'kenapa gue minta putus'. Lo cuma bilang ‘OK kalo itu mau lo.’ Udah gitu doang...”

Hati saya tercekat sendiri. Saya memang lupa. Tapi jawaban itu kedengerannya gue banget. Entah berapa kali saya diputusin sama cewe dan saya kebanyakan memang gak pernah tanya.

“Nah, sekarang gue mau tanya sama elo. Kenapa lo waktu itu gak tanya alasannya? Apa elo emang udah punya pacar baru? Atau emang udah punya rencana putus. Tolong dijawab. Puluhan tahun gue masih menyimpan pertanyaan ini.”

“Puluhan tahun? Sumpe lo, Sel???”

Demi Allah, saya keget bukan main. Saya merasa suasana ini terasa konyol sekali. Coba bayangin! Ada cewe bertanya, kenapa saya gak tanya alasan waktu diputusin 40 tahun yang lalu. Sekonyong-konyong terbersit sebuah pikiran yang spontan membuat saya bertanya.

“Emang dulu kita sempet ML?” tanya saya berhati-hati.

“Hihihihihi...boro-boro ML, ciuman aja kita gak pernah.”

Fuiiiih..leganya. OK, salah satu kecemasan bisa dicoret. Sekarang saya yang bingung, untuk apa dia menanyakan sesuatu yang udah lewat? Dan lewatnya lama banget pulak. Hampir setengah abad.

“Terus ngapain lo menanyakan itu? Peristiwa itu, kan, udah lama banget. Lo udah punya cucu, apa manfaatnya mengorek-ngorek masa cinta monyet kita?” tanya saya.

“Gue cuma terganggu aja. Icut juga bingung menganalisisnya. Katanya, sikap lo di luar dugaan dia.”

“Gue gak bisa mengingat apa yang terjadi 40 tahun yang lalu. Sorry, Sel,” jawab saya.

“Memori lo bagus banget. Coba diinget-inget lagi. Puluhan tahun gue dilanda penasaran. Gue mau tau apa yang ada di pikiran lo waktu itu. Please, Bud. Tolong dijawab,” sahut Sheyla lagi.

Kembali kami terdiam. Dia menuntut jawaban dan saya kebingungan. Beberapa lama saya terdiam dan berpikir harus menjawab apa. Buset, deh! Pusing gue. Pertanyaan guru aljabar aja gak sesulit ini rasanya. Ck...ck...ck.

“Kasih gue waktu. Gue pernah belajar hipnoterapi dari temen gue. Namanya Asep Herna. Dia pernah ngajarin gue bagaimana menggali ingatan di Bank Data di subconscious kita.” Akhirnya saya menjawab.

“OK, gue tunggu jawaban lo.” Kata Sheyla sambil berdiri, “Sementara lo mikir, gue pipis dulu.”

Abis ngomong gitu, Sheyla pergi ke toilet yang letaknya di pojokan. Saya langsung memesan bir dingin untuk menenteramkan diri. Sebotol bir dingin tandas tapi Sheyla belom dateng juga. Saya pun memesan sebotol lagi.

“Gimana? Udah dapet jawabannya?” Sekonyong-konyong anak itu udah sampe di samping saya..

“Iya, gue udah inget,” sahut saya sambil tersenyum. Sebetulnya saya tetap gak inget, jadi saya memutuskan untuk ngarang aja.

“Coba ceritain,” katanya duduk dan memandang saya dengan khusuk.

“Jadi begini, Sel. Waktu lo minta putus waktu itu, gue ngeliat muka lo gugup banget. Paras lo seperti ketakutan. Gue berpikir, pasti lo punya alasan yang gak bisa diceritakan."

Sheyla tidak memberikan respons. Sepertinya dia masih menunggu omongan saya.

"Lo kuatir gue nanya alasannya, padahal elo gak bisa mengatakannya. Akhirnya gue memutuskan untuk tidak bertanya. Gue merasa elo minta putus aja udah beban yang berat. Gue gak mau menambah beban elo. Itu sebabnya gue gak tanya.”

Jujur aja, saya merasa alasan itu gak masuk akal dan terlalu di buat-buat. Tapi anehnya, Sheyla tersenyum manis. Dia menepuk-nepuk tangan saya sambil berkata, “Gue udah duga itu jawabannya. Thanks, Bud. Lega, deh, gue sekarang.”

Kembali saya merasa surprise, “Emang lo percaya omongan gue?” tanya saya dengan tololnya.

Kembali anak itu tersenyum, “Seandainya lo bo’ong pun, gue tetap percaya, Karena itu keluar dari mulut elo. Dan rasa penasaran gue selama puluhan tahun teratasi. Plong banget rasanya. Thanks again, Bud.”

Tanpa disuruh otak saya kembali bekerja. Perkara sesepele seperti itu aja, bisa membuat pikiran Sheyla terganggu. Apalagi kalau saya sampai menyakiti hatinya. Ini pelajaran penting buat saya. Kita harus hati-hati dalam bersikap. Kita harus jaga perasaan orang yang dekat sama kita.

“Tapi ada peristiwa yang gue sangat suka waktu kita di Tan Goei itu.” Kembali lamunan saya buyar gara-gara omongannya.

“Oh, apa itu?”

“Sebelum pulang, lo nyanyi di panggung buat gue. Percaya gak? Gue sampe nangis terharu waktu itu.”

“Mosok, sih? Emang gue nyanyi lagu apa waktu itu?” tanya saya.

“Judulnya ‘Love’ dari Lyn Paul,” sahutnya lalu melanjutkan, "Sejak peristiwa itu lagu tadi jadi lagu kebangsaan gue sampe sekarang."

“Oh ya?” Sumpah saya lupa sama sekali momen tersebut. Tapi tentu saja saya ga bilang ke Sheyla.

“Anyway...gue pamit dulu. Bill kita udah gue bayar. Gue harus jemput cucu gue di Tumble Tots, Pondok Indah. Thanks, Bud.” Sheyla menyodorkan tangan mengajak salaman.

Setelah dia menghilang, saya tersenyum sendiri sambil menggeleng-gelengkan kepala. Lucu aja rasanya, ada aki-aki dan ninik-ninik, ngobrol serius tentang masa cinta monyetnya. Hahahahaha....

Eh, lagu 'Love' dari Lyn Paul itu yang mana ya? Hahahaha....tauk, ah!

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.