Main sekolah-sekolahan
Keluarga pindahan

“Mama, kita main sekolah-sekolahan yuk,” ajak Tara.
“Yuk!” jawabku singkat sambil meletakkan tumpukan cucian di atas tempat tidur.
“Mama jadi murid, Tara gurunya,” lanjutnya.
"Okay," sahutku lagi.
Sebenarnya aku tidak terlalu bersemangat untuk bermain karena rumah masih berantakan tapi untuk menyenangkan hati Tara, kuturuti kehendaknya.
Masih banyak yang harus dirapikan. Kami baru menetap belum ada dua bulan di rumah baru berlantai dua di kota London. Rumah dengan ukuran satu jendela dan satu pintu, rumah dempet yang nama kerennya Victorian terrace house. Halaman depan cukup untuk memarkir sebuah sepeda dan tong sampah. Tirai jendela ruang duduk selalu tertutup, untuk menghindari tengokan orang yang sedang berlalu lalang di depan rumah.
Tara sudah menyiapkan meja kecil sebagai kursi untuk muridnya duduk, di depan pintu lemari yang menjadi papan tulis imajiner dan poster peta dunia yang sudut-sudutnya dilekatkan dengan selotip ke daun pintu lemari sebelahnya. Dengan kaki menyila kududuk di atas meja kayu yang agak rendah itu. Sekarang kami sama tinggi.
Guru cilik yang berusia enam tahun itu memulai kelasnya dengan kalimat pembukaan “Sebutkan tiga negara yang paling kamu sukai di dunia”.
“Perancis, Italia dan Amerika” jawaban cepat keluar dari mulutku.
“Kenapa?” tanyanya.
“Perancis romantis. Italia orangnya ganteng-ganteng dan makanannya enak-enak. Amerika banyak yang bisa dilihat” jawabku sekenanya.
“Sekarang sebutkan tiga negara yang kamu kurang sukai” lanjut sang guru.
“Mmmmm" pikirku agak lama, “Malaysia, Filipina dan Singapura. Malaysia dan Filipina karena terlalu mirip dengan Indonesia, tidak ada yang baru untuk dilihat. Singapura karena tidak terlalu banyak yang bisa dilihat di sana.” Aku menerangkan tanpa menunggu pertanyaan guru.
“Bagaimana dengan negara Inggris?” tanyanya kembali.
Pertanyaan yang pelik. Sulit untuk menutupi perasaan hatiku yang sebenarnya. Pada saat segalanya mengenai Inggris kubenci. Kubenci udaranya, Kubenci dinginnya orang Inggris. Kubenci membersihkan WC. Kubenci status pengangguranku. Kubenci menenteng belanjaan beras dan susu dari pasar tanpa mobil dan supir. Kubenci rumah ini. Kubenci negara ini. Kubenci kepindahan ini.
Sang guru cilik menunggu jawabanku.
“Inggris juga menarik. Banyak museum, teater dan taman-taman di mana kita bisa bermain” itu yang bisa keluar dari mulutku.
Sukar mencari apalagi yang menyenangkan mengenai negara ini.
“Apakah kamu sayang pada ibumu?"tanya sang guru tiba-tiba.
“Iya. Tentu saja, aku sayang pada ibuku,” jawabku atas pertanyaan yang tidak berhubungan tersebut.
Terasa degup jantungku berpacu cepat. Pertanyaan ini terlalu dekat di hati namun jauh dari pikiran.
“Kalau kamu sayang pada ibumu, mengapa kamu tinggalkan ibumu?” tanyanya kembali.
Si monyet kecil ini ternyata merasakan kesedihanku, dan ingin mencari tahu apa yang menjadi bahan pertimbangan kepindahan keluarga. Dan sekarang ia mendudukkanku untuk berbicara.
Apakah mungkin Tara dapat melihat perubahan warna mukaku, atau degup jantungku yang terasa menggetarkan dada. Untung aku memakai tiga lapis baju tebal di musim dingin ini, sehingga degupan keras jantungku teredam. Mudah-mudahan cahaya dari langit mendung yang masuk lewat jendela kamar tidur dapat menutupi perubahan air mukaku.
Aku mencoba menjawab setenang mungkin “Karena ada pekerjaan untuk Daddy di London. Dan kita kan dapat tetap mengunjungi granny tiap tahun”.
“Tara, Mama masih harus membersihkan rumah, dan menyiapkan makan siang” kataku menutup sesi kelas pagi ini. Menutup pembicaraan dan perasaan yang menggantung.
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.