Jangan Ada Idul Adha Di Antara Kita

Jangan Ada Idul Adha Di Antara Kita
Image by pixabay.com

“Ambil tusukan satenya di atas kulkas ya!”
“Apalagi bos?”
“Arangnya tolong nyalain juga!”
“Ih Bapak, masa aku semua sih.”
“Ya kalau yang lain dengar pasti handphonenya disimpan semua.”

 

Hahaha, tiba-tiba semua saling bertatapan. Sepakat untuk simpan handphone lalu masing-masing ambil bagian.

Aku bertugas siapkan bumbu bakar satenya. Teh Hani bagian potong dagingnya lalu Kang Deni yang siapkan bakarannya.

Lalu Bapak sama Ibu tugasnya apa?. Tugasnya adalah ngomel dan nyindir kami yang datang ke Bandung setahun sekali tapi malah sibuk dengan handphone masing-masing.

 

“Bu, ibu lagi apa?”
“Lagi rebahan sebentar Pak.”
“Lah, yang lain gerak sekarang malah ibu yang rebahan.”
“Hahaha, bercanda lah Pak, ini siapin teh tubruk sama goreng kerupuk kesukaan anak-anak.”
“Emping Bu?”
“Jelas bukan dong Pak, kalau ibu goreng emping, habis makan-makan antar bapak ke rumah sakit.”

 

Bapak punya penyakit asam urat, banyak pantangan. Tapi dasar Bapak, sukanya nantangin penyakit.

Apalagi saat ini semua anaknya tidak ada satupun yang tinggal di Bandung, hal ini jelas menjadi kesempatan Bapak untuk makan semua pantangan tanpa mendengar omelan anak-anaknya.

 

Melihat aura Bapak sama Ibu yang tertawa melihat kami di Bandung, kami bahagianya luar biasa.

Kata Bapak, saat seperti ini sangat dinantikan Bapak, bukan karena bertemu kami tapi karena dengan berkumpulnya kami, maka Ibu akan masak semua masakan kesukaan Bapak.

Dengan dalih untuk menyambut kami, yang ada Bapak yang akan berulangtahun untuk habiskan semua sajian Ibu, tinggal kami saja yang berdoa semoga asam urat Bapak tidak kambuh.

 

Kang Deni mulai berulah.

 

“Tahu, tahu apa yang warnanya kuning?”

“Den, cing atuh sing pinter saeutik. Kabeh tahu mah koneng.”
 

Semua tertawa, bukan untuk pertanyaan Kang Deni, tapi untuk penilaian Bapak untuk Kang Deni.

 

“Tebak atuh. Meh rame!”
“Tahu Cibuntu”. Teh Hani mencoba menjawab.

“Salah.”

“Tahi Kotok.”
“Hahahaha, tahi kotok mah coklat atuh.”

“Nyerah, nyerah lah Kang.”
“Tah, huntu maneh koneng.”

 

Bapak menutup mulutnya, lalu ambil kaca. Sambil meringis bapak bergumam, eh geuning huntu Bapak teh koneng.

 

“Makanya Pak, bersihin yang bener. Gigi asli, gigi palsu malah warnanya ikutin partainya Bapak.

“Untung Bapak partainya Golkar, coba kalau PDI-P atau PPP.”

 

Wangi bakar daging yang dikipasin Kang Deni sudah mulai tercium. Satu persatu tusukan berwarna coklat kehitaman berjejer rapi di piring yang disiapkan Ibu.

Ibu sibuk sendiri di dapur. Kata Ibu, silakan kalian sibuk di luar, biar ibu tidak diganggu.

 

Ibu ini luar biasa memang. Tidak  ada masakan yang bisa menandingi masakan Ibu. Tercium aroma bawang yang menyengat, aku siap-siap menuju dapur.

 

“Hey, duduk!”

“Ih Bapak, wangi ini.”
“Bapak bilang duduk, kalau kamu ke dapur, bawang goreng Ibu cepat habis kamu gado. Toples Kerupuk emping ga bakal penuh-penuh, kamu cocol ke sambal goangnya Ibu.”

“Yah Bapak, sakaw  ini Pak.”

 

Bawang goreng ibu ini tipis, garing dan gurih. Kalau yang lain nonton makannya pop corn, kalau aku bawang goreng buatan Ibu aku camilin.

 

“Kamu itu, kalau makan bawang suka ga kira-kira. Awas bau badan ah.”
“Oh tentu tidak, aku mandinya kan berjam-jam Bu.”

“Kamu itu kalau dibilangin, ada saja jawabannya.”

 

Teh Hani sudah selesai siapkan bumbunya, sekarang giliran aku melumuri sate buatan Kang Deni untuk dicampur di bumubu buatan Teh Hani.

 

“Aku ke dapur ya, bantu ibu sekalian siapin Es Doger.”


“Tuh, liat Teh Hani paling pintar pilih menu. Panas begini makan es doger sudah paling maknyus masuk ke mulut.”

“Teh Hani lagi Teh Hani lagi, puji aku sekali aja atuh Pak!”

“Apa yang mau Bapak puji, hobinya makan sama tidur.”

“Eh Bapak, jangan salah. Aku itu pejuang untuk Indonesia.”
“Pejuang dari mana ari kamu.”
“Pejuan Corona Bapak, dengan rebahan aku ikut meminimalisir peredaran virus Covid di Indonesia.”
“Kumaha dinya ah.”

 

Aku bahagia, walaupun kami sekarang berjauhan tak membuat kami saling melupa diri. Satu sama lain selalu berusaah untuk bertemu. Walau hanya sebentar, kata Bapak kami wajib bertemu di Jakarta walau Bapak dan Ibu tidak ada.

 

“Kalian ini merantau, tapi di satu kota yang sama. Jangan memikirkan Bapak sama Ibu, jaga diri kalian baik-baik, selalu berkomunikasi dan jangan terlalu sibu sama urusan sendiri hingga lupa bahwa kalian bersaudara.”
“Iya Pak Sastroooooo.”

 

Kami ingat terus kata-kata Bapak.

 

“Han, Den ayok kumpul. Masakan Ibu sudah siap, sate sudah siap, Es Doger sudah siap, apalagi ya?”
“Abdi Bapak, teu diabsen.”
“Hahahahaha, iya lupa anak bungsu Bapak tidak diabsen, sini geulis duduk dekat Bapak. Bapak kangen jahilin kamu.”

 

Tak terasa air mata menetes, kalau saja Mas Bram tidak bangunkan aku tentu aku sedang asik bercanda sambil habiskan bawang goreng buatan Ibu.

 

“Ambil wudhu sana, kita tahajud lalu berdoa buat almarhum Bapak dan Ibu. Sebentar lagi kita siap-siap masak buat keponakanmu, biar tidak buru-buru saat Shalat Idul Adhan anti.”
“Aku tidak mau, aku tidak mau shalat Ied. Aku benci lebaran.”
“Hey tidak boleh begitu sayang. Doakan Bapak dan Ibu, semangat terus kan ada aku dan anak-anak yang selalu menunggu semangat kamu, menunggu masakan kamu dan selalu menunggu hari-hari indah Bersama walau Bapak dan Ibu tidak lagi Bersama kita.”

 

Aku menarik nafas, dalam lubuk hati terdalam.

“Ampuni segala dosa Bapak dan Ibu ya Allah. Kumpulkan kami kelak di Surga-Mu.”

 

 

 

Bandung, 31 Juli Agustus 2020

 

 


 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.