SECOND WIND

“Aduh gue capek, Bud. Istirahat, yuk?” keluh Muji dengan suara ngos-ngosan.
“Capek itu cuma ada di pikiran. Kalo lo mulai merasa capek berarti, secara fisik, lo masih bisa jalan 10 Km lagi,” sahut saya membesarkan hatinya.
"Rumus darimana, tuh, Bud? Ngarang lo, ah!"
"Yeee, waktu muda, kan, gue pecinta alam."
Sebelumnya Muji Emang jarang berolahraga. Tapi begitu kena sakit pinggang, dokter menyuruhnya jalan pagi, setiap hari, minimal 30 menit. Biar ada temen, dia ngajak saya jalan bareng dia. Saya langsung setuju. Jadilah di minggu pagi itu kami berdua berjalan kaki menyusuri jalan setapak dari kampung ke kampung di lingkungan rumah.
“Emang lo gak capek, Bud?” tanya Muji lagi.
“Gue capek sebenernya tapi tadi udah dapet second wind.”
“Second wind? Apaan, tuh?”
“Seperti gue bilang tadi, kalau kita mulai capek sebenernya itu cuma ada di pikiran. Begitu kita paksain jalan, tau-tau capek kita ilang. Kita seger lagi. Kita kuat lagi. Orang-orang pecinta alam biasanya bilang ‘second wind’”.
“Oh begitu. Baiklah kita jalan lagi.”
Jalan pagi di jalan-jalan kampung buat saya menyenangkan. Ada banyak jajanan yang bisa kita lahap sehabis olah raga. Ada kupat sayur, nasi pecel, bubur ayam dan banyak lagi.
“Eh, omongan lo menjadi kenyataan, Bud. Gue gak begitu capek lagi. Gue dapet second wind,” teriak Muji dengan suara gembira.
"Alhamdulillah. Keren lo, Ji."
Seakan ingin membuktikan omongannya, Muji berlari dengan cepat meninggalkan saya jauh di belakang. Saya tetap berjalan dan membiarkan dia pergi.
Sesampainya di pengkolan jalan, saya liat Muji sedang berhenti posisi menunduk seperti posisi ruku. Napasnya memburu. Mukanya pucat karena letih teramat sangat.
“Capek banget gue, Bud. Mau mati rasanya,” katanya dengan suara tersengal-sengal.
“Elo juga ngapain lari. Kalo mau kuat, kita harus berjalan secara konstan. Tidak melambat dan tidak mencepat. Napas lo harus sinergi dengan langkah lo. Gue jamin lo gak cepet-capek,” sahut saya sambil berjalan meninggalkan dirinya.
“Woy, tungguin, Bud! Woy, kita istirahat dulu, yuk?” teriaknya.
Saya tidak peduli dan terus melangkah. Muji pun terpaksa mengikuti dan berjalan di sebelah saya. Langkah demi langkah, pengkolan demi pengkolan, sapaan basa-basi pada penduduk setempat kami lalui.
“Weits, keren! Gue dapet second wind yang kedua, Bud!” teriak Muji.
“Heh? Second wind yang kedua? Maksud lo???” tanya saya kebingungan.
“Tadi kan gue capek terus dapet second wind, ilang capek gue. Nah, gara-gara lari tadi, gue capek lagi. Sekarang capeknya ilang lagi, berarti gue dapet second wind yang kedua, kan?”
“Hahahahahahaha.....” Tawa saya sekonyong-konyong menginterupsi langkah kami. Tawa spontan yang begitu lantang sehingga penduduk kampung pada nengok ke arah kami.
“Kok lo ketawa, Bud? Apa yang lucu?”
“Emang second wind artinya apa?”
“Kalo gue analisa dari konteksnya, 'second wind' artinya ‘tenaga baru’ kan?” kata Muji.
“Hahahahaha...iya, deh. Yuk, kita jalan lagi,” kata saya sambil melangkahkan kaki kembali.
Gak lama kemudian kami sampai di sebuah warung. Di sana Muji menyantap pecel pincuk dan saya memangsa kupat sayur dengan ganas. Setelah kenyang, merokok dan ngobrol-ngobrol sejenak, Muji mengajak jalan lagi.
“Semangat amat lo, Ji? Makanan di perut juga belum turun,” protes saya.
“Ayolah, Bud. Abis makan gue kayaknya dapet second wind yang ketiga, nih...” katanya.
“HAHAHAHAHAHAHAHAHA....
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.