Setangkup Kebahagiaan di Shantang Street

Setangkup Kebahagiaan di Shantang Street
Shantang Street

Jelang akhir Desember 2017 hingga awal tahun 2018, kami sekeluarga menghabiskan liburan ke negeri tirai bambu,  China. Meski diawal menjejak kami disambut dengan udara yang sangat dingin minus 8 derajat Celcius tapi kami memiliki pengalaman baru yang seru.

Beijing adalah kota pertama yang kami kunjungi. Liburan kali ini, selain membawa dua anak remaja laki-laki, kami juga membawa putri kembar kami yang saat itu usianya belum menginjak 6 tahun. Kebayang kan...bagaimana rempongnya. Aku dan suami memutuskan untuk membawa anak-anak karena menyadari kelak ketika mereka dewasa dan memiliki kehidupan masing-masing akan sulit diajak liburan bersama.

Dari satu kota berpindah ke kota lain. Hingga suatu hari kami tiba di Suzhou. Ada sebuah kisah manis yang kutinggalkan di kota itu.

Kami masih berada disepanjang Shantang Street menunggu bus pariwisata yang akan membawa kami ke obyek wisata lain. Ketika itu seorang ibu tua mendekatiku sambil menawarkan barang dagangannya berupa mainan anak-anak. Sekilas aku melemparkan pandangan ke benda-benda yang ada ditangannya dan jujur...aku sama sekali tidak berminat membelinya. Hanya mainan dari kayu sederhana yang mungkin sekali remasan tangan akan hancur, jadi menurut hematku buat apa membeli barang yang mudah rusak. Malahan aku berpikir, jangan-jangan ibu tua ini adalah bagian dari sindikat penculikan manusia. Pura-pura menawarkan dagangan tapi komplotannya sudah menanti, menunggu mangsanya lengah supaya bisa segera melaksanakan niat jahatnya.

Ibu itu terus mendekatiku dan terlihat sedikit memaksa untuk membeli barang dagangannya. Aku tidak paham dengan bahasanya, walau aku sudah menggunakan bahasa isyarat dengan menggelengkan kepala tanda aku tidak tertarik untuk membeli tapi ibu itu seolah pantang menyerah.

Kemudian kupanggil tour guide lokal yang bernama Ai Ling yang fasih berbahasa Indonesia untuk menjembatani komunikasi antara aku dan ibu tua tadi.

"Ai Ling, tolong bilang ke ibu ini bahwa saya tidak berniat membeli barang dagangannya," pintaku setengah memohon. Sebenarnya saat itu hatiku diliputi ketakutan sendiri. Biar bagaimana pun ini negeri orang wajar kalau meningkatkan kewaspadaan. Lalu aku menjauh beberapa meter dari tempat Ai Ling dan ibu itu berdiri. Entah apa yang mereka perbincangkan.

Aku lantas memegang putri kembarku dengan erat karena entah mengapa perempuan tua tadi selalu memandangi mereka sedari tadi. Suamiku lantas berkata,"Ma...beri saja beberapa Yuan ke ibu itu, tidak perlu mengambil barang dagangannya." Segera saja aku mendekati Ai Ling memberikannya beberapa Yuan untuk disampaikan kepada perempuan tua itu. Setelahnya aku bergegas kembali ketempatku berdiri bersama suami dan anak-anakku.

Tiba-tiba Ai Ling menghampiriku sambil membawa dua buah mainan untuk si kembar dan kembalian dari uang Yuan yang tadi kuberikan. Ai Ling pun berujar," Ini mainan untuk si kembar dan ini kembaliannya. Harganya semua 4 Yuan." Aku menatap gamang mainan dan uang kembalian ditangan Ai Ling. Maksudku tadi memberikan uang kepada ibu tua itu dan tidak perlu ditukar dengan mainannya. 

Ai Ling kemudian melanjutkan kalimatnya," Maaf, ibu itu bilang, dia tidak terbiasa menerima uang secara cuma-cuma. Tangannya harus menghasilkan sesuatu untuk mendapatkan uang." Detik itu juga perasaanku campur aduk, entah mau bersikap bagaimana. Ya.....mungkin aku kebanyakan nonton film-film Hollywood yang berkisar seputar penculikan orang. Tanpa sadar aku jadi paranoid.

"Hanya saja ibu itu meminta untuk diijinkan memandang si kembar dari tempat dia duduk disana," ujar Ai Ling sambil menunjuk ke arah perempuan tua itu duduk. Ya Tuhan....ternyata dia menyadari ketakutanku sehingga ia tidak berani mendekat lagi. Lalu kuperhatikan ekspresi wajahnya saat memandangi si kembar. Ia tertawa kecil saat melihat polah si kembar namun tiba-tiba ia terdiam dan menatap dengan sendu. Otakku berusaha mencerna pemandangan sore itu di Shantang Street dan bertanya-tanya dalam hati, mungkin si kembar membangkitkan memorinya tentang sesuatu. Barangkali seseorang yang sangat dekat dihatinya. Sejenak kami beradu pandang dalam diam lalu ia menyunggingkan segaris senyum tulus yang tiba-tiba menghangatkan ruang hatiku. Mungkin itu adalah caranya berterimakasih karena diijinkan memandangi si kembar.

Tak lama kemudian bus yang kami tunggu akhirnya tiba.Kami pun bergegas naik dan pelan-pelan bus berjalan meninggalkan Shantang Street. Aku menatap dari kaca jendela tempat aku duduk, perempuan tua tadi berdiri dari tempat duduknya, tersenyum, dan melambaikan tangannya kearah si kembar dan dibalas hangat oleh putri kembarku. Aku masih melihatnya disana sampai ketika bus berbelok kesebelah kanan jalan diiringi butiran salju yang mulai turun.

Begitu membekasnyakah si kembar di hatinya ? Sehingga ia rela menunggu sampai bus benar-benar meninggalkan Shantang Street.

Ternyata memberikan kebahagiaan kepada orang lain bisa sesederhana ini. Kutinggalkan kenangan manis di kota itu. Entah kapan bisa kembali menjejak disana. I left my heart in Shantang Street.

Suzhou, awal Januari 2018

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.