Selada Padang dalam Kenangan Masa Kecil

Selada Padang dalam Kenangan Masa Kecil
Repro dari buku Masakan Adat Kotogadang dan Penyajiannya
 
Ibuku tak terlalu pandai masak. Tapi, dibandingkan dengan aku, menurutku Ibu itu bukan main sih dalam hal masak memasak. Tak hanya masak untuk makan sehari-hari, tapi Ibu juga mampu mempersiapkan makanan untuk kumpul keluarga. Keluarga dari pihak Ibu dulu punya kebiasaan kumpul-kumpul kalau ada yang berulang tahun.
 
Bila yang berulang tahun adalah anggota keluarga batihku, dirayakannya tentu di rumah kami. Makanan besarnya biasanya campuran antara masakan Ibu dan makanan belian. Yang terakhir umumnya mi goreng kesukaan Ibu, sate ayam, dan tentunya kue ulang tahun untuk dinyanyikan bersama. Makanan yang dimasak oleh Ibu biasanya adalah ayam goreng ungkep, bakso kuah, emping goreng, dan selada.
 
Hebat lho Ibuku ini! Dalam mempersiapkan masakan untuk sekitar 40-an orang begitu, kadang tenaga bantuannya hanya aku seorang—berhubung aku anak perempuan satu-satunya. Padahal, aku cukup hopeless dalam urusan masak memasak, jadi, ya begitulah...
 
Spesialisasi bantuanku adalah dalam hal membuat selada. Kuduga, terlalu rumit bagi Ibu untuk mengajariku memasak ayam ungkep atau baso kuah, atau apapun selain selada. Merujuk bahwa aku sangat tak bisa diandalkan dalam hal membantu Ibu untuk mengolah rendang, yang hanya perlu rajin mengaduk wajan selama beberapa jam. Dengan demikian, wajarlah bila Ibu menganggap aku tak dapat diandalkan untuk diajak bersusah-susah di dapur.
 
Membuat selada itu secara umum sangat mudah. Yang paling sulit adalah membuat keripik kentangnya. Itu saja. Menggoreng irisan tipis kentang memakan waktu yang lama. Panas minyak goreng harus tepat pada saat irisan kentang mentah dimasukkan ke penggorengan. Api juga tak boleh terlalu besar atau terlalu kecil.
 
Saat proses menggoreng, harus sering diaduk biar irisan kentang tak saling menempel saat matang—kalau tidak begitu bisa-bisa matangnya jadi tak rata. Waktunya juga tak sebentar untuk kentang menjadi keripik yang renyah. Harus pula tepat waktu untuk mengangkatnya dari penggorengan. Warnanya juga harus pas coklat keemasan. Kalau terlambat sedikir, gosonglah dia. Duh, ribed! Itu urusan Ibu sajalah!
 
Bagianku dimulai dengan mencuci ketimun dan daun-daun selada—serta tomat merah bila diinginkan. Ketimun dikupas, dan diiris-iris tapi jangan terlalu tipis. Boleh lurus, bisa juga serong. Terserahlah itu. Dalam buku Masakan Adat Kotogadang dan Penyajiannya, yang diterbitkan oleh Ikatan Ibu-ibu Kotogadang (2114), disebutkan bahwa irisan ketimun lalu dilumuri garam dan cuka. Sementara, aku tak punya kenangan pada bagian ini. Mungkin tergantung kebiasaan masing-masing dapur saja ya itu.
 
“Yang benar ya mencuci daun seladanya,” Ibu kerap mengingati aku dengan bawelnya soal yang satu ini. “Kalau tidak bersih, cacingan nanti orang-orang.”
 
Biasanya, aku agak tersinggung karena merasa sudah tahu betul caranya, dan merasa selalu sudah melakukannya dengan baik dan benar. Pastilah pencucian akan kulakukan sampai semua tanah melarut bersama air. Masa dahulu, daun selada dibelinya di pasar, kotornya bukan main. Berbeda dengan yang kemudian dapat diperoleh di supermarket, meski tak janji juga apakah sudah steril atau tidak.
 
Pulang dari pasar sampai di rumah, daun selada yang masih menempel pada batangnya tak Ibu simpan di kulkas. Melainkan, setelah dicuci sedikit, ditegakkan di dalam ember atau baskom berisi air. Persis seperti cara orang menempatkan bunga di vase. Baskom atau ember ini lalu disimpan di kamar mandi. Supaya tak terciprat air sabun, diletakannya di pinggir bak mandi.
 
Sayang, aku tak pernah bertanya pada Ibu apa alasannya dalam menyimpan daun selada secara demikian. Adakah yang tahu?
 
Setelah dicuci bersih dan diguyur dengan air matang—cara yang sama kulakukan juga pada ketimun—daun-daun selada ditiriskan sejenak supaya tak terlalu basah. Sebagian lalu aku iris-iris.
 
Merebus kentang dan telur juga merupakan tanggung jawabku—dunia masak memasakku sampailah kalau hanya ke tingkat rebus merebus. Kentang rebus setelah cukup dingin, kukuliti. Aku melakukannya dengan bantuan pisau dan garpu. Garpu diperlukan karena biasanya si kentang rebus masih terlalu panas untuk dipegang. Dengan cara, kentang diletakan di talenan lalu garpu di tangan kiri kutusukkan ke kentang. Pisau di tangan kanan membantu melepas kulit kentang yang tipis itu dengan mudah.
 
Kalau menurutku kentang terlalu besar, maka kubelah dahulu. Nah, terbukti kan bahwa kentang rebus itu masih panas. Setelah terbelah ia akan mengepulkan asap meski tak seriuh asap di tukang sate. Kondisi kentang yang terbelah, sungguh memudahkan dalam proses mengulitinya. Tapi, yang tak kusukai dari pemakaian garpu ini adalah, tusukannya melukai daging kentang sehingga tak elok jadinya—halah, siapa juga yang memperhatikan lubang-lubang kecil berjumlah empat buah itu!? Apalagi setelah kentang dipotong-potong.
 
Kentang dipotong dadu. Atau, seselera yang memotongnya. Kalau aku, tergantung mood sajalah. Sedang malas atau tidak, ingin memakai waktu lebih lama di dapur atau tidak. Kupastikan saja bahwa potongannya tak terlalu besar.
 
Sampailah kini cerita kita di telur. Proses menguliti telur entah mengapa selalu penuh dengan kejutan. Kadang, dengan mudahnya kulit telur dan membrannya terlepas mulus. Tapi, sering-sering si putih telur sampai bocel-bocel bagaikan permukaan bulan. Ada tips bahwa telur rebus sebaiknya direndam dulu di air dingin agar mudah mengupasnya dan rapih hasilnya. Huh, teori saja itu! Buktinya sama saja hasilnya hahaha…
 
Selesai telur dikupas, lalu semua, baik yang kupasannya mulus maupun yang bocel-bocel, dibelah. Kuning telur kupisahkan dahulu, dikumpulkan menjadi satu di tempat tersendiri. Kupastikan wadahnya tertutup, supaya tak disambar kucing; atau dihampiri cecak, lalat, atau lainnya.
 
Putih telurnya kemudian aku iris-iris membujur dan agak tipis. Kalau sedang bahagia, aku mengirisnya agak tebal lalu mengirisnya sekali lagi secara melintang. Hasil akhirnya adalah putih telur kotak-kotak kecil yang seru dan lucu. Melihat hasilnya, semakin bahagia saja hatiku jadinya.
 
Kutinggalkan sejenak putih telur kotak-kotak kecil yang seru dan lucu itu. Kuraih mangkuk tempat kuning telur tadi kusimpan. Bagian yang paling seru dari proses membuat selada à la chef Nina ini akan segera dimulai!!!
 
Garpu kuambil lagi—cukup yang tadi kupakai untuk menusuk kentang. Kugunakan garpu itu untuk nenghancurkan kuning telur. Proses menghancurkan ini buat saya sangatlah menarik hati! Si kuning telur yang berwarna campuran kuning dan abu-abu kubejek sampai menjadi seperti tepung tak halus. Tapi, kuberi tahu ya, yang paling mengagumkan buat saya adalah apa yang terjadi pada langkah berikutnya.
 
Kuraih botol kecil plastik berwarna keputihan. Isinya: cuka masak. Dengan hati-hati kutuang cuka itu ke sendok makan, sebelum kusiram ke bejekan kuning telur. Harus kupastikan jumlah cukanya sesuai dengan kebutuhan. Lalu, kusiram si cuka ke bejekan kuning telur sampai menjadi pasta yang bagus.
 
Hmmm..., kalau kupikir-pikir sekarang ini, hebat juga ya bahwa aku yang masih kanak-kanak dan tak bisa masak, dapat menghasilkan pasta dari kuning telur yang pas rasanya.
 
Pasta itu juga kuberi garam, lada putih bubuk, dan sedikit gula. Ada juga yang mencampurinya dengan bawang merah goreng. Entah apakah aku dulu melakukannya juga atau tidak, aku tak ingat. Kalau ya, maka berarti bawang goreng itu hasil gorengan Ibu. Bukan aku. Menggoreng bawang merah iris itu sebelas dua belas repotnya dengan menggoreng irisan kentang. Kegiatan goreng menggoreng itu semua bukan bagianku kalau tak mau hasilnya gosong. Aku cukup rebus merebus sajalah.
 
Aku pernah dengar bahwa ada juga yang mencampurkan lelehan margarin ke pasta kuning telur. Saat iseng mencari tahu tentang selada ini di internet pun, kutemukan banyak resep yang menyebutkan pemakaian lelehan margarin. Sementara, aku sendiri tak ingat pernah memakainya atau tidak.
 
Seorang sepupu-jauh-tapi-dekat yang jago banget masak—Winda namanya—punya cara lain yang ampuh untuk 'menggemburkan' rasa saus kuning telur. Caranya adalah, mencampurinya dengan sedikit mayonnaise.
 
"Menurut selera gue, mayo bakal ngerusak rasa deh," protesku ke Winda.
 
Tapi, Winda rupanya pandai menyembunyikan rasa si mayo, yang menurutku sering menimpa rasa asli sebuah masakan. Resep rahasia Winda yang kubeberkan di sini ternyata bisa tuh tak merusak rasa khas selada kesayanganku ini. Rasa segarnya tetap terjaga.
 
Bagiku, rasa segar untuk selada kita ini sangatlah penting. Tahu tidak, ketika aku mendengar atau memikirkan kata segar, sering-sering tak terasa kuasosiasikan dengan selada ini.
 
Dipikir lagi, mayonnaise kan memang terbuat dari prinsip serupa ya. Merupakan campuran kuning telur, minyak, dan cuka atau jeruk nipis. Jadi, mungkin itu sebabnya rasanya bisa selaras dan kesegaran racikan selada tetap terjaga.
 
Dari tadi aku menyebutnya hanya sebagai selada saja. Karena, dari semula memang hanya itu nama yang kutahu. Ibu tak pernah menyebut kata lain selain kata selada. Sampai pada suatu hari, setelah aku dewasa, di acara kumpul-kumpul di rumah seorang kerabat kutemukan selada ini terhidang di antara hidangan-hidangan lainnya. Astaga, entah sudah berapa dekade aku tak pernah lagi membuat dan memakannya. Rindu sekali!
 
“Wah ada selada Padang,” tiba-tiba Sita, salah satu kerabatku, berseru di sampingku, sebelum aku sempat mengucapkan kegiranganku.
 
Dengan mulut agak menganga aku memandang Sita. Tak hanya karena selama itu aku berpikir bahwa selada tersebut adalah selada khas keluarga besar Ibu, tapi juga bahwa ternyata si selada ada nama panjangya.
 
Sejak itu, aku berkesimpulan bahwa selada Padang adalah makanan khas Kotogadang, kampung Ayahku dan orang tua Sita. Apalagi, Ikatan Ibu-ibu Kotogadang memasukan juga selada ini ke dalam buku masakan adat Kotogadang yang sudah kusebut sebelumnya. Bersanding dengan masakan adat Kotogadang lain semisal gulai itiak (bebek cabai hijau) dan kue ruok atau taruok. Pada buku itu, namanya hanya tercantum sebagai 'selada', sebagaimana Ibu dulu selalu menyebutnya. Bukan selada Padang.
 
Lalu, kenapa namanya jadi selada Padang? Dari manakah asal penamaan itu?
 
"Kalau gue taunya namanya selada kampuang," jawab Winda waktu kutanya—kampuang itu bahasa Minangkabau, artinya kampung.
 
Winda dan Sita sama-sama tak pasti apakah selada ini adalah makanan khas Kotogadang atau bukan. Maka, aku lalu bertanya ke internet. Pertanyaan-pertanyaan seperti ‘selada Padang asli dari mana’, ‘asal-usul selada Padang’, dan seterusnya; hanya menghasilkan berbagai link ke resep-resep selada jenis ini.
 
Kini, aku tak lagi yakin bahwa selada Padang adalah makanan asli Kotogadang. Semakin tak yakin saja karena temanku Andung, yang orang tuanya dari daerah Maninjau, Sumatra Barat; juga akrab dengan selada Padang. Katanya, ia biasanya memakai emping sebagai topping-nya. Bukan keripik kentang. Barangkali, pemakaian keripik kentang ini yang merupakan gaya khas Kotogadang ya. Namun, aku tak yakin juga. Hahaha, menduga-duga terus deh dari kemarin.
 
Dalam hal penyajian selada Padang di acara makan-makan prasmanan keluarga, aku menggunakan schaal (piring) besar. Bulat atau lonjong, sesukaku saja. Lembaran-lembaran daun selada yang utuh kususun mengikuti bentuk pinggiran schaal.
 
Saus yang terbuat dari pasta kuning telur tadi, kucampurkan dengan irisan putih telur. Disusul dengan keripik kentang. Pada wadah lain, irisan ketimun dan daun selada kucampur jadi satu. Setelah tercampur rata, kumasukkan campuran pasta atau saus kuning telur tadi. Aduk lagi sampai merata lagi.
 
Setelah siap, kupindahkan campuran itu ke schaal yang telah menunggu cantik dengan susunan lembaran utuh daun-daun seladanya. Dirapihkan, ditaburi kentang goreng lagi, dan kalau mau ditambahkan tomat merah yang diris-iris tak putus. Lalu, dengan bangga kuletakkan schaal berisi selada Padang itu di meja makan.
 
Mengenang tentang selada Padang ini, tak hanya membuatku kangen pada Ibu. Tapi juga, tentunya, dengan selada Padang itu sendiri. Aku mau coba susun resepnya ah berdasarkan ingatanku, untuk nanti kuracik bila ada waktu.
 
Bahan-bahan:
  • 1-2 ketimun, ukuran panjang sekitar 15 cm: dicuci dengan air ledeng, bilas dengan air matang, dikupas, lalu diris agak tipis; bisa bulat, bisa serong, seseleraku saja.
    • Menarik juga ide untuk melumuri irisan ketimun dengan cuka dan garam, mungkin nanti akan kucoba juga.
  • 1 pohon selada ukuran sedang: lepaskan dari batangnya, cuci sampai semua kotoran menghilang, bilas dengan air matang. Sebagian dibiarkan utuh dan diletakan di piring supaya cakep, sebagian diiris-iris.
  • 2-3 butih telur: direbus lalu kuning dan putihnya dipisahkan, kuning dihancurkan, putih diiris kecil-kecil.
  • 2-3 kentang seukuran kepalan tangan:
    • 1-2 buah direbus, lalu dipotong-potong dadu setelah dikupas.
    • 1 buah diiris tipis-tipis dan digoreng menjadi keripik kentang berwarna coklat keemasan.
      • Mungkin aku tidak pakai yang satu ini karena repot membuatnya. Ada kerabatku yang karena malas menggoreng sendiri, maka ia memakai keripik kentang kemasan. Aneh ah pasti rasanya.
  • 1-2 tomat merah: untuk mempercantik penampilan, tapi juga bisa dimakan.
 
Bumbu-bumbu campuran pasta/saus:
  • Cuka secukupnya. Bisa juga nih kucoba dengan air perasan jeruk nipis seperti yang dipakai Andung si anak Maninjau.
  • Bubuk lada putih, garam, gula secukupnya
  • Margarin secukupnya, dilelehkan.
    • Kalau mau saja, kalau tidak ya tak mengapa
  • Bawang goreng secukupnya.
    • Untunglah bawang goreng sudah banyak dijual orang di pasar.
 
Resep di atas pasti cukuplah untukku sendiri. Kalau ada yang berminat, duh, karena aku bukan orang yang bisa dipercaya untuk banyak hal, terutama dalam urusan memasak, jadi, coba aja deh, cari di internet. Cukup pakai kata kunci ‘selada Padang’, maka berbagai ragam variasi resep selada Padang akan muncul. Tinggal pilih mana yang sesuai dengan selera masing-masing.
 
Ingat ya, jangan pakai kata kunci ‘salad Padang’. Karena, yang terakhir ini berbeda. Salad Padang adalah sayuran rebus yang dicampur memakai bumbu kacang. Mirip dengan gado-gado Betawi.   =^.^=
 
 
 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.