Rawon Masakan Jawa Timur

Rawon Masakan Jawa Timur

Rawon Masakan Jawa Timur

Melati ER

 

            Lelapku terusik, aku pun terbangun. Jam berbentuk bundar berbandul yang nempel di dinding kamarku, masih menunjukkan pukul 03.00 dini hari. Namun, suara kokok ayam sudah begitu nyaring terdengar, sesekali suara riuh ayam betina saling bersahutan. Rumah Eyang masih kental dengan nuansa desa mempunyai halaman belakang yang luas, ditanami aneka sayur. Sekitarnya dikelilingi pagar bambu atau yang biasa mereka sebut pager pring, memang memelihara beberapa ayam kampung, beberapa ekor angsa putih dan bebek.

            Kebetulan pekarangan belakang rumah Eyang juga dilalui sungai kecil, sangat bermanfaat untuk menyiram pohon cabe dan beberapa pohon sayur seperti tomat, terong dan kacang panjang. Hal yang paling kusuka di pekarangan belakang adalah mengambil telor ayam atau bebek yang tersamar di balik batu atau di antara pepohonan sayur. Rasanya seperti menemukan harta karun.

            Berbeda dengan Eyang Putri, beliau membawa keranjang kecil yang terbuat dari anyaman bambu saat ke pekarangan belakang untuk mengambil telor-telor yang berada di sekitar kandang ayam atau bebek serta memetik sayuran untuk diolah menjadi makanan yang siap disantap seluruh keluarga. Bagiku yang saat itu berusia 10 tahun, kegiatan itu merupakan hal yang sangat menyenangkan.

            “Mel, hati-hati kalau mengambil telor angsa. Biar Eyang aja, nanti kamu disosor,” ujar Eyang Putri. Akan tetapi, bukan Melati kalau tidak penasaran. Sesungguhnya aku kurang paham dengan makna dari kata ‘disosor’, tanpa rasa takut aku berjalan perlahan sambil memperhatikan kalau-kalau tidak jauh dari kakiku melangkah, ada telor berwarna putih berbentuk oval dan lebih besar dari telor bebek, itulah telor angsa.

            Benar saja, tak lama kemudian, aku menemukan satu tak jauh dari kolam kecil buatan yang dipakai para angsa bercengkerama dengan sesama angsa. Tanpa pikir panjang, aku segera mendekat dan hendak mengambil telor tersebut untuk dikabarkan kepada Eyang hasil penemuan telor angsa pertamaku.

            Baru saja beberapa langkah mendekati kolam, salah satu angsa melihat ke arahku, dan menjulurkan leher panjangnya sambil berjalan mendekat. Betapa terkejut aku melihat reaksi si angsa. Dan bersamaan dengan itu suara riuh angsa lainnya pun terdengar mengerikan di telinga. Refleks aku pun berlari ke arah berlawanan. Dari jauh aku melihat Eyang Putri sepertinya juga terkejut karena aku berlari sambil berteriak memanggil namanya, sementara ada seekor angsa mengejar di belakangku.

            “Ya ampun, Mel. Kamu kok ke sana!” teriak Eyang Putri sambil membawa sapu lidi yang bergagang kayu, mungkin untuk menghalau si angsa agar tidak mengikutiku.

            “Eyaaaang!” Hanya itu yang mampu terucap dari bibirku.

            Dengan kepiawaian Eyang Putri, maka angsa itu pun berlalu meninggalkan aku yang masih ketakutan berdiri di belakang Eyang.

            “Hmm, kan sudah Eyang pesan, jangan dekati telor angsa, karena kalau belum mengenal, dia akan menyerang siapa saja yang mendekati telornya,” katanya dengan lembut keibuan. Aku pun hanya meringis malu karena tidak menghiraukan pesannya.

            Kejadian itu adalah kemarin saat baru tiba di Mojokerto, rumah Eyang. Lain lagi pagi ini, setelah suara kokok ayam mereda, tercium aroma korek api yang dinyalakan tertiup angin hingga kamar. Semula kukira ada yang akan bakar sampah seperti perkampungan yang berada di belakang rumahku. Setiap seminggu sekali akan membakar sampah dedaunan dan sampah dapur, meski lokasinya agak jauh tetapi asap bakarannya sangat mengganggu pernafasan.

            Tak berapa lama, tercium aroma harum masakan. Hidung sensitifku pun bereaksi mencari dari mana datangnya harum masakan sepagi ini. Perlahan keluar dari kamar, ruangan Eyang masih sepi, papa dan mama juga masih terlelap. Kebetulan ada pintu samping untuk keluar rumah. Rumah Eyang tidak berpagar, sehingga bila ke rumah tetangga sebelahnya tinggal jalan saja. Ternyata posisi kamarku itu tidak jauh dari dapur tetangga Eyang, dapur sederhana masih dengan kayu bakar dan dindingnya pun masih setengah bilik bambu.

            Jiwa petualanganku pun meronta ingin tahu, suasana pagi masih gelap hanya cahaya redup dari rumah Eyang yang menerangi sekitar. Aku pun menyusuri rumah itu hingga sampai di depan rumah. Ternyata warung. Terlihat dua perempuan tua berkebaya ala jawa sedang sibuk menyiapkan dagangannya. Ada aneka gorengan seperti tahu, tempe dan perkedel berikut kerupuk gendhar dan kerupuk udang yang terlihat di kaleng kerupuk di sudut meja belakang. Di atas meja terlihat piring yang isinya beberapa telor bebek matang yang di susun seperti piramid, setahuku mama bilang itu telor asin.

            “Eh, mau kemana, Nduk? Masih pagi ini.” Tba-tiba ada suara mengejutkanku. Dengan cepat aku memindai arah kedatangan suara tersebut. Ternyata dari salah satu perempuan tua yang tadi sibuk menata gorengan.

            Dengan sedikit gugup, aku menjawab asal,”Itu Bu, saya mencium aroma enak, jadi laper.”

            “Oh, kamu mencium masakan rawon, sebentar ya, ditunggu saja sedang disiapkan, dagingnya sudah empuk, kok,” ujarnya sambil berlalu ke dapur.

            “Duduk sini, Nduk. Tinggal di mana, kok, masih pagi banget sudah sampai sini?” tanya perempuan tua satunya sambil menarik bangku panjang kayu untuk duduk di hadapanku.

            “Saya Melati, tinggal di sebelah itu,” jawabku sembari menunjuk ke rumah Eyang, “kemarin baru datang dari Jakarta,” ujarku sambil menyungging senyum.

            “O ala, putune Eyang Mojo. Mbak Yu! Rawonnya sudah siap? Iki loh putune Eyang sudah kepengen ngincipi rawon buatanmu,” teriaknya. Belakangan aku tahu nama perempuan tua yang di hadapanku, Bu Atik dan yang jago masak rawon biasa dipanggil Mbok Nah.

            Benar saja, tak lama kemudian keluarlah semangkok masakan yang namanya rawon itu, kuahnya berwarna hitam dan ada potongan daging. Aromanya wangi enak. Aku pun langsung bertanya, kuah hitamnya itu terbuat dari apa, karena bukan aroma kecap seperti masakan semur di Jakarta.

            Mbok Nah pun menjelaskan bahwa rawon itu adalah masakan khas Jawa Timur bahan bakunya daging seperti soto, tetapi bumbunya komplit, yaitu ada bumbu yang harus dihaluskan terdiri dari bawang merah, bawang putih, ketumbar, jahe, kunyit, kemiri sangrai, kluwek yang daging buahnya sudah direndam air panas serta bumbu cemplung yang terdiri dari daun jeruk purut, sereh, daun bawang iris, lengkuas geprek. Utamanya dari bumbu rawon adalah kluwek yang membuat rawon itu berwarna hitam.

            “Wah, pantes aromanya sedap sekali, ternyata bumbunya sangat komplit, ya,” kataku dengan terkesima sembari kusruput kuah rawon yang sudah tersaji dengan toge kecil dan separoh telor asin dan di piring lain ada sebuah krupuk gendhar khasnya teman makan bersama rawon. Memang masakan Jawa Timur yang kaya rempah ini, sangat menggugah selera.

            Tak lama kemudian, azan Subuh pun berkumandang, aku segera izin untuk membawa rawonku ke rumah Eyang. Sementara, Eyang dan semua penghuni rumah sudah bangun, melihatku membawa mangkok dari luar, mereka pun bertanya-tanya. Tanpa kujawab, aroma kuah rawon yang lezat sudah menjadi jawabannya. Setelah kami shalat Subuh berjamaah, Papa mengajak kami ke Warung Mbok Nah untuk sarapan pagi rawon di situ. Tidak seperti ketika aku datang, Warung Mbok Nah sudah ramai pengunjung.

            Rawon yang dimasak dengan tungku, terasa lebih nikmat. Entah berapa kayu dihabiskan untuk mengepukan daging, tentunya proses masaknya pun lama. Namun, rasanya sangat sedap. Hingga hari ini aroma rawon Mbok Nah masih tertanam dalam ingatanku.

 

---oo0oo---

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.