Hormatilah orang yang tak berpuasa
Waktu masih baru-barunya jadi mahasiswa, saya dan teman-teman seangkatan dan sejurusan setiap hari maunya datang ke kampus saja. Termasuk saat libur juga, pada suatu waktu kala bulan puasa. Kami datang saja ke jurusan, ngobrol dengan dosen-dosen yang hanya ada beberapa orang saja, berhubung kegiatan perkuliahan sedang libur.
Pada waktunya dosen-dosen selesai dengan urusannya di jurusan, maka mereka pun pulang. Kami yang kecewa karena tempat nongkrong sudah bubar, lalu turun ke bawah—jurusan kami berada di lantai dua atau tiga, saya tak terlalu ingat. Di bawah, di tangga selasar lorong penghubung antarunit gedung, kami lihat sesosok senior kampus tengah duduk dengan santainya. Dengan girang kami mendekatinya, ikutan duduk-duduk. Ngobrol ngalor ngidul.
Kalau kupikir lagi, kemungkinan besar kakak senior yang bernama Tino itu tidak kenal siapa kami. Dia tiga tahun di atas kami, lagi pula dia berbeda jurusan. Namun, kami sangat mengenal dia, karena pada saat masa penerimaan mahasiswa baru—di mana senior senang banget ngerjain anak baru—Tino itu sangat vokal dan jahil.
Entah apa saja yang kami bicarakan bersama sang senior beda jurusan itu, tapi seingatku seru sangat. Kami tertawa-tawa, lupa perut keroncongan akibat puasa. Sampai tukang siomay yang sehari-hari, bulan puasa atau tidak, nongkrong di Taman Sastra datang mendekat. Tangannya membawa sepiring penuh siomay yang menggiurkan. Kak Tino menyambut piring itu dengan sangat semangat karena ia kelaparan. Melihat piring siomay itu, kami yang berpuasa hanya bisa menelan ludah karena ngiler.
"Ih Tino!!" seru Watty temanku. "Hormatin donk orang yang berpuasa!"
Sambil mengaduk aiomay agar bumbunya rata, Tino menyergah, "Orang yang berpuasalah yang harusnya menghormati orang yang tidak berpuasa!"
"Sialan, lo!" kata Watty dengan wajah kecut.
Semuaa tertawa. Aku juga ikut tertawa, tapi dalam hati aku melihat bahwa memang sebaiknya begitu, bukan? Anggap saja bagian dari ujian saat berpuasa, toh!? Diam-diam, aku malah menjadi respek padanya akibat dari sepotong kutipan yang dilontarkannya itu.
Ucapan Tino itu sampai sekarang menjadi peganganku saat berpuasa, bahkan di masa aku malas berpuasa di bulan puasa—nggak usah tanya kenapalah ya. Aku menjadi sebal kalau orang-orang yang berpuasa minta dihormati. Tak jarang aku jadi bertengkar dengan teman yang tak setuju dengan anutanku pada kutipan dari Tino.
Gila saja sih menurutku, bahwa puasa membuat kita jadi gila hormat. Sampai-sampai ngamuk kalau ada warung makan atau restoran tak memasang tirai saat bulan puasa.
Di masa kuliah kemudiannya, Tino dan saya menjadi saling mengenal tapi kami tidak main di lingkar pertemanan yang sama. Namun, setelah lulus kuliah, perjalanan hidup kami bertemu di satu titik. Kami menjadi sangat akrab, bahkan banyak dituduh orang bahwa kami kakak dan adik. Agak lucu, karena dia Indo-Belanda sementara aku kemungkinan entah berapa generasi lalu ada leluhur asal Arab atau India.
Sebelum Tino meninggal, ketika ia masih sehat, aku sempat menceritakan kejadian di bulan puasa itu padanya. Tentang kutipan yang ia serukan.
"Gue nggak inget tuh pernah bilang hal seperti itu," katanya sambil menyedot rokok Bentoel birunya.
Begitulah haha... Aku yakin, saat mengucapkannya pun dia pasti tak berpikir apa-apa. Enteng saja bicara, karena sosoknya memang seperti itu. =^.^=