Kenapa Menulis? Enggak Banget! (Bagian 2)

Di tahun itu, hasil profit dari novel Tuing! yang dijual cukup berdarah-darah, terkumpul uang untuk ikutan workshop Bisa Bikin Brand. Mendengarkan cerita Pak Bi (Subiakto) selama dua hari tentang brand, bikin otal ngebul. Sekaligus, ada ide-ide untuk branding diri, dan branding si Tuing ini.
Saya juga diskusi dengan Mas Arto Biantoro, seorang aktivis brand. Cerita kenapa saya menulis.
Di situ, sampai saat ini, empat tahun setelah buku pertama diluncurkan, berpikir kembali. Untuk apa dulu menulis?
Cita-cita pendeknya adalah: uang. Untuk melunasi cicilan rumah biar cepat kelar. Dan ternyata tidak mudah. Saya pikir ulang, sebenarnya ada keresahan apa dalam diri ini.
Ada misi besar. Yang saya pun entah solusinya apa. Dan misi itu saya ceritakan ke Mas Arto.
Literasi.
Indonesia peringkat 60 dari 61 dunia urusan literasi. Dulu. Sekarang peringkat 62 dari 70 negara di dunia. Separah itu. Bagaimana meningkatkannya? Saya bisa sumbangsih apa?
Misinya adalah menulis buku dengan bahasa yang mudah dipahami. Menulis sesuai PUEBI tapi tidak kaku. Tujuannya supaya buku itu tidak jadi horor. Minimal dengan menambah bacaan ringan, minat baca (literasi) bisa kembali naik. Begitu visi besarnya.
Tentu tidak semudah itu juga. Minat baca semakin turun dengan adanya gawai, digital. Visual audio tentu lebih menarik dibandingkan buku yang dibaca beberapa halaman langsung ngantuk. Halaman buku jadi kucel bukan karena sering bolak-balik dibaca, tapi karena ketindihan waktu tidur.
Merasa misi itu begitu berat untuk menggapai visi, saya harus punya misi lain. Batu-batu pijakan kecil untuk menyeberangi sungai.
Novel Tuing! pun dibuat berdasarkan kisah nyata yang difiksikan. Karena kisah nyata saya membosankan kalau diceritakan. Tidak seperti Dilan-Milea yang punya cerita cinta, badungnya geng motor, atau kisah Rangga-Cinta. Saya tidak punya koleksi nyata cerita itu.
Tuing! pun hadir dengan tujuan menceritakan kepada anak-anak saya bagaimana Bandung 90an, bagaimana dulu bapaknya awal-awal mencari kerja, dan perjuangan menemukan cinta. Tokoh dalam Tuing! bisa dibilang mirip bapaknya. Tapi tidak semua sama, karena memang sudah diberi bumbu supaya cerita lebih menarik.
Akhirnya saya menyimpulkan tiga tujuan dalam menulis:
1. Legacy kepada anak-anak, tentang bapaknya, tentang kehidupan zaman dulu, tentang mahasiswa kosan, tentang mencari kerja, dan kisah cintanya.
2. Meningkatkan literasi di Indonesia, dengan menulis buku dengan bahasa yang ringan, supaya buku tidak jadi horor bagi genZ dan alfa.
3. Uang tambahan dan kegiatan rutin saat pensiunan, supaya otak tidak tumpul
Kalau dihitung sejak 2017 sampai nanti saya pensiun di 2038, itu juga jika masih ada nyawa, mestinya saya sudah punya 22 buku. Targetnya satu tahun satu buku.
Sepertinya bisa lebih, jika konsisten menulis solo, antologi, dan menjadi editor lepas buku teman-teman lain. Karena di 2018 selain Tuing!, saya juga ikut antologi. Kumpulan cerita pendek Baper Jangan? jadi antologi kedua. Ada 20 penulis. Keroyokan.
Tahun berikutnya saya tidak menulis solo maupun antologi, karena membina emak-emak yang ingin menulis ternyata berat juga. Akhirnya di situ memosisikan diri sebagai mentor dan editor saja. Banyak kata yang dibantai. Karena cukup berat, saya pilih editor pertama dari emak-emak yang tulisannya sudah paling bagus. Jadi saya edit begitu tulisan sudah lebih rapi. Cinta 25+ pun lahir di 2019.
Di tahun yang sama, saya ikut lagi workshop Bisa Bikin Brand, reseat. Gratis, karena alumni. Dan tidak lama setelah itu, ada event Indonesia Spicing the World. Saya ikut ngeblast event itu lewat storytelling di media sosial. Kemampuan menulis akhirnya bisa bersumbangsih juga.
Dan selama 2019-2020 akhirnya jadi banyak bertemu, diskusi, ngobrol santai, dengan alumni BBB, dan pegiat UMKM lain. Mereka punya cerita sendiri, perjuangan mencari value, dan menjadi beda, agar bisa bertahan di dunia wirausaha. Hasil obrolan itu, lahirlah CBLK. Cerita Brand Lokal Kita. Inilah buku nonfiksi pertama yang saya tulis.
Sibuk jualan, promosi, sambil terus menulis lagi cerita brand lainnya, saya bertemu Mbak Tya Subiakto. Waktu itu tujuannya bikin konten untuk Youtube Oksand Stories tentang Tya Subiakto. Ternyata berjodoh untuk jadi editor juga di novel pertamanya: Panggil Aku Mama.
Awalnya sebuah skrip untuk film, tapi pandemi membuat setir harus dibanting ganti haluan. Jadilah novel. Lalu bantu Mbak Tya untuk ikut promokan si jabang bayi, IG live, video testimoni, dan membuat press released.
Tahun yang sama, tahunnya pandemi, ingin memantapkan keilmuan menulis dengan bergabung komunitas The Writers. Om Bud dan Kang Asep luar biasa ilmunya. Dan satu tagline yang selaras dengan misi saya: sebelum mati, minimal buatlah satu buku. Untuk saya, satu tahun satu buku.
(Bersambung...)
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.