Penyeranta

Penyeranta
"Hei, kapan kamu bakal punya telepon genggam?" tanya Kristoff si koresponden TV Jerman.
 
"Belum perlu, masih banyak telepon-telepon berbayar yang bisa melayani kebutuhan saya menelepon," sahut saya mantap.
 
Ah, memang itu kenyatannya. Di akhir 1990an wartel (warung telepon) sangat menjamur sampai ke pelosok-pelosok tanah air. Saya menemukannya di Labuan Bajo, NTT; saya juga mendapatkannya di Dili, yang waktu itu dihitung sebagai Provinsi Timor Timur-nya Indonesia.
 
"Lalu, gimana kalau saya perlu bicara di telepon dengan kamu?" tanya Kristoff lagi.
 
"Telepon aja ke rumah," kata saya.
 
"My god!" Kristof melempar tangannya ke udara.
 
Kristoff tak bisa paham bagaimana saya bisa hidup tanpa gawai itu. Karena, dia sendiri sejenis mahluk yang tak bisa lepas dari telepon genggamnya. Lihat saja! Sejak mobil berangkat meninggalkan Hotel Turismo di Dili, (dulu) Timor Timur, tadi itu; menuju ke Bukit Fatukama yang jarak tempuhnya 15-20 menit, dia berbicara terus di telepon. Casciscus dengan bahasa ibunya, Jerman.
 
Sesampainya di bukit tempat berdirinya patung Yesus Raja atau Cristo Rei itu, dia masih berbicara ke telepon genggamnya. Saat kami perlahan menapaki tangga menuju ke kaki patung yang, kalau tak salah, berdiri di atas ketinggian 90 meter di atas permukaan laut itu, sambil terus bicara, Kristoff mengikuti saja langkah kami. Meski ngos-ngosan berat, ia tetap tak menghentikan konversasinya.
 
Sampai di puncak bukit, Axel si kameramen langsung memasang kameranya. Merekam pemandangan sekitar. Kristoff masih tetap menelpon. Setelah Axel selesai, kami duduk-duduk sebentar. Mengobrol sambil menikmati pemandangan sebelum beranjak turun lagi. Kristoff masih juga sibuk. Saat kami turun, saya memberi kode ke Kristoff, yang belum selesai juga dengan telepon genggamnya. Supaya dia tahu kami akan turun.
 
"Kristoff itu bisa menjual apa saja lewat telepon genggamnya," kata Axel tadi waktu kami duduk-duduk di Bukit Fatukama.
 
Keras kami tertawa bersama.
 
"Beneran itu!" Axel menegaskan.
 
Saya percaya. Sebagai koresponden TV yang bertugas di kejauhan, adalah salah satu tugasnya untuk dapat menjual hasil liputannya ke jaringan TV di negaranya. Dan, dia akan melakukannya di mana saja, dengan telepon genggamnya itu.
 
Dalam perjalanan kembali ke hotel di kota Dili, saya turun di wartel terdekat. Banyak kontak dan narasumber yang harus saya hubungi.
 
"Makanya saya bilang, kamu harus punya telepon genggam! Jadi bisa menelepon dari mana saja," Kristoff ngedumel.
 
Saya nyengir saja. Bukannya saya nggak mau punya telepon genggam, mister. Dananya yang belum ada! Yah, untungnya, sejauh itu pekerjaan saya tidak atau belum terganggu tanpa kehadiran telepon genggam. Meski barangkali tak terlalu praktis, tapi tokh wartel bertebaran di mana-mana. Bagi saya, wartel itu bagai gerbang menuju ke dunia tak terbatas. Bisa menelpon ke belahan muka bumi mana aja.
 
Di paruh kedua 1990an, telepon genggam sebenarnya sudah mulai banyak dipakai orang di tanah air kita. Meski, belum bersifat sejuta umat. Tapi, yang masih sangat umum dipakai saat itu adalah pager alias penyeranta, yang popularitasnya cukup tinggi. Begitu populernya, bahkan sampai dibuatkan lagu oleh kelompok musik hiphop Sweet Martabak. Berjudul ‘Tididit’, mengambil suara penanda masuknya pesan ke pager.
 
Saya sendiri pada masa itu merasa cukup puas hidup dengan pager. Bahkan bersyukur, apalagi karena gawai kecil itu merupakan lungsuran dari salah satu adik. Yang setelah mempunyai telepon genggam, tak lagi memerlukan  pager.
 
Dalam keluarga, saya yang paling belakangan mempunyai telepon genggam. Beberapa tahun ketinggalan di belakang para sekandung. Ibu saya sedikit kurang bahagia karenanya, akibat merasa tak mudah menghubungi saya. Tapi, ya itu tadi, karena belum ada dananya. Maklum freelance, kerjaan nggak datang tiap saat. Untuk urusan pekerjaan; pager, telepon landline, dan faksimili sudah sangat membantu saya. Saya masih belum masuh ke era email saat itu.
 
Meski hanya komunikasi satu arah, dan kemampuan jumlah karakter yang terbatas, dengan pager, gerak saya di bidang komunikasi sesungguhnya lumayan meluas.  Kabar-kabar penting bisa segera tersampaikan. Termasuk kabar meninggalnya ayah saya almarhum. Apabila diperlukan, orang bisa meminta saya untuk menelepon mereka. Saya tinggal mencari telepon umum atau wartel untuk merespon.
 
Penyeranta ini sungguh mengingatkan saya pada film-film tentang dokter dari Amerika loh. Kan sering tuh ada adegan dokter dapet panggilann tididit, lalu mereka segera cari telpon untuk menelpon. Persis kan dengan saya. Heee...
 
Untuk bekerja, penyeranta saya pakai secara optimal. Kalau saya tak keluar rumah, saya bekalkan alat komunikasi satu arah itu ke partner kerja saya. Masa itu, 1998, Jakarta sedang riuh bergolak. Terutama ramai adalah demo-demo mahasiswa. Demi keamanan dan hal-hal lain, apabila partner saya turun ke jalan untuk memotret, saya di rumah. Memantau berita dari stasiun-stasiun TV lokal.
 
Rata-rata stasiun televisi bersiar secara live. Apabila ada sebuah berita, artinya masih cukup aktual. Berita tersebut lalu saya kirim ke penyeranta yang dibawa oleh partner saya. Lama-lama, teman-teman lain pun minta supaya saya juga mengirimkan update berita dari TV ke mereka. Lumayan memberi kesibukan bukan main pada saya, yang puncaknya saya rasakan pada 13 November 1998.
 
Hari itu, adalah hari yang dikenal sebagai hari terjadinya Tragedi Semanggi 1. Pada tanggal tertentu itu, seperti dua hari sebelumnya, mahasiswa dan masyarakat berkumpul di Universitas Atmajaya di Semanggi, Jakarta Pusat. Menolak Sidang Istimewa MPR 1998. Karena, tak mengakui pemerintahan B.J. Habibie, dan tak percaya pada para anggota DPR/MPR Orde Baru. Sekaligus, menentang dwifungsi ABRI/TNI.
 
Sejak pagi partner kerja saya sudah stand-by di Semanggi. Di rumah, saya segera duduk manis di depan TV. Telepon landline saya tarik juga ke titik itu, supaya mudah menelpon sambil mengamati TV. Siap menyalurkan kabar tentang kejadian penting ke penyeranta. Info singkat saja, apa kejadiannya dan di titik sebelah mana.
 
Lama kelamaan, masuk permintaan teman-teman peliput lain ke saya. Agar mereka bisa ikut dapat update. Dikirimkan ke pager mereka, atau saya menghubungi melalui telepon genggamnya. Sampai di akhir hari, ada lebih dua puluh nomer ID dari pager dan nomor telepon genggam di daftar saya yang minta untuk di-update.
 
Jangan kira bahwa pada masa itu mengirimkan kabar pendek sama praktisnya dengan sekarang. Kau tak bisa tinggal copas berita seperti mengirimkan berita generik lewat WA atau pun SMS. Dua fasilitas itu belum pun eksis. Saya harus telepon satu per satu ke setiap telepon genggam. Sungguh tak praktis dan makan waktu. Apalagi, kadang mereka tak langsung menjawab panggilan telepon masuk.
 
Dapat dimaklumi kalau mereka tak segera menjawab panggilan telepon masuk. Suasana sangat kacau di luar sana. Para peliput bukan sekedar mengamati dari luar gelanggang sambil santai. Mereka juga harus waspada termasuk menjaga keselamatan jiwanya—dalam tiga hari itu tercatat 17 mahasiswa dan warga sipil yang tewas. Apalagi ketika hari semakin malam, di mana tembakan semakin gencar melesat.
 
Untuk mengirimkan pesan ke pager pun demikian. Sama memakan waktunya. Harus menelpon ke provider-nya satu per satu. Menyebutkan nomor ID pager-nya, lalu menyampaikan pesan yang kadang harus dieja.
 
“Dari Nina,” kata saya.
 
“Siapa? Lina? Rina?”
 
“Nina. N-I-N-A”.
 
“Oh, Tina, ya”.
 
Melelahkan, bukan?
 
Seingat saya, bahkan pada provider yang sama, kita tak bisa melakukan pengiriman satu pesan sekaligus ke lebih dari satu nomor ID.
 
Sementara pengiriman berita dari saya berjalan lambat, di lapangan perubahan terjadi begitu cepat. Akibatnya, berita yang saya kirimkan ke masing-masing orang, tak pernah bisa sama persis datanya.
 
Misalnya, ada berita bahwa korban tewas berjumlah satu orang. Saya segera kirimkan kabar itu ke nama teratas di daftar. Saat pengiriman berita sejenis sampai di urutan kelima atau keenam, terkabar sudah dua yang tewas. Maka, perkembangan kabar itu yang saya sampaikan. Ke orang berikutnya, jumlah sudah beda lagi. Pada nama terakhir, dia mendapat kabar bahwa korban tewas sudah menjadi sepuluh orang. Orang ini yang akhirnya dapat kabar paling up-to-date. Sementara orang pertama, partner kerja saya, menerima kabar yang paling basi.
 
13 November 1998 itu memang hari yang tegang. Termasuk buat almarhum ibu saya. Hampir tengah malam tiba-tiba beliau menelepon saya dengan marah.
 
"Hari ini kan hari ulang tahun adik bungsu kamu. Kenapa nggak menelepon untuk ucapkan selamat!?" hardik ibu.
 
Aiyaaaaaa...
 
Dari laporan adik, ternyata seharian itu ibu tegang. Beliau menduga saya turun juga ke Semanggi. Mengingat saya sudah tertangkap basah beberapa kali ikut-ikutan meliput ke daerah bergolak, tak heran kalau beliau bekesimpulan begitu. Seharian beliau mencoba menelpon saya, tapi telepon sibuk terus. Cek ke adik, ternyata sampai malam saya belum menelepon buat mengucapkan selamat ulang tahun.
 
Mengucapkan selamat ulang tahun melalui telepon hanyalah kebiasaan santai belaka. Bukan keharusan. Tapi, buat ibu, radio silent saya menjadi sumber kecemasannya, yang lalu jadi amarah.
 
“Karena itu, punya telepon genggam donk! Biar gampang ibu hubungi,” kata beliau lagi, sebelum menutup hubungan telepon.
 
Waduh! Ibu suri sudah bersabda, saya tak lagi punya pilihan lain.   =^.^=

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.