Tutup Mulut Sebelum Kenyang

Tutup Mulut Sebelum Kenyang

Tutup Mulut Sebelum Kenyang

 

Entah sejak kapan saya mendengar nasihat yang menggunakan kata “mulut” sebagai metafor. “Mulutmu  adalah Harimaumu”  saya dapatkan saat saya belajar peribahasa di bangku SMP. Saya menemukan lagi kata-kata ini saat saya membaca buku Gadis Remaja, yang merupakan saduran  Little  Women (Louisa May Alcott)  oleh Gadis Rasid. Dalam buku Gadis Remaja inilah, saya memahami apa artinya pepatah ini. Dengan sangat baik, digambarkan bagaimana ucapan yang kita keluarkan dari mulut kita, bisa membawa petaka.

“Jaga mulutmu,” “Lebih baik mendengarkan daripada membicarakan,” adalah beberapa nasihat, pepatah, peribahasa yang menggunakaan kata “mulut” sebagai metafor, atau pun berasosiasi dengan mulut.

Saya biasanya tidak terlalu memperhatikan nasehat dengan menggunakan organ mulut ini. Salah satu hobi saya adalah ngobrol, jadi manalah saya mau tutup mulut dan mendengarkan orang bicara. Ikutan nimbrung dong. Perkara membuka mulut dan ketemu harimau… oh sudah mengalami dong… dan bukan cuma sekali. Apakah kapok? Iya sebentar, habis itu buka lagi. Namanya juga hobi buka mulut.

Buka mulut bagi saya menyenangkan. Karena disamping  bisa mengeluarkan kalimat-kalimat indah, menumpahkan  uneg-uneg, atau pun menebar simpati, mulut yang terbuka  selalu siap menerima, mengunyah dan menelan martabak telor, es teler, siomay, dendeng balado, yang memberi kenikmatan tak terhingga.

Membuka mulut juga  menyebabkan saya kadang-kadan dapat job sampingan seperti MC acara RT, arisan keluarga, kawinan, ulang tahun teman. Tetapi ternyata pekerjaan dan karir saya juga melanggengkan hobi saya untuk buka mulut.

Pekerjaan saya menuntut saya untuk sering bicara di depan publik: seminar, workshop, mengisi talk show, bahkan kampanye politik. Beragam kegiatan ini membawa konsekuensi bertambahnya pengetahuan kuliner saya serta menyemai hobi saya untuk icip-icip yang pada gilirannya berdampak pada naiknya berat badan, sampai saya masuk dalam kelompok obesitas.

 Berat badan yang berlebih tidak datang sendirian. Ia menghampiri saya dengan berbagai penyakit kronis seperti diabetes, hipertensi dan sejenisnya.  Maka selain masuk ke dalam kelompok obesitas, saya juga masuk grup penderita diabet dan hipertensi.

Pada titik inilah saya mulai mendapatkan nasehat untuk menjaga pola makan saya. Namun semua saran dan pendapat saya abaikan. Tentu saja karena saya sangat menikmati beragam makanan. Makana napa saja, Nusantara, Eropa, Asia, semua saya sikat.

Tetapi  saya tersentak ketika seorang teman tiba-tiba nyeletuk  menyuruh saya tutup mulut  saat saya  melahap mie ayam yang berminyak dengan pangsit goreng 1piring ditemani es teh manis 1 gelas besar.

 Dengan santai Bimo bertanya :
“mbak tahu, bahwa cara paling jitu untuk menurunkan berat badan adalah tutup mulut,?”

Saya hampir tersedak.

 “Lho kok tutup mulut sih?” Tanya saya penasaran sambil mengunyah pangsit goreng kecoklatan yang gurih itu.

 “Lho jelas kan? Mana  bisa kita  makan kalau tutup mulut?” jawab Bimo dengan tangkas. Kami pun tertawa. Meski pun tertawa dan mengakui bahwa tips ini manjur, namun saya belum juga melakukannya.

Gerakan tutup mulut dan hubungannya dengan penurunan berat badan serta membaiknya kondisi kesehatan, baru saya buktikan saat saya mengikuti program  pola makan sehat bersama komunitas Eating Reorder (ER).

Komunitas ini mengajarkan saya untuk memiliki pandangan baru terhadap makanan. Bukan saja jenis, jumlah, komposisi dan cara preparasi makanan yang diajarkan kepada kami tetapi kapan mengkonsumsi makanan menjadi salah satu kunci dalam mengubah pola makan kami.

Awalnya tentu saja saya tersiksa. Dengan porsi yang jauh lebih sedikit dan masih ada keinginan untuk mengunya cemilan, saya sudah harus berhenti.  2 atau 3 jam setelah mengkonsumi sarapan baru bisa snacking, tentu saja snacknya buah.

Namun lambat laun, kebiasaan untuk tidak setiap saat mengunya menjadi kebiasaan.  Tubuh saya menjadi jauh lebih bugar, diabet terkontrol , dan saya tidak lagi masuk kelompok obesitas. Saya masuk grup orang dengan berat badan normal.

Barulah saya sadar dan mengakui keampuhan pesan Bimo bertahun-tahun yang lalu untuk menutup mulut.

Sampai dengan saat ini saya masih terus terngiang-ngiang pesan Bimo.  Untuk terus menerapkan apa yang ia nasehatkan, saya sering mengatakan kepada diri saya “Tutup Mulut Sebelum Kenyang,” yang merupakan pesan Bimo dan nasehat lain yang mengatakan “Berhenti makan sebelum kenyang.”

Jadi kunci sehat dan migrasi dari obesitas ke normal itu ternyata sederhana “Tutup Mulut Sebelum Kenyang.” *

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.