"ASU!"
Keringat membasahi tubuh Warno. Udara gerah sekali. “Kenapa begini panas,” pikirnya setengah sadar. Perlahan, ia membuka matanya. Samar-samar ia melihat langit-langit kamar berwarna putih kusam. Warna berusaha memfokuskan padangan mata sehingga jelas. Ia bingung. “Di mana aku ini?” batin Warno kebingungan. Ia kemudian mengalihkan pandangannya ke samping. Dinding triplek dikapur putih, gorden warna merah, pintu kamar tanpa polesan cat, dan tempat tidur berbau apak. Suara kipas angin terseret-seret menyayat. “Di mana aku ini?” kembali Warno bertanya-tanya.
Warno masih rebahan. Ia berusaha mengingat-ngingat. Awalnya, pikiran Warno berkabut. Namun, sedikit demi sedikit ingatan muncul di kepalanya. Semalam ia minum di salah satu bar di Jalan Jaksa, Jakarta Pusat. Minum bir, banyak, sendirian. Ia mulai merasakan kepalanya berdenyut-denyut. Tenggorokan juga terasa kering sekali. “Tiga pitcher? Empat pitcher?” Entahlah, Warno lupa berapa banyak bir yang ia tenggak.
Lidahnya terasa pahit dan kelu ketika ingatan membaik. Semalam ia patah hati. Sore sebelum ia pergi ke Jalan Jaksa, pacarnya mengirimkan pesan singkat, mengatakan hubungan mereka sudah selesai. Pacarnya mengatakan, ia menemukan lelaki lain yang lebih dicintainya. Warno ingat, ia mencoba untuk menghubungi pacarnya, namun tidak bisa. Teleponnya dimatikan. Ia juga sudah mendatangi kos-kosan pacarnya, tapi ditolak oleh penjaga keamanan. Ketika Warno memaksa, ia malah dapat bogem di wajahnya. Tangan Warno bergerak, meraba hidungnya yang semalam berdarah. Masih terasa sakit. Begitu juga hatinya, masih terluka.
Dalam keadaan marah bercampur sakit hati, Warno ingat ia kemudian menyetop bajaj dan menyuruhnya untuk mengantarkannya ke bar di Jalan Jaksa. Dia minum bergelas-gelas bir dan kemudian tertawa-tawa, bernyanyi, bahkan berjoget-joget dengan seorang perempuan. “Heh, perempuan?” pikir Warno terkesiap.
Warno mengangkat kepalanya dan memperhatikan pakaiannya. Ia sekarang tidur dalam keadaan telanjang, hanya mengenakan celana dalam. Kemeja kotak-kotak dan celana jeans yang dikenakannya semalam tergeletak di lantai. Berserakan. Ia kemudian melihat ke arah meja kecil di samping tempat tidurnya, dompet dan handphone-nya ada di sana. Warno meraih dompetnya, memeriksa isinya. Surat-surat dan kartu ATM masih ada. Tapi, tak ada uang sama sekali. Kosong melompong. Padahal, seingatnya, semalam ia menarik uang dua juta rupiah dari ATM. Mungkin untuk bayar minuman semalam, pikirnya menduga-duga. Ia mencoba mengingat-ingat, tapi ingatannya seperti hilang begitu saja. Tak ada satu pun gambar yang muncul di benaknya. Mendadak terlintas bayangan ia sedang berada di puncak kenikmatan seksual dalam beberapa detik. Mengerang dan kemudian ambruk. Sudah, tak ada lagi bayangan lain. Begitu juga bayangan perempuan yang tadi sempat muncul sekilas sedang berjoget-joget dengannya, tak lagi dapat dijejaknya. “Siapa dia?”, kata Warno penasaran. “Apakah aku tidur dengan dia?” Tak ada ingatan yang terekam.
Warno perlahan bangun dengan susah payah. Mengenakan baju. Mengantungi dompet dan handphone. Kemudian, membasuh mukanya di westafel pojok kamar dengan tergesa. Sambil mengelap air di wajah dengan lengan bajunya, Warno membuka pintu. Ia berhadapan dengan lorong remang-remang yang berisikan pintu-pintu kamar di kanan-kiri. Dengan sedikit terhuyung-huyung, Warno menelusuri lorong tersebut dan menemukan tangga menuju ke bawah. Aroma ikan asin sedang digoreng menyergap hidungnya. Begitu juga suara lagu dangdut yang terbawa angin tertangkap telingnya. Entah dari mana. Di bawah tangga, Warno kembali menemukan lorong lain dengan banyak pintu kamar. Perlu waktu beberapa saat bagi Warno untuk menemukan pintu keluar.
Sinar matahari pagi langsung menyergap mata Warno. Silau sekali. Dan, panas. “Jam 10 pagi,” kata Warno dalam hati saat melihat jam di teleponnya. Ia berada di sebuah gang yang padat dengan bangunan-bangunan beratap seng dan dinding-dinding semi permanen. Tak banyak orang di gang itu. Ada satu dua sedang melintas, tapi tak ada yang peduli padanya. Setelah berputar-putar sejenak, Warno akhirnya menemukan jalan raya. Ia berusaha mengingat-ingat bagaimana ceritanya hingga ia masuk ke dalam gang itu semalam. Tapi, tak secuil pun bayangan yang berhasil muncul. Warno memutuskan untuk mendatangi bar tempat minum semalam. Nihil, ia tidak berhasil menemukan satu orang pun di sana. Bar masih tutup. "Tentu saja, mana ada bar yang buka jam 10 pagi," pikir Warno dengan getir. Ia memutuskan untuk pulang ke kos-kosannya.
Waktu berlalu. Seminggu kemudian, Warno sempat kembali ke bar di Jalan Jaksa itu. Dari bartender, ia mendapatkan informasi, malam itu dia mabuk berat. Tapi, ia bisa membayar minuman dan kemudian pergi dengan seorang perempuan berambut sebahu. Bartender tidak terlalu rinci menjelaskan ciri-ciri perempuan itu. Juga, tidak memberi tahu identitasnya. Warno juga tidak terlalu bersemangat untuk menggali informasi. Dia malu dengan peristiwa tersebut dan berusaha untuk mengubur sedalam-dalamnya. “Biarlah itu jadi rahasiaku saja”, katanya pada diri sendiri.
Enam bulan kemudian, Warno berdiri di hadapan petugas laboratorium sebuah rumah sakit di Pondok Labu, Jakarta Selatan. Ia menggenggam secarik kertas hasil pemeriksaan.
“Asuuuu,” runtuk Warno dengan suara perlahan, dalam, dan bergetar. Dia tidak berani bersuara terlalu keras karena petugas itu memperhatikannya dengan lekat. Berusaha tenang, Warno memasukkan kertas yang telah digumpal-gumpalnya menjadi bola dalam kantung. Di kepalanya, hasil diagnosis laboratorium itu terus berputar-putar tak mau hilang.
“HIV. Positif. Positif. Positif...”
Pandangan Warno gelap. Dunia terasa runtuh.
Di pinggir jalan depan rumah sakit, Warno melihat sebuah truk melintas. Di baknya tertera tulisan “Enak’e sak menit, rekosone sundul langit.”
Warno tersenyum kecut. “Asuuu.” Warno kembali memaki. Kali ini dengan suara keras. Warno tak peduli pada orang-orang di sekitarnya.
“Asu!”
“Asu!”
“Asu!”
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.