Protret Pendidikan Kita
Pendidik bertanggung jawab mengubah potret pendidikan masa lalu yang suram menjadi terang dan penuh harapan.

Mari bersiap menyambut berita gembira bahwa kegiatan belajar mengajar di sekolah dan kampus dipersiapkan untuk segera digelar secara tatap muka. PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh) akan segera diakhiri dan kembali ke model luring. Namun, sebelum menapaki ada baiknya kita potret terlebih dahulu apa yang terjadi ketika pembelajaran disetiap tingkatan, mulai dari SD sampai dengan Perguruan Tinggi diselenggarakan secara daring.
Dua tahun lamanya masa pandemi covid-19 melanda dunia tidak terkecuali Indonesia, dikeluhkan orang bahwa belajar model daring terjadi banyak ketimpangan di sana-sini. Mengapa demikian? Serasa tersentak kita semua dibuatnya, bagaimana tidak? Dunia pendidikan di Indonesia mengakui bahwa tingkat kompetensi guru yang belum semua ‘melek’ IT (Informasi-Teknologi), belum lagi internet yang masih sering ‘mengganggu’ terutama di daerah 3 T (Terdepan – Terluar – Tertinggal). Kondisi demikian jelas mengakibatkan terjadinya ketimpangan, kalau pun tidak boleh dikatakan terjadi kemerosotan mutu pembelajaran.
Dukungan prasarana dan sarana yang serba terbatas membawa dampak negatif bagi peserta didik. Tidak semua orangtua dapat memfasilitasi dan mendampingi putera-puterinya dalam menuntut ilmu. Kesenjangan mutu pendidikan antardaerah terus bergulir, berbagai usaha untuk menghentikannya telah dilakukan oleh para pendidik yang tergerak hatinya untuk menjaga tetap solidnya mutu pendidikan. Strategi, metode dan teknik mengajar telah dikerahkan seoptimal mungkin, tapi apa daya kurun waktu dua tahun bukanlah masa yang singkat. Empat semester dunia pendidikan mengalami pontang-panting menjaga pamor pendidikan agar tetap terjaga ke-efektifannya.
Di samping kompetensi guru, faktor keragaman kemajuan belajar para siswa yang sangat bervariasi menambah rumit situasi. Perbedaan antara pelajar yang fast learner dan slow learner semakin gap (jurangnya semakin menganga). Di sinilah seni mengajar masing-masing guru berperan penting untuk membuat peserta didik yang slow learner tidak stres atau bahkan depresi. Guru harus bisa ‘ngemong’ (among rasa), lebih kurang artinya memelihara/merawat, tentu disertai dengan kasih sayang. Istilah tersebut kini lebih dikenal dengan parenting. Mengasuh dan merawat anak itu dapat diibaratkan menanam benih, harus dengan tulus penuh kasih dan sabar sehingga hasil tuaiannya pun bagus.
Bagaimanapun juga peserta didik yang di bawah kompetensi minimum harus diatasi karena pasti akan berdampak buruk di kemudian hari. Bukankah Indonesia mencanangkan SDM (Sumber Daya Manusia) unggul kelak? Oleh karena itu, input – proses – output harus dibenahi segera. Proses tak pernah ingkar dan hasil tak pernah mengkhianati proses dan di tangan para pendidik inilah proses itu diasah terus-menerus (Sharpen the Saw) begitu kata Stephen R. Covey. Mengasah gergaji adalah menajamkan mata gergaji, merupakan semangat untuk terus belajar dan mengasah kemampuan tanpa batas waktu dan situasi.
Tanggung Jawab Pendidik
Sebagai leader dan sekaligus manager, pendidik wajib memanaj kelas dengan baik dan benar. Suasana kelas yang kondusif, keteraturan, disiplin, pembelajaran yang interaktif menuju pembelajaran yang efektif dan efisien (mangkus dan sangkil). Aktivasi ketiga ranah, yakni: kognitif – afektif – psikomotorik harus tercapai 100%. Lingkungan sekolah yang aman dan nyaman adalah dambaan setiap warga sekolah. Pendidikan yang membudayakan sikap kebhinnekaan, toleransi dan kerukunan akan memicu dan memacu keberhasilan yang dicita-citakan.
Semangat keberagaman, nilai-nilai kemanusiaan, dan wawasan kebangsaan harus tetap menyala. Di tangan para pendidik itulah karakter manusia unggul ditanam- disirami-dipupuk, sehingga bertumbuh-berkembang dan berbuah manusia terpelajar, berbudi pekerti luhur serta mampu beradaptasi dengan kemajuan zaman, siap berkolaborasi dengan sesama yang ingin maju. Pendidik dan peserta didik, penulis ibaratkan seperti cara kerja dua sumpit (two chopsticks). Ada komunikasi, kerjasama, dan saling membantu dalam perbuatan baik niscaya tujuan pendidikan segera tercapai sebagaimana kita harapkan bersama.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 – 2025, yang menyebutkan terwujudnya karakter bangsa yang kompetitif, barakhlak mulia dan bermoral berdasarkan Pancasila yang dicirikan dengan watak dan perilaku manusia dan masyarakat Indonesia yang beragam, beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, bertoleran, bergotong royong, berjiwa patriotik dan berkembang dinamis. Indonesia membutuhkan SDM yang berkepribadian arif dan penuh hikmat, mengedepankan excellent competence, godly character, sustainable self-learning agar dapat mensejajarkan diri dengan bangsa-bangsa lain di era global.
Sebagai penutup tulisan ini, penulis mengajak semua pembaca yang budiman untuk merenungkan dan menghayati buah pikiran Ki Hajar Dewantoro (Bapak pendidikan Nasional Indonesia) bahwa Indonesia perlu pendidik yang berkarakter sosio-nasionalis, tidak terkotak-kotak. Mari kita ikut berkiprah mencerdaskan seluruh anak bangsa, karena itu adalah kewajiban kita bersama selaku pendidik. Persekolahan yang cocok untuk bangsa Indonesia adalah persekolahan yang humanis, kerakyatan dan kebangsaan. Indonesia siap keluar dari ‘krisis’ pembelajaran; potret suram pendidikan masa lalu kini sudah berganti terang, mari kita sambut!
Jakarta, 5 April 2022
Salam penulis: E. Handayani Tyas; Universitas Kristen Indonesia – [email protected]
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.