Pertanyaannya, Perlukah ER Tetap Kulakukan?

Pertanyaannya, Perlukah ER Tetap Kulakukan?
 
Di satu titik pada 2023 lalu, aku merasa bahwa aku harus meningkatkan kualitas hidupku. Bahwa aku harus lebih sehat! Supaya sakit pinggang bawah dan masalah gangguan lambungku dapat teratasi.
 
Tujuan akhir dari keinginan ini sebenarnya adalah, supaya aku bisa menemani adik bungsuku. Ia sedang sakit lumayan keras, dan semakin lemah saja karena banyak yang harus diperbaiki dalam sistem tubuhnya. Lihat saja, satu kali saat berada di bawah pengawasanku, ia sempat menggelosor di kamar mandi, ketika hendak kupindahkan ke kursi roda. Aku hanya bisa menahan agar jatuhnya tidak terbanting, karena aku tak sanggup menahannya. Aku tak kuat. Pinggang bawahku sakit sekali, dan aku hanya bisa menangis di dalam hati.
 
Bagaimana cara meningkatkan kualitas hidupku ini ya, begitu pikirku. Agar aku bisa lebih kuat dan lebih bertenaga. Daripada mencari jauh-jauh, kusarankan pada diriku sendiri agar sebaiknya aku melihat ke yang dekat-dekat saja.
 
Tersebutlah seorang anak muda yang adalah teman lamaku. Aline namanya. Di tengah masa pandemi, aku menyaksikan sendiri bagaimana dia mengikuti sebuah program kesehatan, yang selain fokus pada cara makan yang sehat dan tak mengada-ada, juga mengharuskan peserta program untuk setiap hari jalan kaki santai.
 
Cara mengatur makan di program ini bikin malas, demikian pikirku saat dulu melihat Aline melakukannya. Tapi, lalu aku menyaksikan sendiri perubahan yang terjadi pada fisik temanku Aline ini. Meski dulu di masa SMA-nya ia sering menari atau dance, ia bukan tipe olahragawan. Pekerjaan sebagai editor film membuatnya sering begadangan. Tahu-tahu saja ia terlihat sangat segar. Bukan hanya itu, ndilala ia menjadi atlet pingpong!
 
Mungkin masih dalam level kejuaraan RT. Tapi, pingpong itu olahraga serius. Mereka yang melakukannya perlu badan yang sehat dan kuat!
 
Melihat Aline dan kondisi fisiknya, akhirnya aku berpikir bahwa mungkin sudah waktunya buatku mengikuti program serupa. Nama program tersebut adalah Eating Reorder, atau yang biasa disebut secara singkat sebagai ER. Aline yang kuceritarkan di atas, kini sudah menjadi salah satu coach dari program ER. Maka, aku sampaikan padanya bahwa aku berminat mengikuti ER pula. Sekaligus memilihnya sebagai coach-ku. Sudah kenal maka sayang dan bisa minta disayang, bukan? Hehehe…
 
Pertemuan-pertemuan coaching per dua minggu dilakukan melalui zoom meeting. Sebelum benar-benar dimulai, ada pre-coaching—disebut Coaching 00. Merupakan pertemuan perkenalan antara coach dan para peserta baru di batch kali itu. Waktunya adalah 8 Oktober 2023, dimulai pukul 19.00.
 
Pada hari tersebut, aku sedang menemani adikku di sebuah rumah sakit di Bekasi. Tak menduga bahwa aku akan menghadiri zoom meeting perkenalan tersebut di rumah sakit, aku tak membawa headphone-ku—kupikir aku akan menemani adikku di rumahnya belaka. Sebagai catatan, baik aku dan adikku, kami sama-sama tinggal di wilayah Jawa Barat. Namun, adikku di Bekasi sementara aku di wilayah Kota Depok. Jaraknya tak dekat.
 
Untungnya, aku bisa pinjam earphone dari keponakanku—anak bungsu adikku. Jadi, amanlah aku, suara dari meeting tak akan bocor keluar yang mungkin bisa mengganggu adikku. Dalam forum, aku minta maaf karena tak bisa menjawab dengan suara ataupun membuka kamera, sebab sedang berada di kamar rumah sakit.
 
Saat zoom meeting berlangsung, aku duduk dengan menjaga posisi agar adikku tetap bisa melihatku. Agar mata kami bisa saling bertemu, sehingga akan terpantau olehku kalau ada apa-apa atau adikku perlu sesuatu. Sambil mengikuti jalannya zoom meeting, aku terus menerus melirik ke arahnya yang terlihat tidur. Pertemuan baru berjalan sekitar 30 menit, ketika kulihat adikku membuka matanya dan lalu bertanya tanpa suara.
 
"Sudah?" bibirnya kelihatan berucap.
 
"Belum," sahutku dengan hanya menggerakan bibir sambil menggeleng.
 
Tanya jawab tanpa suara itu berlangsung hampir tiap lima menit sekali selama hampir 1 jam lamanya. Aku mulai menjadi tidak tenang. Takut ada sesuatu yang terjadi dalam diri adikku, yang semakin tak bisa mengungkapkan apa yang dirasakannya yang berhubungan dengan sakitnya.
 
Terpaksa, sebelum pertemuan benar-benar selesai, aku permisi keluar dari forum. Kuduga, aku kehilangan waktu antara 10 dan 15 menit terakhir dari pertemuan tersebut. Tapi, akan ada rekaman zoom meeting, bisa kulihat di situ nantinya.
 
"Ada apa, Fek?" tanyaku sambil melepas earphone.
 
"Nggak apa-apa," jawab adikku lemah.
 
Wajahnya terlihat lega, pasti karena aku telah selesai dengan urusanku dan bisa fokus padanya.
 
"Kesepian aja, ya?" tanyaku.
 
"Iya," jawabnya lemah sambil mengangguk sekali.
 
Salah satu yang disampaikan pada Coaching 00 adalah, bahwa kami disarankan untuk mulai latihan jalan kaki santai. Cukup 30 menit saja sehari. Kelak kuketahui bahwa jalan kaki santai ini disebut sebagai Identity Walk atau IW. Memulai jalan kaki dari sekarang adalah sebuah upaya untuk membiasakan diri dan tubuh, sebelum program yang sesungguhnya dimulai 2 minggu ke depan. Di mana jalan kaki alias IW sangat wajib dilakukan setiap harinya.
 
Disampaiakn oleh Coach Aline bahwa IW bisa juga dilakukan dalam ruangan. Nah, berarti bisa nih kulakukan di dalam lingkungan indoor rumah sakit, pikirku. Baiklah, besok akan kumulai.
 
Keesokan harinya, 9 Oktober 2023, aku berharap bisa melakukan IW pada saat ada keluarga kami yang datang menjenguk. Supaya mereka bisa menemani adikku ketikaa aku menghilang sebentar.
 
Tapi, ternyata hari itu adalah hari yang sibuk. Anak sulung adikku diwisuda hari itu di Utrecth—itu sebab istri adikku, Bunda Yanti, sedang berada di sana juga dan bukannya menemani adikku di rumah sakit. Wisuda tersebut untungnya disiarkan secara live streaming, Sehingga, adikku bisa turut menyaksikannya.
 
Siang tak sempat ber-IW, kupikir malam saja, Toh di dalam ruangan. Tapi, malamnya aku sudah sangat lelah fisik dan mental. Apalagi, adikku menolak untuk diganti pempers-nya. Makin kusut saja perasaanku, Jadi, kutunda lagi untuk memulai IW. Besok sajalah, pikirku.
 
Selasa, 10 Oktober 2023. Pagi hari adalah jadwal hemodialisa (cuci darah) adikku. Saat proses cuci darah berlangsung—sekitar 4 jam—kurasa aku bisa meninggalkannya sebentar barang 30 menit. Apalagi bila adik ipar adikku sudah datang nanti. Aku akan lebih tenang meninggalkan adikku bila ada kerabat yang menemaninya.
 
Ternyata, lagi-lagi tak semudah itu! Setelah pemasangan mesin hemodialisa, aku harus mengganti pempers sekaligus underpad-nya karena selang urostomy bag-nya (penampung urine yang menempel di bagian perut) terlepas. Basahnya sampai ke mana-mana.
 
Lalu, aku harus mengupayakannya untuk makan. Sarapan dari rumah sakit ditolaknya, tapi ia masih mau makan telur setengah matang. Dengan cara kusuapi. Minumnya pun harus kusuapi juga, karena tak lagi ada tenaganya untuk menghisap air melalui sedotan.
 
Kondisi adikku rupanya sudah sangat tak bagus. Saat visite, dokter memutuskan hemodialisa dihentikan. Adik dirujuk untuk masuk ke HCU—high care unit.
 
Untuk sementara, adikku dibawa kembali ke kamar rawat inap-nya. Rumah sakit tempatnya dirawat memiliki sangat sedikit tempat tidur di ruang HCU. Maka, kami pun harus menunggu dalam ketakpastian. Pihak rumah sakit juga mencari ke rumah sakit lain. Kalau perlu, adikku akan dipindahkan ke rumah sakit berbeda. Soal IW? Kepalaku sudah tak sanggup memikirkan dan merencanakannya lagi.
 
Sambil menunggu, aku membereskan barang-barang di kamar. Di HCU di mana pun, keluarga harus menunggui pasien di luar. Tidak bisa berada di kamar bersama pasien. Jadi, barang-barang harus diminimalkan.
 
"Bu, bapak dapat kamar di HCU di sini. Siap-siap, ya," kata seorang suster di nurse stasion di luar kamar adikku, saat aku hendak turun cari makan. "Ibu jangan jauh-jauh perginya, ya bu".
 
Syukurlah tak harus pindah rumah sakit! Aku ingat pengalaman menemani almarhum ibu kami dalam ambulan. Duh, sedihnya! Macet di mana-mana. Aku tak mau adikku mengalami hal yang sama.
 
Sekitar jam 10 malam adikku masuk ke HCU. Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, ia pun berpulang.
 
Dalam kesedihan, jangankan memikirkan IW, aku bahkan tak lagi melihat perlunya aku untuk tetap ikut progran ER. Buat apa lagi? Toh niatku untuk bisa lebih sehat adalah agar dapat menemani adikku yang sakit. Dia kini telah tiada, maka aku sudah tak punya reason lagi—belakangan bisa kulihat bahwa ini bukanla reason, tapi excuse.
 
Niat untuk melihat rekaman zoom meeting Coaching 00 terutama di bagian akhir pun sirna sudah. Tapi, aku masih bertahan di WA grup-nya. Meski hanya membaca sharing teman-teman yang sudah mulai IW, hebohnya mereka mencari timbangan yang tepat, dan menerima saran-saran dari coach, para co-coach dan para as-coach.
 
Sementara, aku berada dalam situasi sulit, di mana aku kerap bertanya pada diri sendiri: memangnya perlu bagiku untuk tetap melakukan ER?
 
Ada instruksi untuk membuat foto diri, yang nantinya akan menjadi foto before dan kelak akan disandingkan dengan foto after setelah program selesai. Berfoto before tak kunjung aku lakukan, sampai dengan dua hari sebelum zoom meeting Coaching 01 berlangsung.
 
Nothing to lose, just do it,” pikirku menenangkan diri, dan lalu berfoto.
 
Zoom coaching pertama kuikuti dengan setengah hati. Tapi, ketika kami harus menjalankan menu wajib, aku menjalankannya dengan sungguh-sungguh. Aku mulai berpikir bahwa tidak ada salahnya untuk menjadi sehat bagi diri sendiri. Hatiku menjadi lebih mantab.
 
Perlu dicatat, kenyataan bahwa Aline yang akan menjadi coach-ku memegang peranan penting mengapa aku masih bertahan, tak mundur teratur bahkan sebelum memulai program. Kalau kami tidak sedekat itu, mungkin lebih mudah bagiku untuk undur diri. Bahkan melarikan diri, kabur lari sipat kuping. Terima kasih, sahabat!
 
Tahu-tahu, lima bulan waktu berlalu. Program akan segera selesai. Lihatlah, aku menjadi lebih sehat, dan mencapai berat badan ideal, setelah kehilangan lebih dari 15 Kg berat badan. BMI-ku normal. Berkat makan teratur dan terarah, lambungku bisa lagi menerima makanan pedas yang selama setahun belakangan tak lagi bisa kusentuh. Aku juga sudah bisa berjongkok lagi, lho! Berdirinya lagi tanpa perlu ditolong.
 
Oh, sungguh aku merasa beruntung bahwa aku tak berhenti di saat bahkan sebelum program dimulai!
 
Bila kupikir lagi, sebenarnya Taufik, adikku almarhum, itulah yang mendorongku untuk menjadi lebih sehat, meski secara tak langsung Sungguh aku berterima kasih padanya.
 
Damailah di sana, adik tercinta...   =^.^=
 
 
 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.