Main di Banjiran Yuk

Main di Banjiran Yuk
Photo by Sole Montaner: https://www.pexels.com/photo/person-in-black-rain-boots-walking-on-flooded-ground-14479209/
 
Banjir di Jakarta itu sebenarnya bukan persoalan baru lho! Bahkan sejak masa kolonial Belanda, yang namanya banjir besar sudah lumayan kerap melanda Jakarta. Seperti yang dicatat sejarah pada 1918, 1932, dan 1933. Padahal, Jan Pieterszoon Coen waktu melakukan pengembangan Jakarta—yang masih bernama Batavia pada waktu itu—pada 1619, mengeluarkan perintah untuk membangun kanal-kanal, dan telah dilaksanakan. Sebagai upaya untuk mengantisipsai kemungkinan datangnya banjir.
 
Mari kita coba tarik garis lebih ke belakang lagi, ke era sebelum Belanda menancapkan kukunya di Nusantara. Pada masa Kerajaan Tarumanegara di abad ke-5 Masehi, urusan banjir ternyata juga sudah membuat Raja Purnawarman sakit kepala tujuh keliling—kalau tak lebih. Demi menghindari banjir yang kerap terjadi pada masa pemerintahannya, ia menyuruh orang menggali Sungai Gamati yang berada di wilayah yang sekarang dinamakan Cakung di Jakarta.
 
Cerita tentang penggalian Sungai Gamati ini disebutkan dalam Prasasti Tugu, yang juga menyebutkan adanya penggalian Sungai Candrabaga oleh Rajadirajaguru, dengan tujuan yang sama. Yaitu, mencegah banjir. Kalau tak salah, Sungai Candrabaga ini berada di daerah Bekasi deh.
 
Prasasti Tugu ini fisiknya masih ada lho! Bisa dilihat di Museum Nasional Indonesia, yang sayangnya saat kutuliskan cerita ini, masih belum bisa dibuka untuk umum. Sabar ya…, nanti kita main bersama-sama ke sana.
 
Bentuk Prasasti Tugu ini bulat telur, tingginya sekitar satu meter. Bahasa yang dipakai adalah bahasa Sansekerta, dengan huruf Pallawa. Dinamakan Prasasti Tugu, sebab ia ditemukan di Desa Tugu, Jakarta Utara. Tak jauh dari tepian Kali Cakung, di daerah yang sekarang bernama Simpang Lima Semper.
 
Menelisik ke sejarah yang lebih personal denganku, kompleks rumah masa kecilku pun sudah pula akrab dengan banjir. Untungnya, air luapan itu tak pernah masuk ke pekarangan apalagi bagian dalam rumah sampai merusak barang. Tak pernah!
 
Rumah kami ini berada di bagian depan kompleks, di mana di depannya terdapat sebuah bundaran. Kala banjir, bagian di depan rumah kami akan terendam air sejak dari mulut kompleks sampai ke bundaran itu.
 
Selalu ada berkah dalam bencana. Untuk banjir, orang terutama anak-anak malah cenderung menyambutnya dengan bahagia. Sebab, mereka bisa bermain dengan riang gembira pada genangan air yang datang secara tiba-tiba. Banjir menjadi kesempatan mereka untuk berenang secara gratis. Demikian pula bagi anak-anak di kompleks-ku. Kalau mereka sudah bermain di genangan banjir di depat rumah kami, suaranya riuh rendah tak terperi. Memancing anak-anak lain untuk datang bergabung.
 
Sayangnya, orang tua kami sangat keras melarang kami, anak-anak mereka, untuk main dan mandi-mandi di genangan banjir. Alasannya, karena main di air banjiran itu sangat membahayakan kesehatan. Tak terhitung upaya dan usaha kami dalam membujuk orang tua kami, agar sesekali mengijinkan kami buat ikutan mencemplungkan diri ke dalam air banjiran di depan rumah.
 
Tak sekalipun ijin itu keluar, upaya kami selalu sia-sia belaka. Kami bagaikan berbicara dengan tembok, berhubung begitu kuatnya kemauan orang tua kami dalam melawan keinginan anak-anak tercintanya, untuk sedikit mencicipi kebahagiaan bermain di genangan banjir. Walhasil, dengan menahan air liur kami hanya bisa memandang keriangan dari teman-teman yang berlangsung tepat di depan rumah kami, setiap kali banjir datang menggenang.
 
Namun, pucuk dicinta ulam akhirnya tiba! Kesempatan itu akhirnya datang juga. Ketika, pada suatu hari, di mana banjir tercipta di depan rumah setelah hujan deras, bertepatan dengan saat kedua orang tua kami tak ada di rumah. Ayah sedang bekerja di kantornya, dan Ibu, sebagai istri militer, ada kegiatan para istri di kantor Ayah. Kebetulan yang luar biasa, bukan!?
 
Hujan masih belum tuntas, meski hanya gerimis saja sifatnya, ketika teman-teman mulai bermunculan dari dalam kompleks. Makin lama makin banyak. Anak lelaki dan perempuan, sama saja. Gelak tawa dan teriakan bahagia membahana. Sungguh godaan, yang kami empat sekandung pun tak tahan jadinya.
 
Kurasa, kami jadikan abang tertua kami sebagai mercu suar pemberi ijin. Ia yang juga masih kanak-kanak, akhirnya 'mengeluarkan ijin' untuk kami adik-adiknya. Tanpa kata-kata terucap, namun dengan pancaran matanya yang pasrah. Sebab, ia sendiri sudah tak tahan juga buat bergabung dan mencemplungkan diri.
 
Banjirannya cukup dalam buat anak-anak kecil. Seingatku, ketinggian airnya mencapai sepinggangku. Di situ serunya! Kalau genangan airnya cetek saja, semata kaki misalnya, kan tak asik ya bila hanya bisa sekedar berkecipak-kecipuk dengan kaki belaka.
 
Tambah seru lagi, apabila ada mobil masuk kompleks. Mobil yang masuk biasanya akan berjalan perlahan karena genangan air, terlebih bila terlihat ada anak-anak yang sedang main. Tetap saja, meski perlahan gerak mobil menciptakan gelombang pada genangan air. Memberikan sensasi tersendiri pada kami yang sibuk berendam. Serasa seperti di laut! Maka itu, setiap ada suara mobil mendekat, kami mengantisipasinya dengan penuh semangat dan harapan.
 
Sampai saat kami lihat bahwa mobil yang masuk ke dalam kompleks adalah mobil dinas Ayah. Terkesiaplah kami. Benar-benar kuyup kami tertangkap basah. Kami berempat segera kabur masuk ke dalam rumah dengan panik, dan tak tahu hendak bersembunyi di mana atau bagaimana caranya.
 
Bagaimana kekacauan yang terjadi, tak dapat lagi kuingat detilnya. Tapi, pasti rasa panik sangat melingkupi kami para pelanggar larangan orang tua. Orang tua kami itu cukup keras lho—istilah dulu-nya adalah streng. Dapat kupastikan, suara gelegar amarah Ayah dan Ibu membahana dengan sangat lantang, dan mungkin saja sampai menggetarkan rumah kami. Entahlah…
 
Masih jelas dalam ingatanku bahwa aku lalu diseret Ibu ke kamar mandi—aku tidak terseret sedemikian rupa sampai terkewer-kewer ya, tapi aku tetap jalan dengan kakiku sendiri meski terseok-seok.
 
Lalu, tanpa membiarkanku menanggalkan pakaian yang basah dan kotor terlebih dahulu, Ibu menyiramkan air dengan gayung. Tepat di atas kepala. Berkali-kali. Kuyakin, tindakan itu adalah tindakan campuran antara hukuman, upaya membersihkan, dan penyaluran kekesalan.
 
Entah apakah aku berani menangis atau tidak, mungin saja tidak. Aku hanya dapat membeku ketakutan di bawah air yang terus menerus jatuh dari atas kepala, yang serasa tak berkesudahan. Sampai-sampai aku merasa bahwa guyuran air itu akhirnya seperti mengurungku, mengungkungku.
 
Aku seperti terpenjara dalam kerangkeng air yang rapat tak bercelah. Aku menjadi sulit bernafas. Entah apakah karena ada air yang masuk ke dalam lubang hidungku di setiap tarikan nafasku, atau karena aku merasa seperti terkurung dalam ruang imajiner yang sangat sempit dan gelap. Pandanganku yang terhalang guyuran air sungguh tak fokus.
 
Mungkin, itu penyebab aku menjadi sedikit klaustofobik sekarang ini. Tapi, yang jelas kejadian itu, terutama di episode aku terkurung air, tak menjadikanku trauma atau takut akan air. Bahkan, mungkin itulah sebabnya maka aku menjadi sangat suka dengan olahraga renang. Sampai sekarang.   =^.^=
 
 
 
 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.