Dendam Yang Tertuntaskan

Malam itu, ruang makan dengan nuansa temaram cahaya kuning dari lampu gantung di atasnya, diramaikan oleh suara denting antara sendok, garpu perak dan piring porselen para penggunanya. Di ruangan tersebut, sebuah keluarga sedang menyantap makan malam. Sang bapak berada di kepala meja, dengan istrinya di samping kanan, dan kedua putrinya di sebelah kiri. Di atas meja tersebut, terhampar menu makanan pada malam itu. Sepiring besar ikan gurami bakar, sepiring sayur kangkung, sebakul nasi, dan empat gelas kaca yang berisi es teh menemani makan malam mereka.
Suasana di ruang tersebut terasa riang. Sang bapak memperhatikan cerita anak perempuannya mengenai kabar di sekolahnya. Mereka menceritakan mengenai keseruan pelajaran di sekolah, sedangkan anak perempuannya yang satunya yang merupakan kakaknya, ikut memperhatikan cerita adiknya. Ibu mereka di seberang meja tersenyum manis mendengar penjelasan anak bungsunya tersebut. Sesekali tawa terlepas mengisi ruang makan tersebut ketika si putri bungsu menceritakan hal yang lucu di sekolahnya.
Suasana riang di ruangan tersebut meredup ketika sesosok orang berpakaian hitam-hitam memasuki ruangan tersebut secara perlahan-lahan. Langkah-langkah kaki sosok tersebut tidak menimbulkan suara, namun seketika membuat si bungsu terdiam dan menatapnya, diikuti oleh kakaknya. Sang bapak dan ibu pun menoleh ke arah sosok tersebut disertai dengan tatapan nanar, seakan-akan kaget sekaligus takut dengan kedatangan sosok tersebut.
Mata mereka mengikuti arah sosok tersebut. Sosok itu berjalan mengitari sisi meja yang kosong, menarik kursi, dan mendudukinya. Sosok itu menatap dingin ke arah mereka. Sesosok pria dengan rambut tersisir rapi ke arah samping, dengan tumbuh rambut-rambut kasar di dagunya yang kokoh, dan terlihat sebagian rambutnya berwarna putih. Di antara tatapan dingin pria itu, terdapat pancaran sinar kelelahan dari matanya.
Pria itu menggunakan seragam tentara berwarna hitam, dengan pelindung dada yang terpasang di badannya. Tangan kanannya mengangkat pistol Glock 19 yang telah terpasang peredam di mulut pistol. Ia arahkan pistol tersebut ke arah sang bapak yang tertegun.
Suasana riang yang hangat itu kemudian berubah menjadi dingin yang membekukan.
“Abduh?” tanya sang bapak itu, dengan nada tak percaya dengan apa yang ia lihat.
Sosok pria bernama Abduh mengangguk.
“Silahkan,” kata Abduh kepada sang ibu dan kedua anak perempuannya, ”Lanjutkan makan kalian.” Sang ibu dan anaknya melanjutkan santapannya, dengan lidah kelu yang tak mampu untuk menikmati daging ikan gurami bakar.
Sang bapak itu terdiam dan menelan ludahnya.
“Tentang apa semua ini, Abduh?”
“Kamu sudah tahu tentang apa semua ini, Gani,” jawab Abduh sembari menatap tajam sosok lawan bicaranya itu.
Sang putri sulung menghentikan makannya, menoleh ke arah Abduh, yang tampaknya tak peduli dengan tatapannya.
“Ka... ka... kamu harus me... me... mengerti, Abduh.” Jawab Gani dengan suara terbata-bata,”Kamu harus mengerti situasinya.”
“Mengerti situasi apa? Apa yang harus aku mengerti?”
“Mereka. Mereka menemuiku.” Abduh hanya terdiam mendengar jawaban Gani.
Gani melanjutkan, ”Mereka meminta kasus itu berhenti. Itu bukan keinginanku. Itu keinginan mereka.”
“Apa peduliku?” balas Abduh dengan dinginnya. ”Kamu pikir selama ini aku tak tahu?”
Suasana sunyi mencekam ruangan tersebut. Kedua putri Gani masih menyantap makan malam mereka dengan tidak nyaman. Sedangkan sang ibu di depan mereka hanya menundukkan kepala. Nafasnya tersengal-sengal, menahan isak tangis.
Gani menatap kedua putrinya, kemudian ia menatap istrinya yang menahan tangisannya. Tangannya berusaha menggapai tangan putri dan istrinya itu. Setelah melirikkan matanya ke arah kedua putri dan istrinya, ia menatap ke arah Abduh. Pistolnya masih terarah ke arah dirinya. Abduh membalas tatapan Gani dengan dingin.
Gani berusaha mengeluarkan suaranya. ”Aku mohon,” lirih Gani, ”Aku mohon padamu, Abduh, jangan sakiti keluargaku.”
Abduh hanya diam. Gani melanjutkan perkataannya, ”Keluargaku tidak tahu apa-apa, Abduh. Aku mohon, jangan sakiti mereka.”
“Begitu juga dengan istri dan anakku. Mereka juga tak tahu apa-apa.”
Isak tangis istri Gani semakin keras terdengar.
Abduh mengarahkan badannya mendekati meja sembari ia berkata, ”Sekarang,” dengan nada yang dingin mengiris suasana sunyi yang mencekam di ruangan itu, “Akan kita ketahui, siapa yang akan menemui Allah, dan siapa yang tidak.”
Kemudian, terdengar bunyi desing peluru dalam ruangan itu. Peredam yang terpasang di mulut pistol itu bergesekan dengan peluru yang bergerak dalam kecepatan supersonik, menghasilkan suara peluru yang teredam.
Bunyi desing pertama diikuti dengan bunyi desing yang kedua dan ketiga. Lalu, terdengar suara tubuh yang terjatuh disertai dengan suara kursi yang terjungkal.
Abduh menjauhkan badannya dari meja, dan menghelakan nafas panjang. Ia sampirkan tangan kanannya yang masih memegang pistol ke atas sandarah kursi, yang mulut pistolnya tetap terarah kepada Gani.
***
Abduh menatap ke mejanya yang ternoda oleh abu dari rumahnya ketika ia hendak memaksa masuk ke dalamnya. Celana kain warna abu-abu gelapnya juga telah kotor akibat debu hitam dari rumahnya yang terbakar. Ketika itu, Abduh hendak mencari istri dan anaknya yang ia tinggal di rumah tersebut pada pagi harinya. Api yang melalap rumahnya terlalu besar, dan ketika ia telah masuk ke dalam rumah, api menghalanginya memungut tubuh istri dan anaknya. Ketika petugas pemadam kebakaran telah datang dan menyeret tubuhnya keluar dari rumah, ia tahu sudah terlambat untuk menyelamatkan anak dan istrinya.
Rumahnya hanya menghasilkan puing kayu di sebagian tempatnya. Ia tak lagi mengenali ruangan-ruangan yang sebelumnya menyusun isi rumahnya. Ia melangkahkan kakinya memasuki puing-puing rumahnya. Ia mencari barang-barang yang tampak ia kenali. Namun, tak ada lagi yang ia kenali dari rumahnya. Ia jatuh berlutut, air matanya menetes, membasahi tanah di bawahnya.
Abduh membuka matanya yang masih kabur oleh air matanya. Tatapannya terpaku pada sebuah foto di bawahnya. Sebuah foto kecil tergeletak di tanah. Tangan Abduh meraih foto tersebut, membersihkan pigura kayu yang menimpa foto itu. Abduh menatap foto itu, yang memperlihatkan dirinya dan istrinya, Farah, memeluk putrinya, Asma, sembari tertawa ke arah kamera dengan latar belakang sebuah taman. Abduh ingat sesi foto itu, ketika ia mencoba tertawa, ia merasa kurang nyaman. Farah pernah bilang, senyumnya sering terlihat kaku sehingga membuat rahang dan pipinya agak sakit bila tersenyum agak lama.
Abduh mengambil foto itu, melangkahkan kakinya menjauh dari puing-puing rumahnya, dan terduduk di bawah pohon jambu biji di dekat rumahnya. Ia memeluk foto itu di dadanya, kemudian meneteskan air matanya ke tanah.
Mereka akhirnya menemukan jasad istri dan anaknya. Abduh tak mengenali jasad istri dan anaknya. Ia putuskan untuk duduk di bawah pohon, menyaksikan rumahnya yang kini menjadi abu.
***
Abduh berada di kantornya saat ini. Ia bekerja sebagai jaksa di kejaksaan negeri. Ia memasukkan berkas-berkasnya ke dalam kotak kardus di bawahnya. Jam di kantor itu menunjukkan pukul sepuluh pagi. Suasana kantor masih ramai, namun tak ada satu pun teman kantornya yang menemaninya membereskan berkas-berkasnya. Abduh menganggkat kepalanya, menatap teman sebelah mejanya, Dhani. Namun, Dhani tak menatapnya sama sekali. Biasanya, Abduh dan Dhani sering membahas berita bola terbaru.
Di ruangan itu, tak ada lagi yang menyapa Abduh sejak ia mengurus kasus perdagangan narkoba di kota. Abduh awalnya hanya merasa dirinya yang terlalu sibuk untuk menyusun kasus. Namun, belakangan ia merasa teman-teman kantornya menjauhi dia saat berada di lift, saat makan siang dan bahkan ada yang tidak membalas balik sapaan ketika bertemu.
Ia kemudian mengangkat kardus yang berisi berkas-berkasnya dan berjalan keluar ruangan yang dingin. Dalam perjalanan keluar, ia melewati ruangan kantor kepala kejaksaan kota. Seketika ia teringat adegan minggu lalu, ketika Gani, teman sekaligus kepala kejaksaan kota, memperhentikan kasus Abduh.
“Kenapa kasusku diberhentikan, Gan?” tanya Abduh tak percaya ke arah sahabatnya itu.
“Bukti-bukti kasusnya tidak mencukupi, Abduh.” Jawab Gani. ”Kita tak bisa menahan lebih lama lagi terhadap tersangka kasus kamu. Polisi tak dapat menemukan bukti lainnya.”
“Kita bisa menggunakan kesaksian dari saksi-saksi lainnya. Mereka mampu memberatkan kasus ini. Kita dapat menjeratnya dengan hubungannya dengan tersangka-tersangka lainnya.”
“Aku rasa tak bisa, Abduh. Kasus mafia narkoba ini harus kita tutup. Kita akan dapat masalah bila tak segera menutupnya.”
“Kenapa menjadi masalah, Gani? Kita telah menangkap bos mafia narkoba paling berpengaruh di negeri ini. Kita tak bisa melepaskannya begitu saja.”
“Pengacaranya tadi pagi datang, Abduh.” Balas Gani dengan sengit. "Bila kita tidak membebaskan kliennya, kita akan dituntut di pengadilan yang tak mungkin kita menangkan.”
“Tak bisakah kamu mengulur waktu sebentar lagi, Gan? Ini impian kita sejak di sekolah hukum, membasmi mafia narkoba di kota kita ini, Gan,” pinta Abduh. Bagi Abduh, ia tidak pernah merengek seperti ini. Ia korbankan harga dirinya demi kasus ini.
Namun, Gani hanya menggelengkan kepalanya. ”Maaf, Abduh. Aku tidak bisa melakukannya.”
Abduh menatap Gani dengan perasaan tidak percaya. Gani berjalan ke arah meja, mengeluarkan surat dari lacinya, dan memberikannya kepada Abduh. Abduh menerimanya dan membuka isi surat tersebut. Ia membacanya sekilas, kemudian menatap kembali ke arah Gani.
“Aku diberhentikan?”
“Iya,” ungkap Gani. ”Kamu tidak lolos ujian psikologis.”
Abduh tidak percaya. ”Aku minta hasilnya.”
Gani menggelengkan kepalanya, ”Tidak bisa, Abduh. Rahasia kantor.”
Abduh menatap Gani. Naluri Abduh berusaha meyakinkan apa yang ia duga ini benar. Namun, rasa penasarannya semakin besar, dan perlu ia pastikan.
“Mereka menghubungimu, kan?”
“Aku tidak mengerti apa maksudmu,” kilah Gani.
“Mereka membelimu, dan memastikan aku tidak memegang kasus ini, kan?”
“Kau pikir aku disogok?”
“Iya.”
“Cukup, Abduh!” pungkas Gani. “Itu termasuk penghinaan instansi. Kamu akan aku laprkan ke polisi karena pelecehan nama baik, fitnah tanpa dasar apapun, dan menghalangi proses hukum.”
“Kamu pasti bercanda.”
“Tidak, aku tidak bercanda,” balas Gani dingin, ”Segera pergi dari kantorku. Bereskan barang-barang di mejamu dan jangan pernah menginjakkan kakimu di gedung ini.”
Gani kemudian dengan dingin melangkah pergi, meninggalkan Abduh terduduk di kantor.
***
Petugas polisi mengarahkan Abduh ke sebuah ruangan. Abduh membuka pintu, dan ia melihat dua sosok asing duduk di hadapannya. Ruangan di hadapannya berukuran besar, namun hanya terisi oleh sebuah meja dan tiga kursi. Dinding ruangannya berwarna perpaduan antara kuning cerah dan putih di bawahnya. Tampak ada almari, dispenser, dan ditambah dengan AC yang terpasang di atas dinding ruangan untuk ventilasi udara. Petugas polisi itu kemudian menutup pintu ruangan tersebut, dan meninggalkan Abduh bersama kedua orang di depannya.
Pria di sebelah kanan mengenakan kemeja putih polos berdasi dengan jas hitam, sedangkan pria di sebelah kiri mengenakan baju safari coklat terang. Abduh tidak mengenali mereka berdua. Di atas meja, tampak tumpukan berkas dengan beberapa terbuka di depan kedua orang itu. Sebuah teko besar dan beberapa gelas kertas yang terisi kopi menemani tumpukan berkas itu. Abduh berjalan mendekati meja. Kedua orang itu berdiri.
“Senang bertemu dengan Anda, Tuan Abduh,” kata pria berjas sambil mengulurkan tangannya. Abduh membalas uluran tangannya, diikuti dengan pria di sebelahnya.
“Silahkan duduk.” Abduh menuruti untuk duduk di kursi yang ditunjuk.
Pria berjas hitam mulai membuka percakapan, ”Kami sudah membaca berkas-berkasmu, Abduh.” Ia menolehkan matanya ke arah berkas yang terbuka, kemudian melanjutkan perkataannya, ”Lulusan universitas terbaik, masih muda namun pengalaman kasus besarmu cukup banyak. Kasus terakhir yang kamu pegang adalah kasus mafia kartel, kan?”
Abduh mengangguk. ”Iya benar,” Abduh mengiyakan.
Pria berjas hitam itu menoleh ke arah pria di sebelahnya, “Pengalamannya sudah cukup banyak.” Pria di sebelahnya hanya menganggukkan kepala, dan menatap Abduh.
“Tentang apa semua ini?” tanya Abduh.
“Kami membutuhkan sukarelawan yang berpengalaman dalam bidang hukum dan penindakan dalam masalah mafia kartel,” jelas pria berbaju safari coklat terang. ”Kami sedang mengembangkan penyelidikan mengenai meningkatnya aktivitas mafia kartel di wilayah Asia-Pasifik, dan kami menarik orang-orang berpengalaman untuk membentuk satuan yang berhubungan secara lintas nasional.”
“Apakah kegiatan tersebut didukung oleh negara?”
“Iya, kegiatan ini didukung oleh negara-negara Asia-Pasifik.”
“Apakah pejabat negara-negara saling terlibat terkait dengan hal ini?”
“Iya.”
“Apa tujuan dari satuan lintas nasional tersebut?”
Kedua pria itu saling menatap, kemudian pria berbaju safari itu mengatakan,”Mendramatisirkan reaksi yang berlebihan.”
Suasana seketika berubah menjadi sunyi. Hanya suara mesin AC yang menghembuskan hawa dingin di ruangan tersebut. Abduh kemudian menanyakan suatu pertanyaan yang terpendam sejak ia memasuki ruangan tersebut, “Siapa kalian?”
Mereka saling menatap, kemudian kembali menatap Abduh, ”Kamu tak perlu tahu siapa kami, Tuan Abduh,” jawab pria berjas hitam. ”Kamu cukup tahu apa tujuan kami. Itu yang terpenting saat ini.” Mereka berdua kemudian berdiri, dan berjalan ke arah pintu.
Sebelum pintu terbuka, pria berjas hitam menoleh ke arah Abduh dan berkata, ”Pikirkan dengan matang. Bila kamu ingin bergabung, datanglah ke Hotel Alexandra sebelum jam 10 siang besok.” Kemudian pria berbaju safari membuka pintu dan melangkah keluar dari ruangan tersebut, dan pria berjas hitam itu berjalan mengikutinya.
***
Abduh menatap Gani dengan tatapan dingin. Ia menatap mata Gani, diliputi oleh kengerian yang telah ia lihat. Istri dan kedua anaknya terbujur kaku di sampingnya. Bekas peluru menghiasi tengkorak mereka, noda darah mengalir di lantai, menciprati tembok putih di belakang mereka.
“Apa yang telah kamu lakukan?” tanya Gani kepada Abduh dengan nada ketakutan. Abduh tak menjawabnya.
“Kamu pikir apa yang telah kamu lakukan, binatang?” teriak Gani, berusaha menyembunyikan suara isakannya di balik setiap kata yang ia ucapkan.
“Kamu pikir apa yang kulakukan?” tanya balik Abduh kepada Gani dengan dinginnya.
“Bukan aku yang membunuh istri dan anakmu, Abduh.”
“Apa bedanya sekarang?” tanya Abduh dengan nada tak peduli yang kentara. ”Istri dan anakku mati. Istri dan anak-anakmu juga sudah mati. Mereka kini telah mati, hanya tinggal kita berdua,” ucapnya dengan dingin sambil mengarahkkan kepalanya ke arah jasad istri dan kedua anak Gani.
Gani terdiam mendengar perkataan Abduh, kemudian terlintas di pikirannya.“ Aku akan memberitahu mereka.” Ancam Gani sembari terkekeh senang mengancam Abduh.
“Beritahu siapa?”
“Mereka. Mereka akan mencarimu dan menyiksamu hingga kamu berharap tidak pernah dilahirkan, Abduh.”
Abduh menyunggingkan senyum. Ia teringat perkataan istrinya tentang senyumannya. Senyuman yang dingin.
“Sudah aku habisi mereka!” lanjut Abduh yang membuat Gani terdiam. ”Sudah aku habisi mereka semua. Tempat mereka sudah aku bakar seperti rumahku. Keluarga, teman, rekan bisnis, dan orang-orang yang berhubungan dengan mereka telah aku habisi seperti ketika mereka membunuh istri dan anakku.” Gani terdiam. “Takkan ada yang menolongmu lagi,” tuntas Abduh.
“Mereka mengancamku, Abduh,” ujar Gani membela dirinya. ”Mereka mengancamku dan keluargaku.”
“Dan itu pembelaan terbaikmu?” tanya Abduh. ”Itu pembelaan terbaikmu setelah aku kehilangan keluargaku karena mereka?” Nada getir menghiasi kata-kata yang keluar dari Abduh.
“Jika kamu mengatakan aku binatang,” lanjut Abduh sembari menggaruk pelipisnya yang gatal, ia denguskan nafasnya, ”maka kamu pantas disebut sebagai penyakit, Gani. Kamu, sama orang-orang di belakangmu, pantas dibasmi seperti penyakit yang mudah menyebar. Dan aku adalah binatang yang membasmi penyakit seperti itu.” Gani terdiam mendengarnya. Wajahnya kini diliputi oleh kengerian, air mukanya berubah menjadi ketakutan.
“Lanjutkan,” perintah Abduh, ”Lanjutkan makanmu.” Gani mencoba mengangkat sendok yang tanpa disadarinya telah ia cengkram dengan begitu erat hingga tangannya memutih.
Abduh menembakkan pistol Glock 19-nya ke arah Gani. Desing peluru memecah sunyi ruangan itu, diikuti suara daging yang tertembus oleh peluru. Gani mencengkram lehernya. Peluru itu mengenai tenggorokannya. Gani mencoba mengambil nafas, tapi ia tak bisa. Udara tak mau masuk ke dalam paru-parunya. Ia tak bisa bernafas.
Abduh beranjak dari kursi. Ia berdiri mengarahkan pistolnya ke kepala Gani. Gani menatap sekilas ke arah Abduh. Abduh menatapnya dengan dingin dan penuh dendam. Amarahnya bersatu dengan perasaan kejam dari dendam yang ia rasakan. Ia tarik pelatuk pistol untuk menuntaskan dendam ke arah sahabatnya tersebut. Bersamaan dengan peluru yang terlepas dari mulut pistol itu, terlepas sudah ikatan amarah dalam diri Abduh.
Abduh berjalan keluar dari rumah, melangkahkan kakinya menyambut malam. Sembari melangkahkan kakinya, Abduh sembari membayangkan kasur yang nyaman di kamar hotel. Ia tak punya rencana untuk hari esoknya. Dengan tenang, ia bayangkan betapa indahnya mimpi yang akan ia alami dalam tidurnya yang panjang. Kini, Abduh dapat tidur tanpa terganggu oleh mimpi buruknya lagi.
TAMAT
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.