OPOR

OPOR

OPOR

Kalian semua tahu opor, kan? Masakan (yang katanya dari Jawa) berkuah santan yang populer setahun sekali pas hari raya Idul Fitri. Pada hari itu, di hampir di semua rumah di Jawa, bisa kita temukan masakah ini, biasanya berisi daging ayam, untuk teman makan ketupat. Sudah menjadi tradisi yang turun temurun bahwa masakan ini adalah yang paling cocok dimakan bersama keupat. Kalian boleh setuju, boleh pula tidak setuju, tapi kenyataannya memang opor selalu mucul bersama ketupat di hari Lebaran. Nah cerita saya ini memang ada hubungannya dengan opor di hari Lebaran.

Perlu saya katakan bahwa saya bukan ahli masak, jauh dari itu. Saya memasak karena harus memenuhi kewajiban saya sebagai ibu rumah tangga. Di masa-masa awal perkawinan kami, memasak nasi saja sudah sulit buat saya. Maklum, sebagai generasi baby boomer, pada masa itu rice cooker adalah barang mewah. Saya harus merebus beras sampai setengah matang kemudian mengukusnya. Saya sering “terpeleset” di tahap itu, karena nasi aron menjadi setengah gosong gara-gara kurang diaduk. Jangan lagi bicara soal masak lauk. Sekali waktu saya membuat sayur asem dengan bumbu coba-coba. Saya mencicipi, ah kurang asem, jadi saya tambah asemnya. Dicicip lagi, ah, kurang gula, jadi saya tambah gulanya. Suami saya awalnya senang karena saya sudah “bisa” masak. Ketika mencicipi sayur asem buatan saya itu, dia memandang saya dan bertanya “ini sayur asem atau wedang asem?”  

Kebayang kan gimana susah payahnya saya mencoba memenuhi kebutuhan keluarga (anak saya 3 orang) untuk lauk sehari-hari. Apalagi suami saya punya seorang adik perempuan yang jago masak dan tinggal tidak jauh dari rumah kami. Ya saya tahu diri lah, tidak akan pernah saya mencapai level dia dalam hal masak-memasak. Saya mencoba menikmati saja kalau dia mengirim lauk dan suami saya memuji-muji masakan adiknya. Dia bahagia, ya, saya juga bahagia dong.

Tahun-tahun berlalu dan pada suatu sore menjelang malam takbiran, kami duduk bersama di meja makan menikmati buka puasa terakhir. Sudah ada ketupat dan tentu juga opor ayam yang saya masak sendiri dengan bersimbah peluh sejak lepas lohor. Kelihatannya suami menikmati masakan saya dan saya merasa senang. Belum selesai kami makan, ada yang mengetuk pintu, ternyata hantaran makanan dari adik ipar saya. Saya pun bersiap untuk ikut memuji masakan sang adik, karena suasana nyaman yang sudah terbangun harus terus dijaga. Opor ayam buatan adik ipar ditaruh di wadah, suami saya mengamibil kuahnya sesendok, dan mencicipinya. Tanpa memandang saya, dia berkata “aku lebih suka opor yang kamu masak”.

Subhanallah … hampir dua puluh tahun kami menikah, itu adalah pujian terindah yang saya dengar dari suami saya. Tidak akan pernah saya lupakan sampai kapan pun. Walaupun kini dia sudah hampir dua belas tahun meninggalkan kami, setiap malam takbiran saya masih selalu ingat akan ucapannya itu. Al Fatihah untuk suamiku.

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.