RINDUKU SEDERHANA, TAPI MENJADI RUMIT KETIKA JATUH KEPADAMU

RINDUKU SEDERHANA, TAPI MENJADI RUMIT KETIKA JATUH KEPADAMU
Foto : Pinterest

 

Setiap datang senja, debar dadaku memburu, entahlah. Aku begitu menyukai senja yang konon banyak menyimpan cinta dalam bara jingganya. Tapi bukan itu, bukan, kurasa senja lebih dari itu. Menyediakan sedikit waktu bagi ingatan untuk sekadar singgah di kepala. Ya, ingatan tentang seseorang yang padanya rindu sederhana menjadi begitu rumit. Sungguh rumit, kau tahu.
Beberapa hal sulit kumengerti, seperti gerimis yang jatuh tiba-tiba kali ini. Rindu lagi. Rumit yang semakin. Tiris gerimis. Gugur daun-daun. Tak ada kopi. Tak ada apa-apa. Yang bisa kulakukan hanya menjamu sepi dan rindu yang sungguh tak perlu. 

Pukul tujuh aku punya janji, seorang teman meminta untuk menemani ke toko buku. "Banyak buku yang harus dibeli." katanya. Tapi gerimis ini membuatku malas beranjak. Ah teman, maukah kau sedikit mengulur waktu, untukku merawat rindu. 
Ponsel bernyanyi, All I Ask – Adele. Sedikit malas kuangkat. Sebuah pesan, "Kita berada di tempat yang berbeda, tapi kurasa kita sedang memandang langit yang sama. Ada kita dalam senja."
Entah mengapa terasa sesak di dada. Sial, aku menangis. 

Sabtu malam menuju larut, kuterka sesuatu. Gerimis akan datang lagi, langit terlalu pekat, tak mampu kulihat senyum rembulan meski samar. Gaduh kepalaku mencari bayanganmu yang tak kutemukan seharian ini. Di atas meja, pandanganku jatuh pada sebuah buku, sedikit gemetar kubuka halaman pertama. Ada namamu dan sebuah tulisan tangan bertinta biru, warna kesukaanmu. "Jatuh cintalah, sayang, serupa daun pada angin, serupa udara dalam paru-parumu. Ini tak serumit yang kita pikirkan." Ah sial, lagi-lagi aku menangis.  

 

*

 

Di bangku kayu kedai kopi kunikmati senja ke sekian, tanpamu. Kali ini langit lebih terang dari biasanya. Tapi rupanya kehilangan lebih terang dalam ingatan. Di sana kukenang kau sebagai suatu pertanyaan yang tak butuh jawaban. Sebab aku paham, mencintaimu itu sederhana, yang rumit adalah menghentikan rindu yang beranak pinak di dada. 
Sayang, ini menyesakkan. Sangat menyesakkan. Kau mungkin tak akan mengerti, putaran waktu yang pernah kita habiskan bersama tak pernah berhenti berputar di kepala. Aku menginginkannya kembali. Sekali saja, cukup. 

Satu jam berlalu, sebuah intro lagu lama membuat pandanganku beralih dari jendela besar di sebelah tempatku duduk, kepada seorang laki-laki yang memainkan piano organ di bagian depan kedai. Aku mengenal baik lagu ini, "I said I love you and that’s
forever. And this I promise from my heart. I couldn’t love you any better. I love you just the way you are..."

Aku tersenyum yang bukan untuk siapa-siapa, sebab hanya ini yang bisa kulakukan untuk menenangkan diri. Dadaku berdebar, untuk sesuatu yang tak kumengerti mengapa. Dari dalam pantry seorang perempuan muda mendatangiku, tersenyum, mengangguk
dan menyerahkan sebuah amplop merah hitam bergambar sepasang tangan saling menggenggam. Sedikit ragu-ragu aku menerimanya, menimangnya sebentar dan membaliknya mencari siapa pengirimnya, tapi tak ada. Kusobek pinggiran amplop,
lalu membaca empat lembar surat dalam kertas biru muda.

 

 

Dear, Dien

Dien, saat membaca surat ini kutebak kau sedang tak baik-baik saja, meski selalu saja harapku kau dipeluk bahagia, tanpa aku di sisimu. Masih kau kenakan jaket parka merah marun kesukaanmu? Ini musim hujan, sayang, setidaknya jagalah hangat tubuhmu
dari dingin cuaca. 

 

Dien, apakah dengan menghindari pertemuan kita akan terbebas dari pedihnya perpisahan?  Apakah sebaiknya kita tidak bertemu agar tak satu kali pun menyambut apa itu kehilangan? Apakah kita, kau, aku? Apakah semua itu? 
 

Hari yang tiba akan mengunci langkahmu, bayang-bayang berkumpul membentuk sepasang langkah yang pergi. Kesunyian ini mengunci bibirku, terangkum singkat dalam ucapan selamat tinggal. Dan kau mengunci ingatan. 
Akankah semestinya kita saling melupakan? Kau menyematkan janji, mengokohkan hati. Katamu, aku akan baik-baik saja meski tanpamu. Dan usahamu itu tidak akan pernah berhasil, sayang. Kau pergi, dan aku akan gagal untuk tetap baik-baik saja. 

Aku mungkin saja dapat mengulur waktu, namun aku tak mampu menghentikan langkah hatimu. Tentangku sudah kau tutup rapat. Dan kepergianmu mematahkan segala yang masih tersisa di hatiku, yang sialnya kuberikan hanya kepadamu. 
Aku bodoh dalam memaafkan. Semestinya tak kuampuni segala yang menyakitkan. Tapi terkadang, pada tengah malam yang beku, wajahmu sering kali datang. Dan buatku mengulang atas apa yang tak sebaiknya terjadi lagi. 
Seperti mencoba keras melupakanmu. Seperti menghapus bayang air matamu yang terjatuh di pipiku. Seperti melelapkan tidurku di dalam mimpimu. 

 

Dien, hari ketika hujan adalah hari yang berat untukku. Sebab aku tak melihat apa-apa selain seseorang dengan wajah bersedih berjalan menunduk. Baginya jalan yang terbentang di ujung sana adalah pintu perpisahan. Di mana ada lorong tak terlihat yang
mempunyai kekuatan untuk menarik kita. Aku ke dalam sini, dan kau ke luar sana. Jangan pernah membayangkan itu, karena sungguh menyakitkan. 

 

Dien, bolehkah aku mengenang sesuatu? 
Hari itu, sore dengan gerimis yang rintiknya cukup untuk membasahkan baju kita, kau bersamaku. Atau lebih tepatnya aku bersamamu. Atau lebih baik kita bersama. Kita duduk menunggu hujan berhenti, padahal kau menjemputku membawa payung.
Namun kau tak tahu, bahwa aku tak henti-hentinya berdoa agar hujan ini tak segera reda. Bahkan jika sampai esok tetap jatuh dan semakin deras, aku tak apa. 
Aku hanya ingin lebih lama. Usai itu kau mengatakan sesuatu yang hingga kini tak kulupa. "Percayalah. Suatu saat nanti ketika hujan, kau hanya akan mengingatku. Juga kenangan ini." 

 

Dien, hari-hari ini mungkin tak bermakna lagi tetapi harus kulewati. Setiap pagi harus selalu kubohongi bahwa hanya ranjang tidurku saja yang berantakan, hari-hari ke depan yang tanpamu tidak. Ya, mungkin aku hanya belum terbiasa, tetapi sepertinya waktu tidak akan bisa menyembuhkan. Aku tak seyakin itu.
Sesungguhnya seluruh puisi yang menguatkan segala macam rasa sakit dalam perpisahan hanyalah tipuan. Ia tak pernah ada, sebab hanya kau penawarnya. 

 

Dien, ketika aku menuliskan surat ini hujan sedang deras-derasnya. Dan aku masih ingin menuliskan ribuan kata untuk kau baca. Sebelum hujan reda, sebelum segalanya tiada, sebelum percakapan-percakapan menjadi sunyi di atas meja. 

 

 

Love, Be

 

 

***

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.