Bahasa, Soal Manusia Memandang Diri dan Dunia
Peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional cocok dijadikan titik refleksi, sejauh mana masyarakat dan negara memperlakukan bahasa.
Sejak tahun 2000, berbagai negara di dunia memperingati 21 Februari sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional (HBII) setelah PPB menetapkannya pada 17 November 1999. Tanggal itu dipilih untuk menghormati korban Gerakan Bahasa Bengali, suatu gerakan yang dilakukan oleh sejumlah mahasiswa dan aktivis pada tahun 1950-an di Pakistan Timur.
Gerakan Bahasa Bengali tak bisa dilepaskan dari sejarah lahirnya negara Pakistan dan Bangladesh. Tahun 1947 Pakistan memperoleh kemerdekaan dari Imperium Britania Raya. Kala itu wilayah Pakistan terbagi dua, Pakistan Barat (sebelah barat India, kini menjadi Republik Islam Pakistan) dan Pakistan Timur (sebelah timur India, kini menjadi Republik Rakyat Bangladesh).
Dua wilayah ini sepenuhnya berbeda secara geografis dan budaya, termasuk bahasa. Satu hal yang menyatukan mereka adalah agama. Mayoritas penduduk di kedua wilayah sama-sama beragama Islam.
Setahun setelah berdiri, Pemerintah Pakistan, yang dikuasai penutur bahasa Urdu dari Pakistan Barat, mendeklarasikan bahasa Urdu sebagai satu-satunya bahasa nasional Pakistan. Penduduk Pakistan Timur yang merupakan penutur bahasa Bengali keberatan dan melakukan melakukan berbagai aksi protes. Demi memperjuangkan aspirasinya, pada tahun 1951 mereka mencetuskan Gerakan Bahasa Bengali.
21 Februari 1952, sejumlah mahasiswa Universitas Dhaka dan aktivis politik melakukan demonstrasi menuntut diakuinya bahasa ibu mereka sebagai bahasa nasional. Dalam situasi kacau dan makin memanas, sejumlah demonstran ditembaki aparat keamanan hingga meregang nyawa.
Tahun 1956, Pemerintah Pakistan akhirnya mengakui bahasa Bengali sebagai bahasa nasional. Namun, keributan antar penutur bahasa Urdu dan Bengali tak juga mereda. Puncaknya, tahun 1971 pecahlah Perang Kemerdekaan Bangladesh yang lantas melahirkan sebuah negara berdaulat berpenduduk mayoritas penutur bahasa Bengali, Republik Rakyat Bangladesh.
Tahun 1998, seorang ahli bahasa, sastra, dan budaya Bengali, Rafiqul Islam dan Abdus Salam, seorang insinyur kelautan berdarah Bengali yang tinggal di Kanada, mengusulkan kepada Sekretaris Jenderal PBB Kofi Anan untuk membuat peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional.
Selain demi melestarikan dan menghormati bahasa ibu, peringatan ini dianggap penting demi terpupuknya sikap toleransi. Tragedi berdarah Gerakan Bahasa Bengali janganlah sampai terulang kembali.
Usul itu diterima. Tanggal 17 November 1999 PBB menetapkan 21 Februari sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional merujuk pada peristiwa berdarah Gerakan Bahasa Bengali di Dhaka pada tahun 1952.
Komposisi Bahasa
Bahasa ibu tidak sama dengan bahasa daerah. Bahasa ibu adalah bahasa pertama yang dikenal seseorang untuk berkomunikasi di lingkungan keluarga. Dalam konteks Indonesia, bahasa daerah merupakan istilah yang merujuk pada bahasa yang digunakan suku bangsa tertentu untuk berkomunikasi dengan sesamanya.
Namun, karena pada umumnya bahasa yang kali pertama diperkenalkan adalah bahasa daerah, maka bahasa ibu seringkali dimaknai sebagai bahasa daerah. Anggapan ini tentu masih bisa diperdebatkan, terlebih jika melihat kondisi zaman kini, khususnya di perkotaan.
Karena sejumlah alasan, para orang tua yang lingua franca masa kecilnya bahasa daerah lebih sering berkomunikasi dengan anaknya menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa Inggris meski mereka masih fasih berbicara bahasa daerah.
Akibat kondisi ini, bahasa daerah tergeser menjadi bahasa ketiga setelah bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Di beberapa kelompok masyarakat, bukan bahasa Inggris, tapi bahasa Arab yang menjadi bahasa kedua. Alasannya, agama. Dulu, sebelum bisa berbahasa Indonesia dan bahasa asing, anak-anak pasti terlebih dahulu menguasai bahasa daerah. Kini, kondisinya terbalik.
Demi melestarikan bahasa daerah, tidak mungkin juga negara memaksa para orang tua untuk menggunakan bahasa daerah ketika berkomunikasi dengan anaknya atau ketika berada di lingkungan keluarga. Janganlah lagi negara menambah panjang daftar intervensinya ke ranah privat warga negara.
Yang masih mungkin, negara menganjurkan penggunaan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) di lembaga-lembaga pendidikan negeri. Selain sebagai upaya pelestarian, hal ini juga akan mendorong bahasa daerah berkembang sebab mau tak mau musti beradaptasi secara langsung dengan “bahasa akademik dan ilmiah” yang—sebagaimana diketahui bersama—nota bene bersumber dari belahan bumi bagian barat.
Bahasa daerah yang diyakini memiliki kekayaan ungkapan rasa akan berjumpa dengan bahasa ilmiah yang cenderung dingin, rigid, dan baku. Bisa dibayangkan betapa asiknya belajar teori relativias Einstein, fisika kuantum, atau biologi molekuler menggunakan bahasa Sunda Ciamisan, umpamanya.
Hal ini tentu bukan tanpa masalah. Pelajar-pelajar pindahan atau “anak rantau” yang bukan penutur bahasa daerah tempat ia menimba ilmu akan kesulitan. Pada praktiknya, kebijakan ini tentu harus menimbang banyak aspek. Salah satunya, komposisi pelajar di lembaga bersangkutan berdasarkan penguasaan bahasa daerah setempat.
Di kota-kota besar atau di lembaga pendidikan tinggi yang pelajarnya berasal dari berbagai suku bangsa yang ada di Indonesia, agak sulit menerapkan kebijakan ini. Tapi di daerah yang komposisi pelajarnya cenderung homogen, hal ini masih memungkinkan.
Hal lain yang mungkin dilakukan negara adalah upaya penerjemahan buku-buku tertentu ke dalam bahasa daerah. Misalnya saja, menerjemahkan buku populer Sapiens, A Brief History of Humankind karya Yuval Noah Harari ke dalam bahasa Bakati’ (Kalimantan Barat).
Pertanyaan besar dibalik semua upaya tersebut adalah tepatkah komposisi bahasa yang kini berlaku di Indonesia? Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa kini bahasa daerah telah menjadi bahasa ketiga, atau bahkan keempat, dalam kehidupan keseharian masyarakat perkotaan di Indonesia. Hidup di Indonesia hari ini berarti hidup di antara bahasa Indonesia (bahasa nasional; bahasa pemersatu; lingua franca masyarakat di perkotaan), bahasa Inggris (bahasa internasional; bahasa ilmiah/akademik; bahasa “keren-kerenan”), bahasa Arab (“bahasa agama mayoritas”), bahasa daerah (lingua franca masyarakat di daerah), dan bahasa asing selain Inggris dan Arab (dipelajari untuk kepentingan tertentu).
Meski pada akhirnya kelangsungan dan kelestarian suatu bahasa sangat dipengaruhi oleh penuturnya, namun dalam konteks Indonesia yang majemuk dan hibrid, negara perlu memikirkan racikan komposisi bahasa yang pas demi terwujudnya manusia Indonesia yang utuh.
Bahasa Adalah Alam Pikir Manusia
Bahasa menentukan bagaimana alam pikir manusia bekerja. Atau dalam formula lain, bahasa mencerminkan bagaimana seseorang berpikir. Bahasa Sunda mengenal sejumlah istilah untuk menyebut kegiatan yang dalam bahasa Indonesia disebut makan.
Tuang bermakna ‘Anda makan’. Neda bermakna ‘saya makan’. Dahar bermakna makan namun dengan kesan tertentu, bisa terkesan akrab atau kurang sopan dalam situasi tertentu. Madang juga bermakna makan dengan kesan tertentu: akrab, tidak sopan (lebih tidak sopan dari dahar), bahkan kurang ajar. Ada pula kata nyatu (kata makan untuk hewan), tetegek, jajablog, ngalebok, dan lain sebagainya.
Satu kata bisa memiliki banyak kesan, tergantung siapa berbicara kepada siapa dalam situasi apa. Secara umum kata tuang memiliki kesan sopan, namun bisa pula terkesan kaku bila diucapkan dalam situasi obrolan akrab antar teman sebaya. Sebaliknya, kata madang bisa mengesankan keakraban yang sangat ketika diucapkan oleh seorang sahabat alih-alih kurang ajar.
Apakah hal ini mengindikasikan alam pikir urang Sunda yang feodal? Boleh jadi. Tapi, boleh jadi juga hal ini menunjukan betapa urang Sunda dibina untuk selalu peka terhadap situasi dan selalu mawas diri. Keliru memilih kata antara dahar dan tuang berpotensi membuat jamuan makan meninggalkan kesan yang tidak menyenangkan.
Bahasa tidak lahir dari dan di ruang kosong. Padanya berkelindan etika, filosofi, sentimen politik, dan lain sebagainya. Bahasa adalah representasi alam pikir. Bahasa adalah cara manusia mempersepsi dirinya dan dunia. Adalah weltanschauung. Mengapa istilah kesatu (first) dan kedua (second) dalam bahasa Inggris jauh berbeda dengan ketiga dan seterusnya (third, fourth, fifth….)? Tentu ini berkaitan dengan cara pandang penutur bahasa Inggris hal ihwal awal/pertama/kesatu dan “hal lain” yang “ada” setelahnya.
Karena demikian dahsyatnya bahasa, sangat beralasan ketika bangsa Bengali keukeuh agar bahasa ibunya diakui sebagai bahasa nasional Pakistan disamping bahasa Urdu. Hal ini bukan semata-mata perkara “dengan bahasa apa Anda berkomunikasi”. Lebih dari itu, kedaulatan bahasa adalah juga adalah martabat dan harga diri bangsa; politik, sejarah; menyangkut aspek sosiologis, psiko-sosial, antropologis; dan secara umum hal ihwal manusia sebagai satu-satunya mahluk berbudaya.
Hatur nuhun urang Bengali.
Hatur nuhun Bah Rafiqul Islam kalih Bah Abdus Salam.
Wilujeng miéling Poé Basa Indung Internasional!
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.