Sego, Sangu, Sagu

Sego, Sangu, Sagu
Papeda dan lauk-pauknya - Foto: Gunawan Kartapranata di Wikipedia
 
Orang Jawa menyebutnya sego, masyarakat Sunda mengatakannya sangu. Semua tahu soal itu. Tapi, tahukah kita bahwa sego dan sangu adalah kata turunan dari kata sagu? Ya, betul, sagu yang itu tuh..., yang selama ini kita kenal sebagai bahan makanan pokok masyarakat di banyak tempat di Indonesia Timur. Semisal di Maluku dan Papua, yang mengenal berbagai olahan sagu di antaranya papeda.
 
"Papeda!? Enak dimakan dengan kuah kuning!" seru seorang teman.
 
Secara pribadi, sulit bagi saya untuk bisa menelan papeda yang basah itu. Bukan karena penampilannya yang bagaikan lem kanji di kantor pos pada masa saya kecil. Tapi, karena sulit bagi saya untuk memutus papeda yang menggelantung di antara piring dan mulut. Sekian bulan saya pernah hidup di pedalaman Pulau Seram, jangankan jadi jago seperti beberapa teman saya, menguasainya sedikit pun tidak. Ketika setelah dengan susah payah berhasil memutuskannya pun, menelannya adalah kesulitan yang datang kemudian.
 
Karena sifatnya yang lengket begitu, mengambil papeda dari mangkuk besar ke piring makan tak bisa dilakukan dengan centong seperti yang kita pakai untuk mengambil nasi. Harus dilakukan dengan menggunakan sepasang garpu besar berjari dua, yang dipegang satu di tiap tangan kita. Garpu ini biasanya terbuat dari kayu, bambu, atau pelepah daun sagu. Di Papua disebutnya hiloi, nama lainnya adalah gata-gata.
 
Caranya adalah, dengan menusukan sepasang hiloi tersebut secara bersamaan ke papeda. Angkat hiloi secara bersamaan juga, dan lalu lakukan gerakan memutar dengan kedua tangan sampai papeda putus dari induknya. Papeda yang menggumpal di hiloi kemudian didorong dengan cara khusus ke dalam piring. Dapatkah kamu membayangkan proses yang kuceritakan ini? Kalau ya, terlihat unik sekali, bukan?
 
Kembali ke saat saya berada di Puau Seram, untungnya di sana ada alternatif lain dalam mengolah sagu di dapur. Disangrai bersama parutan kelapa sampai keduanya kering dan bercampur dengan baik. Dimakan seperti nasi, bersama lauk pauk apa saja yang tersedia. Bisa juga ditaburi gula aren. Ah, sedapnya bukan buatan! Di Wakatobi, tepatnya di Pulau Kadelupa, sagu kering seperti ini disebut sinole.
 
Ada lagi bentuk sagu kering yang kusuka juga. Disebut sagu lempeng atau sagu bakar. Warnanya kecoklatan cenderung jambon. Bentuknya, meski tak terlalu mirip, mengingatkan saya pada kue pukis. Tipe sagu yang satu ini biasanya dinikmati bersama teh atau kopi. Saat sarapan atau di kala santai sore hari.
 
Cara makannya unik dan seru, dengan dicelupkan ke dalam teh atau kopi kita. Timing perendamannya harus pas. Kalau terlalu cepat diangkat, cairan belum meresap dengan baik sehingga sagu terasa masih agak kering dan ambyar di mulut. Kalau kelamaan, bisa-bisa mrotol di dalam teh, atau dalam perjalanan ke mulut sehingga berantakan mengotori baju.
 
Di Asmat, Papua, sagu dibentuk menjadi seperti bola besar yang kemudian dibakar sampai menghitam. Bentuk bola itu memudahkan sagu untuk dibawa-bawa, semisal saat berburu ke hutan atau saat mengadakan perjalanan lain yang memakan waktu sampai berhari-hari lamanya. Dikonsumsinya dengan cara lapisan luar yang sudah dibakar tersebut dikopek, sampai lapisan putih di dalamnya terlihat lagi. Bagian putih itu kemudian dibakar lagi, dan begitu seterusnya.
 
Berbeda dengan tanaman makanan pokok lainnya seperti padi, jagung, atau ketela; pohon sagu tidak dibudidayakan secara khusus. Ia pun tumbuh di hutan, bukan di kebun. Bisa sebagai tanaman liar, bisa juga memang sengaja ditanam. Umur sepokok pohon sagu untuk bisa dipanen adalah sekitar 8-12 tahun, dengan rata-rata tinggi batang pohon yang sudah mencapai sekitar 10-11 meter.
 
Proses menokok sagu dapat memakan waktu sampai beberapa hari di dalam hutan sagu. Masyarakat tradisional biasanya melakukannya bersama keluarga batih-nya. Mereka tinggal di hunian sementara yang di Asmat dan di Pulau Seram disebut sebagai bivak. Air yang sangat banyak diperlukan pada saat memproses tepung sagu. Tapi, biasanya tak sulit diperoleh karena hutan sagu selalu berada di daerah basah atau rawa-rawa.
 
Pertama yang harus dilakukan para penokok adalah menebang batang pohon sagu. Batang tersebut kemudian dipotong menjadi beberapa bagian, dan lalu bagian dalamnya dihancurkan sampai menjadi serpihan. Serpihan inilah yang kemudian dicampur dengan air, diuleni seperti kita menguleni kelapa parut, dan lalu disaring berulang-ulang sampai diperoleh pati sari sagu. Alat penyaringnya bisa berupa kain, atau serat tertentu yang dapat diperoleh pada pelepah daun sagu.
 
Secara tradisional alat kerja untuk memanen sagu cenderung memanfaatkan apapun yang dapat diperoleh dengan mudah di alam. Kecuali alat potong batang pohon seperti kapak, yang di masa moderen ini malah mulai digantikan dengan chainsaw oleh beberapa orang yang mampu membelinya.
 
Baiklah. Bila sagu dikenal sebagai bahan makanan pokok di bagian timur Nusantara atau Indonesia, pertanyaannya adalah; bagaimana mungkin bahwa kata sagu merupakan akar kata dari kata sego dan sangu?
 
Ya mungkin saja, karena sejatinya sagu juga merupakan bahan makanan pokok orang di Indonesia bagian barat, atau setidaknya pernah. Padi atau beras merupakan bahan makanan yang didatangkan ke Nusantara pada waktu yang kemudian. Pakar Independen Ahli Bioteknologi dan Agroteknologi, Nadirman Haska, melalui penelitiannya berhasil mengungkapkan bahwa pohon sagu adalah tanaman asli Indonesia.
 
Pendapat Nardiman yang juga pakar di BPPT ini diperkuat dengan ditemukannya relief pohon sagu di Candi Boribudur, sebuah candi di Jawa Tengah yang berlatar belakang agama Buddha. Penemuan ini mempekuat kemungkinan dari teori bahwa sagu adalah makanan pokok asli Indonesia, sebelum beras yang asalnya dari India berpenetrasi ke Nusantara. Bahwa kata sego di Jawa dan kata sangu di Sunda mulanya adalah sagu pun, sudah menjelaskan bahwa sagu sebetulnya juga dikonsumsi di tanah Jawa.
 
Disebutkan oleh berbagai sumber, bahwa ada bukti kuat yang mendukung pendapat bahwa sagu merupakan makanan asli Indonesia. Juga diperkirakan bahwa pada zaman kerajaan Buddha tanaman sagu merupakan salah satu tanaman penunjang kehidupan.
 
Patut juga disimak adalah isi dari prasasti Talang Tuo yang ditemukan di Kelurahan Talang Kelapo, Kecamatan Alang-Alang Lebar, Palembang, Sumatera Selatan; oleh Louis Constant Westenenk pada 17 November 1920. Prasasti ini berasal dari jaman Kerajaan Sriwijaya yang dikenal sebagai salah satu pusat penyebaran agama Buddha.
 
Prasasti yang kini berada di Museum Nasional Indonesia, Jakarta Pusat, tersebut bertarikh 606 Saka atau 684 Masehi. Isinya antara lain menceritakan tentang seorang raja Sriwijaya yang bernama Dapunta Hyang Sri Jayanasa, dan menerangkan tentang pembangunan Taman Sriksetra. Di taman tersebut, yang berada di sekitar kanal atau sungai kecil, ditanam berbagai pohon yang dapat dimakan dan dimanfaatkan. Di antaranya adalah pohon sagu.
 
Sampai sekarang, meski tak banyak, di beberapa lokasi di Kota Palembang masih dapat ditemukan tanaman sagu yang secara alami tumbuh di pinggir-pinggir sungai.   =^.^=
 
 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.