Ahmad Fuadi dan Ranah 3 Warna
Baru semalam saya nonton film yang dibuat dari tulisan Ahmad Fuadi dengan judul yang sama. Saya bukan sengaja ingin menontonnya, tetapi karena membaca promo di grup WA kelas menulis Fuadi dimana tiket film hanya seharga 10 ribu rupiah apabila pembelian dilakukan menggunakan aplikasi M-tix.
Entah mengapa saya kurang suka menonton film lokal. Saya yakin banyak film lokal yang bagus, tetapi ketika acara televisi yang disebut sinetron masih muncul di layar kaca, bagi saya semua film seperti itu, termasuk film layar lebar. Begitu juga dengan film Ranah 3 Benua ini. Paling sama saja. Film ini merupakan adaptasi dari novel tulisan Ahmad Fuadi dengan judul yang sama.
Saya juga bukan penggemar novel lokal. Selain tulisan yang dibuat oleh Pram, saya anggap semua novel lokal biasa saja. Mungkin tulisan Gabriel Possenti Sindhunata itu agak beda, yaitu novel berjudul Anak Bajang Menggiring Angin. Itu pun saya ingat membacanya ketika dalam perjalanan kereta api di Ekspedisi Jelajah Jawa Timur sebelum saya lulus kuliah puluhan tahun lalu. Tidak ada pilihan buku bacaan lain.
Saya menyadari memandang sebelah mata karya anak bangsa bukan hal yang bagus dan pasti akan diomeli pemilik Maspion yang dalam iklannya berkata "Cintai ploduk-ploduk dalam negeli". Bodo amatlah. Itu soal selera.
Saya masih ingat ketika jaman kuliah itu cuma menganggarkan pembelian buku untuk novel yang menerima penghargaan Nobel Sastra. Lainnya, termasuk 7 seri Harry Potter, membaca tanpa membeli. Entah meminjam teman atau ndepil, mojok di toko buku Gramedia. Jadi kalau di kamar kos Alif dan Randai itu ada banyak buku, mereka mahasiswa yang beruntung. Gak banyak mahasiswa yang punya kemewahan seperti itu.
Novel Ahmad Fuadi yang berjudul Negeri 5 Menara (N5M) & Ranah 3 Warna (R3W) belum saya baca. N5M saya beli bukan untuk saya baca, tapi untuk saya berikan kepada orang lain. Saya justru tahu isi kedua novel itu dari penulisnya langsung ketika mengikuti kelas menulis Fuadi.
Selesai mengikuti kelas menulis Fuadi. Saya cari materi-materi yang dia bawakan di YouTube. Ahmad Fuadi sendiri menurut saya profil yang menarik. Ia santri sekaligus akademisi. Gelar Master dia dapat dari beberapa perguruan tinggi di luar negeri. Pondok pesantren tempatnya menimba ilmu pun bukan kaleng-kaleng, apalagi pondok pesantren yang membuat santrinya jadi aneh, tapi pondok pesantren Gontor.
Dari apa yang saya temukan di YouTube dan pelatihan menulis Fuadi. Sebenarnya semua cerita itu dari pengalaman Kang Fuadi sendiri. Saya menyebutnya "Kang" seperti menyebut "Senpai" di dojo. Saya anggap kakak kelas gitu. Bedanya kalau dia pesantren Gontor, kalau saya pesantren kilat. Saya ingin menyebutnya Gus, tapi apa ia anak Kyai. Saya enggan googling.
Apabila novel N5M memiliki ruh Man Jadda Wajadda, yang artinya “Barangsiapa yang bersungguh-sungguh maka dia yang akan berhasil", maka di R3W ini ruhnya adalah Man Shabara Zhafira berarti “Barangsiapa yang bersabar maka dia yang akan beruntung,”. Keduanya berasal dari bahasa Arab dan menjadi pepatah yang diulang-ulang bagi para pelajar, khususnya santri. Untuk santri lho ya, bukan Kyai. Kyainya sudah pada pinter-pinter.
Film R3W semalam tidak terlalu mengecewakan. Bukan karena karena saya membeli tiketnya dengan harga yang murah, tapi memang ceritanya cukup kuat. Film itu menggambarkan tentang kisah anak muda Minang bernama Alif Fikri (Arbani Yasiz) yang bercita-cita sekolah di luar negeri, yaitu Amerika. S1-nya ia jalani di Universitas Padjajaran, Bandung.
Saat kuliah di Unpad, Alif kenal dan dengan jatuh hati pada Raisa Kamila (Amanda Rawles). Sayang Raisya sudah jadi gebetan Raymon "Randai" Jefry (Teuku Rassya), sahabat satu kampungnya yang kuliah di ITB. Salah satu sosok kunci di situ malah Rusdi (Raim Laode), yang selalu memotivasi Alif ketika galau dan patah hati. Rusdi juga hadir ketika Raisya dan Alif mendapatkan beasiswa untuk berkuliah di Kanada.
Ada adengan yang menurut saya, dalam bahasa Jawa itu wagu. Entah apa terjemahannya dalam bahasa Indonesia, tapi anak muda mungkin akan bilang "gak banget deh", yaitu ketika ayah Alif (David Chalik) wafat. Entah karena penjiwaannya kurang atau make-up-nya yang gimana gitu. Saya cuma mau komentar dan bertanya "apa belum pernah kehilangan seseorang yang begitu berharga?". Ha mbok diriset dulu kalau meninggal seperti itu apa yang penyakit menyebabkan meninggal, atau jangan-jangan malah saya yang gak perhatian ya ketika Amak/Ibu Alif (Maudy Koesnaedi) menjelaskan sakitnya ayah Alif. Mbuh lah...
Bagaimanapun, R3W ini layak tonton kok biarpun tiketnya berharga normal. Saya mendengar sendiri ketika beranjak pulang dari studio 4 XXI Level 21 Denpasar, salah seorang lelaki yang berjalan dibelakang saya berkata pada temannya "Gue pengen nonton lagi nih". Saya setuju dengan dia. Kalau ada kesempatan pun saya akan menonton lagi, khususnya apabila bersama teman nonton yang punya cita-cita tinggi dan status di KIA atau KTP-nya masih "Pelajar".
Akan lebih baik apabila sudah membaca novel N5M dan R3W. Itu akan mempermudah pemahaman isi dan konteks film. Soal plot twist gak usah terlalu dipikirkan dan biarkan jadi kejutan. Ini seni yang dimiliki penulis dan sutradara untuk membuat penonton tetap duduk manis di kursi tanpa menguap, apalagi ngorok. Saya suka beberapa plot twist di situ. Cocok ditonton oleh pejuang jomblo yang hatinya hancur berkali-kali dikecewakan kenyataan. Haha...
Berikutnya, film yang akan saya tonton adalah Jurassic World Dominion. Sebuah film yang menginspirasi seseorang dan mengubah jalan hidupnya. Semoga ada duit untuk menontonnya sebelum habis masa tayang di layar lebar.
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.