Merindukan Nasi Kuning Bagadang
Nasi Kuning Bagadang, kuliner khas Ambon yang senantiasa menghadirkan kenyamanan

Nasi Kuning Bagadang
Tari membuka matanya yang masih terasa berat. Sinar matahari pagi yang kuat terasa menusuk. Tari mengambil tisu basah, mengusapkannya ke seluruh wajah kemudian menggerakkan tangan dan kakinya yang terasa kaku dan pegal. Bagaimana tidak, hampir 5 jam ia duduk dalam kabin pesawat ekonomi yang sempit.
“Penumpang yang terhormat, sebentar lagi pesawat akan mendarat di bandara Pattimura Ambon,” terdengar suara pramugari dengan intonasi yang khas mengingatkan penumpang akan destinasi yang dituju. Dengan perasaan campur aduk, Tari mengencangkan sabuk pengaman dan menegakkan kursi.
Ambon… kota cantik di pulau mungil yang menawan yang sudah lebih dari 10 tahun ia tinggalkan kini hadir kembali di hadapannya. Tari jatuh cinta pada pandangan pertama pada kota Ambon. Laut biru dengan pantai bersih dan teluk yang cantik dikelilingi bukit telah mencuri hatinya. Bukan hanya Pantai Ambon yang menawan hatinya, tapi kuliner Ambon manise terutama nasi kuning bagadang yang gurih dan legit membuat Tari tidak berdaya.
Tari jatuh cinta pada nasi kuning bagadang sejak saat pertama kali kakinya menginjak tanah Ambon sekitar 15 tahun lalu. Perjalanan panjang Jakarta-Ambon membuat tubuhnya terasa lelah saat ia tiba di penginapan ketika itu.
“Istirahat saja dulu kak. Acara kita baru mulai besok jam 09.00 WIT,” kata Lisa, salah satu panitia seminar yang menjemputnya. “Di sekitar sini banyak rumah makan, jadi kakak tidak perlu jalan jauh untuk cari makan siang,” lanjut perempuan muda dengan wajah eksotis ini. “Tapi jangan makan terlalu kenyang ya kak. Sediakan ruang untuk nasi kuni bagadang,” lanjut Lisa sambil melempar senyum misteriusnya.
“Terima kasih ya Lisa. Tapi saya penasaran nih kok disebut nasi kuning bagadang? Apa ada yang nggak tidur dalam proses masaknya?” Tari nyerocos, menuntut jawaban dari Lisa Wenno, perempuan asli Maluku dengaan rambut lebat bergelombang sepanjang bahu.
Senyum Lisa merekah, matanya yang bulat terlihat ikut tersenyum. “Nantilah kita cerita-cerita ya kak, “ jawab Lisa. “Saya tinggal dulu ya,” kata perempuan muda berperawakan langsing ini.
Sampai saat ini Tari masih teringat saat pertama menyantap nasi kuning bagadang. Belakangan, baru Lisa bercerita nama “bagadang” disematkan karena nasi kuning ini baru dijual saat matahari terbenam, dan terus tersedia sampai dini hari. Pada jam-jam tersebut pemandangaan di jalan-jalan Kota Ambon berubah. Baskom-baskom besar berisi nasi kuning ditambah dengan aneka lauk yang dipajang di atas meja-meja kayu menghiasi trotoar. Aroma santan yang harum mengepul dari nasi kuning gurih yang baru selesai dimasak medominasi udara malam. Aneka lauk seperti ikan cakalang masak balado, bihun goreng, sambal goreng kentang, perkedel yang baru selesai diolah melengkapi aroma yang sedap. Tari sudah bisa membayangkan, betapa leazatnya nasi kuning ini. Ternyata memang nasi kuning ini istimewa. Beda denga rasa nasi kuning di Pulau Jawa.
Tari mengencangkan sabuk pengaman dengan tersenyum. Kenangan atas kelezatan nasi kuning bagadang membuatnya merasa tenang dan bahagia. Kegelisahan yang menerpanya semalaman dalam perjalanan Jakarta-Ambon seolah sirna.
Ia memang jatuh cinta dan mencintai Ambon. Namun hatinya terluka parah saat ia harus meninggalkannyaa.
Terlalu dalam luka yang dirasakannya sehingga ia menimbun berbagai kenangannya tentang Ambon. Kalau bukan karena tugas kantor, tak akan mungkin Tari mengunjungi Ambon. Namun kenangan atas nasi kuning bagadang membuatnya tersenyum. Ada kerinduan yang merambat ke relung hatinya. Aneh.
Ia merasa lebih percaya diri saat melangkah ke luar pesawat. Trauma yang ia rasakan sejak keberangkatannya, agak sirna. Saat menunggu keberangkatan pesawat di bandara Sukarno-Hatta, Jakarta, Tari terus gelisah. Adegan suaminya yang sedang bercinta dengan Rina, sahabatnya, di kamar tidur mereka terus menerus terbayang.
“Bagaimana mungkin aku bisa fokus dan menyampaikan materi workshop ini?” tanyanya dalam hati. Tari memejamkan matanya, mencoba menghadirkan Teluk Ambon dengan airnya yang tenang, saat matahari mulai terbenam. Sia-sia. Yang hadir di ingatannya adalah kemarahan dan tangisnya yang meledak saat ia menangkap basah suaminya -- mantan suaminya-- dengan Rina di ranjang pengantinnya.
Tari berteriak, melempar jaket dan tas kerjanya serta berlari ke luar rumah. Ia tak ingat lagi kejadian sesudahnya. Tari hanya ingat dia bangun di sofa, di ruang tamu Lisa. Hari-hari setelah itu adalah momen yang menyakitkan, yang tak ingin diingatnya kembali. Tari hanya ingat satu hal: keputusannya untuk kembali ke Jakarta dan mengurus perceraiannya.
“Tari, kamu berangkat ke Ambon ya. Kantor kita diundang untuk memberikan workshop mengenai penyusunan strategic planning,” kata Rudi, manajer hubungan eksterna di konsultan manajemen.
Tari tersentak. Hatinya terasa digores, luka lama yang ia pikir sudah sembuh, begitu saja terbuka kembali.
“Apakah tidak ada staf lain mas? Itu Willem asli Ambon, mungkin lebih cocok,” tanya Tari mencoba menawar.
“Willem saya tugaskan ke Yogya,” jelas. Wisnu. “Lho saya pikir kamu excited mau ke Ambon. Bukannya kamu dulu pernah tinggal di Ambon?” tanya Wisnu penasaran. “Biasanya orang senang pergi ke tempat yang pernah dia tinggali. Katanya kembali ke tempat kita pernah tinggal, membuat kota itu jadi hidup, bukan sekedar tempat,” Wisnu terus nyerocos.
“Baik kalau begitu mas, saya akan siap-siap untuk workshop itu,” Tari buru-buru menutup pembicaraan, sebelum percakapan melebar menyentuh hal-hal yang privat. Tari tidak mau Wisnu mengorek kenapa ia tidak terlalu semangat berangkat ke Ambon.
Sejak menerima penugasan itu, Tari menjadi gelisah, dadanya serasa terhimpit batu besar, tidurnya terganggu dan selera makannya jauh berkurang. Ada kepedihan yang merambat, memenuhi hatinya. Ia khawatir bahwa begitu menginjakkan kakinya di Ambon, trauma yang selama ini sudah meninggalkannya, akan kembali lagi.
“Jangan khawatir Usi. Kami akan menjemput Usi di bandara. Kita akan nikmati nasi kuning bagadang lagi,” begitu bunyi whatsapp Lisa menjawab kegelisahan Tari. Lisa memanggilnya Usi, sapaan untuk kakak perempuan dalam dialek Ambon,
“Saya sudah sampaikan ke suami untuk siap-siap begadang, menemani kita makan nasi kuning bagadang,” tutup whatsapp Lisa.
Tari tersenyum. Lisa Wenno, yang tidak ada hubungan darah dengannya, rasanya sudah seperti adik sendiri. Bahkan mungkin lebih akrab. Lisa yang membantunya settling down di Ambon, Lisa juga yang menemaninya 24-7 pada periode getirnya: meninggalkan suaminya.
Setelah meninggalkan Ambon, komunikasi antara Tari dengan Lisa sangat intens. Lisa curhat saat mulai berpacaran dengan Ongky Wattimena, menumpahkan semua kekesalan, harapan, frustasi dan hasrat membara pada periode roller coaster ini pada Tari.
Ketika akhirnya Lisa menikah dengan Ongky, tak terperikan kebahagiaan Tari. Ia yakin mereka akan menjadi pasangan yang kokoh, saling mendukung, saling mengisi, saling melengkapi.
Roda pesawat yang mendarat dengan mulus di landasan menyadarkan Tari dari lamunannya. Dengan perasaan campur aduk, Tari melepaskan sabuk pengaman, mengemas barang-barang bawaannya dan berdiri menunggu antrian untuk meninggalkan pesawat.
Seraya mengumpulkan semua kekuatan ia melangkah meninggalkan pesawat dan menginjakkan kakinya di tanah Ambon. Dadanya bergemuruh, pandangannya kabur oleh air mata yang mengambang. Tari mengatur nafasnya untuk menenangkan diri: ambil nafas panjang dan mengeluarkannya perlahan, terus teratur sambil melangkah… selangkah, dua langkah, tiga langkah… detak jantungnya mulai teratur, namun kepalanya tetap tunduk menatap lantai bandara.
Bayangan langkahnya yang setengah berlari, di lokasi yang sama, menjauh dari panggilan Alex, mantan suaminya, masih melekat di ingatannya. Tari yakin tangisnya akan meledak bila ia memandang bandara, saksi bisu yang melihatnya berjalan cepat menuju pesawat deng rambut dan pakaian yang berantakan.
Dari sudut matanya Tari melihat barisan penjemput. “Usi Tariiiii…..!!!!!!,” suara Lisa yang amat dikenalnya terdengar nyaring. Di antara kabur air mata, Tari melihat perempuan menarik berbalutkan tunik orange dan celana panjang coklat tua lari menghambur menghampirinya dan mendekapnya dengan sangat erat.
“Saya sudah terlalu rindu pada Usi,” kata Lisa dengan suara serak diantara tangisnya. Tari tak mampu berkata-kata, air matanya mengalir dengan deras. Secara perlahan ia mengangkat kepalanya, memandang sekelilingnya. Bandara Pattimura terlihat terang, bersih dan terawat. Sungguh berbeda dengan ingatannya 11 tahun lalu saat ia meninggalkan Ambon.
Sinar mentari pagi yang menyinari bandara seolah mengirimkan energi baik pada Tari. Kerapian bangunan, cat yang terang, suasana bandara yang ceria menyadarkannya bahwa ingatan akan masa lalu belum tentu merupakan fakta hari ini. Suasana kusam, kotor, berantakan yang terekam dalam memorinya nyatanya tidak ia temukan pagi ini.
“Di sini, hari ini. In the here, in the now,” bisiknya dalam hati, menirukan pesan ibunya. Dengan menarik nafas panjang, Tari mengelus rambut Lisa. “Yang penting kita sudah bertemu sekarang. Mana Ongky? Aku belum pernah ketemu kan?”
“Ongky sudah siap dengan mobil Usi. Sebentar, saya telpon,” jawab Lisa. Seorang laki-laki berbadan tinggi, tegap dengan air muka ramah menghampiri mereka berdua.
“Selamat datang di Ambon Usi Tari. Kata Lisa sudah lebih dari 10 tahun tidak ke Ambon. Ambon banyak berubah, sudah tambah ramai,” Ongky menyapa dan berupaya mencairkan suasana. “Dan yang paling berubah, sekarang ada jembatan Merah Putih yang menghubungkan bandara dengan Kota Ambon,” kata Ongky dengan suara antusias. “Kita tidak perlu lagi antri menunggu ferry menyeberang Teluk Ambon untuk mencapai pusat kota,” jelas Ongky.
“Wahhh padahal perjalanan dengan ferrry itu sangat saya rindukan,” Tari menjawab. “Di atas ferry saya bisa melihat lautan luas, biru, dikelilingi bukit dengan pohon-pohon rimbun. Dan di sepanjang dermaga banyak perahu nelayan. Kalau menyebrang sore hari menjelang matahari terbenam, pemandangannya indah sekali,” lanjut Tari setengah melamun, kembali teringat masa lalu.
“Pakai ferry atau liwat jembatan tidak masalah Usi. Yang paling penting, sekarang Usi sudah sampai di Ambon, dan nanti malam kita nikmati nasi kuning bagadang,” Lisa menyahut.
Tari tersenyum. “Jadi masih ada ya nasi kuning bagadang?” Tari seolah ingin konfrmasi. “Masih, tambah ramai. Mesti antre kita,” Ongky menjelaskan. “Gak berubah kan rasanya, dan semoga tidak ada varian yang aneh-aneh kekinian ya,” Sari bertanya seraya bergumam.
“Pasti ada yang berubah, Usi, namanya juga mengikuti perkembangan jaman,” Ongky menjawab. “Tunggu, jangan emosi dulu,” kata Ongky melihat ekspresi Tari yang mulai cemberut. “Dulu kan Usi makan nasi kuning berdua saja dengan Lisa, nah nanti malam, bertiga dengan saya. Berubah kan?” kata Ongky. Ketawa pun pecah di pagi hari yang cerah itu, menguatkan suasana keakraban yang ada. Perjalanan menuju Ambon terasa cepat dan tiba-tiba saja Ongky menghentikan mobilnya di lobi hotel.
“Kami jemput jam 7.00 ya nanti malam,” kata Lisa, sesampainya di hotel tempat Tari menginap. Tari mengangguk, dan bergegas ke kamar, badannya terasa lelah. Ia ingin segera membersihkan badannya dengan air hangat dan berbaring di tempat tidur yang terlihat sangat nyaman.
Tari tidak tahu berapa jam ia tidur. Ia hanya tahu badannya terasa sangat segar, pikiran terang, seolah ada energi baru yang memasuki tubuhnya saat bangun dari tidurnya. Perasaan khawatir dan kegelisahan yang ia rasakan saat mendarat tadi pagi berganti dengan perasaan tenang, damai, dan gembira.
Tari segera bangun, melirik jam di samping tempat tidur. Masih cukup waktu untuk bersiap sebelum “the big dinner.” Ia bergegas mandi, merapikan diri dan menunggu jemputan Lisa dan Ongky.
“Segar dan cantik sekali Usi,” kata Lisa melihat penampilan Tari yang mengenakan celana panjang abu-abu dan blus over -biru size biru langit. Wajahnya yang oval disaput make up tipis, dengan lipstick warna netral, memberikan kesan segar.
“Ah, bisa aja Lisa,” jawab Tari tersipu.
“Ayo kita berangkat, sebelum tempatnya dipenuhi para pembeli. Nasi Kuning Tante Mien ini sedang hit, Usi, sudah viral, soalnya,” Lisa menerangkan.
Mereka berjalan kaki menyusuri jalan raya, sambil menikmati udara Ambon di waktu malam yang terasa sejuk. Tidak diperlukan waktu lama untuk mencapai Nasi Kuning Tante Mien, mencarinya pun tidak sulit. Antrian panjang yang tumpah sampai ke jalan raya menjadi ciri khas tempat tersebut.
Mereka harus mengantri. “Tidak apa,” kata Tari dalam hati. “Ada Lisa dan Ongky yang menemaniku malam ini.” Ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling area tersebut, serta menghirup udara yang didominasi aroma nasi kuning yang wangi dan gurih. Terlihat meja-meja panjang dengan baskom-besar dengan nasi kuning yang masih mengepul hampir memenuhi seluruh jalan raya. “Masih seperti dulu ya,” katanya pada Lisa dan Ongky. “Betul sekali Usi, masih sama, jumlahnya tambah banyak,” jawab Ongky.
Namun bagi Tari, perbedaan yang besar adalah suasana hatinya. Malam ini penuh kegembiraan, sarat kerinduan. Sedangkan dulu, ia menghampiri nasi kuning bagadang dengan hati sendu. Kuliner ini adalah pelipur laranya, di saat suaminya sering tidak tidur di rumah tanpa alasan yang jelas. Saat itulah ia ditemani Lisa, mencari kenyamanan dalam nasi kuning. Rasa gurih dan legit nasi kuning disertai sensasi pedas dari ikan cakalang balado, serta kelembutan perkedel kentang dan bihun goreng, selalu membuatnya tersenyum, menghalau kegelisahannya.
Tari tersenyum. Ketakutannya untuk mengunjungi Ambon, ternyata tidak sepenuhnyaa terbukti. Bahwa ia bisa merasakaan antusiasme, kegembiraan mengantri Nasi Kuning Tante Mien ia maknai bahwa ia tidak bisa membiarkan kenangan masa lalunya menghantuinya. Karena nyatanya ada kegembiraan dan kebahagiaan hari ini.
Tari sudah di depan penjuala nasi kuning. ‘’Lauknya ikan cakalang balado, perkedel, bihun, sambal goreng kentang, Tante,” pesannya. Lisa dan Ongky mengikutinya di belakang. Mereka duduk bertiga. Tari mulai melahap nasi kuningnya. Sama seperti dulu, gurih, wangi, legit
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.