Untuk Sebuah Cincin

Gara-gara Oom Bud posting tulisan "Kebun Impian", lamat-lamat saya ingat sepertinya saya pernah menulis tentang sepasang kakek-nenek juga di blog saya. Maka saya beranikan diri posting di sini. Saya tulis seperti sebuah skenario. Karena sepertinya saya waktu itu baru belajar bikin skenario. Silakan.

Untuk Sebuah Cincin

INT. Rumah: Ruang Keluarga. Malam.

Jam 11 malam. Sebuah ruang keluarga dari sebuah rumah yang agak besar dengan bentuk yang sederhana, dan cahaya kuning yang remang-remang. Di dinding ada beberapa foto-foto keluarga tua dengan bermacam bentuk dan ukuran bingkai yang bagus. Di meja-meja yang ada di ruangan itu terpajang pigura foto yang lebih kecil, dari foto tua hitam-putih sampai foto baru berwarna.. Foto bayi, orang tua, pemuda-pemudi, orang yang dengan pakaian wisuda.

Suasana rumah itu tampak begitu sepi. Hanya suara lirih televisi yang menyala. Interiornya tertata dengan rapi. Sepertinya semua benda di situ sudah tepat pada tempatnya, walaupun beberapa nampak sudah usang dimakan usia tapi tak mengurangi suasana nyaman dalam ruang itu.

Sebuah televisi 14 inc menyala di sana. Sedikit suasana modern. Sepasang orang tua yang sudah putih rambutnya duduk bersanding di sofa tua sambil menikmati kenyamanan, jas dan gaun yang dipakainya tampak sudah tak rapi lagi karena capek. Tampak mesra dan romantis dengan cahaya remang-remang itu. Nenek menyandarkan kepalanya di dada Kakek yang memeluknya dengan hangat sambil menimang pigura kecil foto putrinya.


NENEK

Pesta tadi sangat meriah


KAKEK

Heh… hemmm… Satu lagi Anak kita, pergi meninggalkan kita.


NENEK

(Melihat ke muka kakek, lalu kembali bersandar di dadanya)

Yah…. sepertinya baru kemaren bu Bidan datang mengeluarkan dia dari rahimku. Heh…he… putri kecilku yang cantik!


KAKEK

Hmmm…. dia memang cantik, hingga banyak pemuda datang mengantri untuk menikahinya. Waktu itu sepertinya akan kubuka loket pendaftaran saja!


NENEK

Ohh… Kek. Kamu masih saja bisa bercanda.


KAKEK

Hmmm… Yah…

(Sambil mengambil foto kecil putrinya dari meja di sebelahnya. Wajahnya tampak sedih)

Dia terlalu pemilih, hingga ia cukup tua untuk menikah. Semoga suaminya akan menjaganya dengan baik.


NENEK

Waktu kecil dia selalu duduk di antara kita jika nonton televisi.


KAKEK

Ya… dia sangat manja. Adi duduk di bawah dengan bantalnya, ia selalu saja berebut bantal dengan Sisi adiknya. Dan Sisi selalu saja menngganggu Putri.


NENEK

Dan Donni selalu saja pulang larut malam. Kau selalu saja memarahinya !


KAKEK

Heh… dia memang anak paling bandel dan tidak penurut. Tak kusangka dia jadi orang sukses sekarang.

Sejak kecil kita merawatnya. Menyayanginya. Membuat kita tertawa. Sudah besar mereka berani berkata-kata buruk pada kita. Dan sekarang di bawa orang. He… he… he… !


NENEK

(Memandang Kakek yang sedang menerawang sambil tersenyum)

Kini mereka sudah tak bersama kita lagi.

Tahukah kau? Kita seperti muda kembali. Aku bersandar padamu dan kamu memelukku. Rasanya itu sudah lama sekali ya Kek!


KAKEK

Kalau jadi muda kembali, kenapa kau memanggilku “Kek”?

Yah… heheh… aku juga merasakannya.

(sambil mempererat pelukannya)

Kita jadi anak muda yang tua. Anak muda dengan rambut yang putih dan kulit yang lumer. Heh…he….


NENEK

(Terkekeh-kekeh)

Gigimu juga masih saja kelihatan muda. Seperti mutiara saja.

Heh…he… Kau sering mengintipku. Sewaktu belum pacaran. Kau ini memang jahil!


KAKEK

Ya…. Tapi aku juga tahu kau sering mergokiku hingga satu sepatumu kecemplung diselokan. Itulah saat pertama aku bicara padamu.


NENEK

He…. Masa muda yang indah. Lihat cicin perkawinan kita ini.

(Sambil menunjukkan jari tangannya, dimana melingkar cicin)

Andai saja kau memenuhi janjimu membelikanku cincin mutiara waktu itu. Ini akan jadi cincin teridah di dunia!


KAKEK

(Wajahnya tiba-tiba berubah)

Jadi sekarang ini adalah cincin terjelek di dunia!


NENEK

(Mengangkat kepalanya dari dada Kakek)

Hei… kenapa kau tiba-tiba marah? Baiklah aku tak akan mengungkit janjimu dulu itu. Aku sudah menerimanya.


KAKEK

(Melepaskan pelukannya)

Tapi kau masih memikirkannya!


Keduanya bertengkar meributkan persoalan masa muda mereka. Foto-foto di meja dan dinding tetap diam seperti tak menggubris pertengkaran itu. Masih pada pose-pose sebelumnya. Tertawa. Tersenyum. Berangkulan. Bertingkah konyol. Sangat indah kejadian-kejadian di foto itu. Sebuah nostalgia lewat kertas yang mengharukan.


Dalam cahaya remang-remang itu, televisi masih menyala dengan volume kecil. Rumah itu masih terasa nyaman walaupun ada pertengkaran kecil di situ.


NENEK

Sudah! Lupakan saja mutiara itu. Lagian aku juga sudah cukup tua untuk memakainya. Jika punya pun, itu tak akan membuatku jadi muda kembali!


KAKEK

Bukan itu masalahnya….


NENEK

Bukan itu?! Oh kau masih saja tidak mengerti aku!


KAKEK

Oh…. Selalu saja begitu! Ternyata kamu masih seperti dulu. Perempuan selalu misterius !

Sepertinya kau adalah evolusi dari mahluk buas jaman dinosaurus !


NENEK

Apa ? ! ……

Huh… ! aku tak mau bicara denganmu !

Kau sendiri seperti mahluk berbulu berbibir monyong !


Nenek bangkit dari duduknya, lalu berjalan cepat dengan berkacak pinggang meninggalkan Kakek yang masih terduduk. Dia sepertinya merenung sebentar.


KAKEK

Ehm… ! Nek ! … Pertengkaran ini akan jadi besar. Ayolah ! Kita sudah tua !


Nenek masih meneruskan langkahnya menuju kamar tidurnya, tidak mendengarkan ucapan Kakek. Kata terakhir yang diucapkan Nenek malam itu… :


NENEK

Aku juga tak mau tidur sekasur denganmu malam ini !


Lalu Nenek membanting pintu dengan kerasnya membuat Kakek yang masih terduduk itu tersentak kaget.


Kakek masih termangu di sofa. Pandangannya ke arah pintu kamar tidur adalah pandangan yang kosong. Pikirannya berkelana kemana-mana. Untuk sesaat ia merasa kacau. Ia tersadar dari lamunannya karena acara televisi yang tiba-tiba saja mengagetkannya. Pandangannya sebentar beralih ke arah televisi yang baru saja mengagetkannya. Tapi pikirannya masih kacau.

Ia beranjak dari sofa. Menaruh foto anaknya kembali lalu mematikan televisi. Dengan langkah lunglai ia berjalan ke arah pintu kamar tidur. Dia akan mengetuk pintu itu dan berharap Nenek akan membukakannya dan menyuruhnya segera tidur. Tangannya sudah siap mengetuk pintu. Tapi ia masih ragu. Ia tahu sifat istrinya itu, kemarahan mungkin masih menyelimuti istrinya itu. Mengetuk pintu bisa jadi akan memperpanjang masalah. Karena orang marah pikirannya menjadi tidak rasional. Sama seperti orang yang jatuh cinta!

Ia menarik kembali tangannya, mengelusnya, lalu menciumnya. Dengan langkah gontai ia menuju kamar yang lain. Kamar anaknya yang baru saja diambil orang. Membangun satu keluarga kecil di luar sana. Wajahnya menampakkan kesedihan yang mendalam.


INT. Rumah: Kamar Tidur. Malam

Sebuah ruangan yang tak terlalu besar dan tak terlalu kecil tertata rapi. Hanya saja di kamar ini nampak lebih modern dengan beberapa poster besar tentang seni tepajang di dinding. Cahaya disitu juga kuning remang-remang. Beberapa foto ada di dinding dan di meja belajar, juga ada di meja di samping kasur kiri dan kanan bersanding dengan lampu duduk berwarna kuning emas.

Sebuah tempat tidur yang empuk dengan bantal menggembung dan selimut tebal yang hangat di disitu. Kakek menarik selimut lalu merebahkan diri dan membenamkan kepalanya di atas bantal dengan hati-hati. Tubuhnya miring ke kanan. Matanya menatap bingkai foto duduk yang mungil di mana anak perempuannya yang sudah tak mendiami kamar ini terpampang di sana. Perempuan manis berambut pendek lurus yang tengah tersenyum, memperlihatkan deretan gigi yang putih.

Kakek tersenyum melihat foto anaknya itu. Untuk beberapa saat ia memandangi foto itu tanpa bergerak dan berkedip. Hanya senyumnya yang sedikit demi sedikit mulai luntur.

Kakek membenarkan letak selimutnya dan berbalik, mencoba menghilangkan pikiran tentang anaknya. Ia beringsut-ingsut membalikkan badannya. Matanya kembali tertambat pada foto kecil yang lain di meja sebelah kiri. Anaknya bersama lelaki yang kini menjadi suaminya, yang telah membawa pergi putri terakhirnya. Keduanya tersenyum lebar, seakan mengejek Kakek yang baru saja bertengkar dengan Nenek. Wajah Kakek menjadi kecut. Lalu foto itu ditelungkupkan, hingga ia tak dapat melihat lagi.

Pelan-pelan Kakek tertidur dibuai mimpi-mimpi malam.


INT. Rumah : Ruang makan, pagi.

Sinar matahari masuk lewat gordin jendela yang belum dibuka. Bersebalahan dengan ruang keluarga itu adalah ruang makan, di mana dapur juga dapat dilihat dari jendela kecil di sudut ruangan. Kamar Nenek juga dapat dapat terlihat dari situ.

Kakek duduk di salah satu kursi meja makan. Tak ada makan pagi ini di meja itu, hanya beberapa butir jeruk dan pisang Ambon. Sambil termangu-mangu Kakek memandangi penutup makanan berwarna merah yang terbuat dari plastik. Di dalamnya tak ada apa-apa.

Sesaat Kakek memandang ke arah pintu kamar Nenek. Berharap akan ada yang menyiapkan makan pagi. Hari ini sangat lain. Hawa negatif sepertinya menyelimuti rumah ini.

Kakek beranjak, berjalan menuju ruang tidur Nenek. Pelan-pelan ia melangkah. Ia akan mengetuk, namun diurungkan niatnya. Sekarang ia akan membuka pintu pelan-pelan. Gerendel pintu sedikit demi sedikit bergerak ke bawah. Klik! Pintu terbuka sedikit, Kakek menengok ke dalam.


NENEK

(Berteriak)

TUTUP PINTUNYA!!! Aku masih marah!


BRAK !! Kakek kaget dan dengan reflek menutup pintu dengan keras. Tangannya masih menempel di gerendel pintu. Ia tercenung. “Harusnya aku yang paling marah! Akukan yang memulainya!” mungkin begitu pikir Kakek. Namun ia mencoba menyingkirkan pikiran negatifnya. Itu hanyalah pikiran seorang egois yang akan menambah porsoalan kian rumit.


Kembali duduk di ruang makan…..

Kakek baru selesai memakan sebuah pisang Ambon. Mungkin saking laparnya ia menggigit-gigit pelan kulit pisang itu, hingga menyisakan kontur giginya yang berderet rapi. Ia memperhatikan bekas gigitannya itu.


INT. Kamar mandi.

Kakek menggosok giginya, berkumur, lalu menyeringai memeriksa giginya. Deretan gigi putih bersih masih menempel di gusi tua itu. Gigi yang sangat sehat dan kelihatan muda untuk orang setua dia. Cukup lama ia menyeringai melihat deretan gigi putihnya.

Ia memeriksa saku celana bagian belakangnya. Dirasakannya dompet masih ada di sana.


EXT. Pintu Depan Rumah.

Kakek menutup pintu rumahnya dan berjalan ke luar pagar.


EXT. Klinik Gigi.

Sebuah klinik milik seorang Dokter Gigi, di dalamnya terdapat beberapa pasien yang akan memeriksakan giginya. Cukup banyak juga orang yang sakit gigi di pagi itu. Ada anak kecil, ibu-ibu, orang tua. Tapi apakah yang datang ke klinik gigi itu pasti sakit gigi?

Di dalam ruang praktek seorang tua berteriak-teriak kesakitan.


KAKEK

AARRRRGGGHHHH!!!....AAAUUUUUFFFF……

AHHHHHHH….. Tsakhih tshekhali Dhok!!!


DOKTER

Tenang…. Tenang Kek!!


KAKEK

AAAAUUUUUUUWWWWW!!!!


Seluruh pasien yang ada di ruang tunggu hanya bisa mendengar. Mereka saling berpandangan curiga. Suster jaga yang ada juga ada di ruangan itu melihat dengan cemas.


KAKEK

AAAARRRRGGGGGHHHH!!!! …. Dhokher!! Helan-helan Hok! Hokter hewerti au hemhunuhhu! (Dokter! Pelan-pelan dok! Dokter seperti mau membunuhku!)


Para pasien yang menunggu semakin heran mendengar suara-suara dari dalam ruang praktek. Seorang anak mulai menangis. Sementara di dalam masih terdengar teriakan-teriakan menyayat. Malah kadang ada benda aluminium yang jatuh. Beberapa pasien meninggalkan ruang tunggu itu satu per satu.


Beberapa jam kemudian….

Kakek keluar dari dalam klinik gigi sambil memegangi mulutnya. Giginya masih sangat sakit. Ia menghampiri suster jaga dan memberikan secarik kertas dari dokter. Lalu suster mulai mengambilkan obat dan menulis jumlah uang yang harus dibayar pada nota. Sementara Kakek menimang-nimang plastik obat yang berisi sebutir gigi yang masih bersimbah darah.


Kakek pergi meninggalkan klinik dengan wajah kesakitan. Namun hatinya senang…..


Dokter Gigi keluar dari ruangannya.


DOKTER

Suster ! Saya mau istirahat sebentar !


SUSTER

Sepagi ini Dok ? Masih jam sebelas ?! Baru satu pasien Dok, sejak jam setengah tujuh tadi !


DOKTER

Ya…. Kamu juga boleh istirahat. Capek sekali Sus ! Baru kali ini aku menemui pasien seperti dia. Saya kewalahan. Giginya sangat kuat walaupun ia sudah tua. Aku heran, mengapa ia mau mencabutnya ?

Oh… sudahlah ! Suruh pasien lain kembali lagi nanti siang !


SUSTER

Tapi Dok ! Mereka sudah tidak ada lagi dari tadi !


Dokter menoleh ke ruang tunggu. Ternyata tidak ada seorang pun di sana. Padahal tadi banyak orang mengantri. Dokter itu melongo, sementara ruang prakteknya agak berantakan karena pekerjaannya tadi.


EXT. : Trotoar yang padat.

Diantara lalu lalang orang yang memenuhi trotoar itu terlihat Kakek berjalan sambil sesekali memanjangkan lehernya, mencoba memandang lebih jauh ke depan. Trotoar itu mirip sekali dengan Malioboro, penuh pedagang kaki lima membuka berbagai macam usaha.

Dilihatnya sebuah neon boks tua putih yang sudah mulai coklat karena debu jalanan. Neon boks kecil itu terpancang di langit-langit di atas trotoar dengan ejaan yang sepertinya tak menganut EYD ; ‘’Toko Mas RUKUN’’.

Kakek berjalanh lebih cepat. Melongok dan menghindari orang yang memadati trotoar.


EXT : Depan Toko Emas (Long shot)

Toko emas yang sudah tua, namun penjaga di toko itu masih muda-muda. Mungkin anaknya atau pekerja di situ. Atau memang pemiliknya baru ?

Di depan toko itu banyak pedagang kaki lima, mereka berjualan berbagai cinderamata semacam kain, patung, kalung, gelang dan sebagainya, ada juga yang menerima layanan pembuatan barang sesuai pesanan pembeli semacam pedagang cincin, lukisan, topi. Para pedagang itu saling adu kreativitas.

Kakek berdiri di depan toko emas itu. Di depannya ada seorang penjual cincin tua yang menyandarkan dagangannya di dekat pintu toko. Kakek masih mematung melihat ke dalam toko. Orang-orang berlalu lalang melewatinya sekan tak dihirukannya. Ia menoleh ke bawah, ke arah penjual cincin itu.

Ia sepertinya melakukan transaksi dengan penjual muda yang berambut agak gondrong itu sambil membungkukkan badannya. Tawar-menawar terjadi tanpa ada yang mau mengalah. Akhirnya di capai suatu kesepakatan.

Kakek memilih-milih jenis cincin yang terpajang di boks kecil milik penjual kaki lima itu. Satu pilihan sudah didapatnya. Mengambilnya, lalu menyerahkan pada penjual itu. Tak lupa ia mengeluarkan plastik dari saku bajunya dan menyerahkan pada penjual itu. Penjual keheranan melihat kantong plastic dengan sedikit noda darah yang masih basah. Kembali sebuah transaksi terjadi. Kali ini kelihatannya sang Kakek mulai kalah. Ia menunjukkan dompetnya dan ia kembali menang. Penjaul cincin mulai mengerjakan pesanannya.


Depan Toko Emas (Medium Shot)

Kakek duduk bersandar di pintu toko emas, dekat dengan penjual cincin jalanan, menunggu pesanannya. Sementara di belakangnya, di dalam toko, beberapa orang melakukan transaksi di toko itu. Sebentar Kakek menoleh ke dalamnya, melihat orang-orang dan perhiasan yang dipajang. Lalu kembali ia melamun, memikirkan kejadian semalam yang belum selesai hingga sekarang. Dalam hati ia berbicara dengan dirinya sendiri.


INT. : Di Kamar, di Dalam Rumah.

Sementara Nenek merenungi peristiwa dengan kakek. Ia mendekat ke jendela, memandang pemandangan yang ada di luar.


Walaupun terpisah jarak, sepertinya mereka sedang berdialog. Telepati? Sepertinya bukan. Mereka tak punya cukup kekuatan untuk itu. Atau mereka menerapkan “mantra-mantra” Schopenhauer? Bisa dibilang begitu. Sebuah dialog tanpa kata. Tanpa tatap muka. Hanya dia sendiri dan Tuhan yang tahu. Berharap suatu keajaiban terjadi mendamaikan mereka lagi.


KAKEK

Mengapa ada kejadian seperti ini?


NENEK

Mengapa aku harus ikut marah. Kita sudah terlalu tua untuk hal seperti ini! Bertengkar!


KAKEK

Aku hanya terlalu gugup menghadapi hal seperti ini. Kehilangan seorang anak lagi. Padahal itu tak ada salahnya. Dia dijaga seseorang yang dia cintai. Kemarahanku hanya untuk menyembunyikan kesedihanku. Rasanya sama gugupnya ketika aku menikah dengan Nenek!


NENEK

Kita seharusnya sudah cukup dewasa!

Mengapa laki-laki selalu memandang keluar jendela jika marah? Dia selalu menuju jendela ini bila ia merasa kecewa oleh banyak hal.


KAKEK

Mengapa perempuan selalu tak berterus terang saja? Dia selalu saja memendamnya hingga aku tak tahu dan akhirnya menebak-nebak dengan pikiran yang kadang kotor.


NENEK

Andai aku tahu pebedaan ini, tentunya tak akan terjadi hal seperti tadi malam. Dia laki-laki dan aku perempuan.


KAKEK

Harusnya aku bisa memahaminya.


NENEK

Harusnya kita saling mengisi. Itulah gunanya diciptakan aku dan kamu. Andai kita mau memahaminya, tentu kita akan dapat menerima perbedaan ini. Kita dapat menerima hitam dan putih.



KAKEK

Tapi kemarahan hanyalah salah satu emosi-emosi saja. Kadang kita harus tahu cara mengeluarkannya. Maaf Nek, sudah membuatmu kecewa!


NENEK

Maaf Kek, aku sudah memakimu!


EXT. : Depan Toko Emas.

Kakek tersadar dari lamunannya ketika bayangan seseorang yang menuju ke dalam toko melewatinya dan cukup mengagetkannya. Dilihat pekerjaan penjual itu belum selesai. Pandangannya dialihkan kembali ke dalam toko itu. Matanya tertumpu pada tangan seseorang yang memegang sebuah cicin mutiara di dalam kotak beludru mungil berwarna merah.

Tangan dengan cincin terpegang itu bergoyang-goyang. Sementara mata Kakek tak lepas memandangnya. Ia berdiri menuju ke dalam toko, lalu memandang cicin-cincin yang terpajang dalam almari kaca.


PENJAGA TOKO

Mau yang mana Pak?


Kakek masih melihat cincin tanpa menghiraukan pertanyaan penjaga toko. Lalu ia menunjuk satu cincin mutiara yang paling indah. Dan penjaga mengambilkannya. Penjaga itu mengoceh tentang kelebihan cincin itu. Namun tak dihiraukan Kakek. Kakek memandangi cincin itu dengan kagum.


KAKEK

Adakah wadah untuk cincin ini?


PENJAGA TOKO

Punya Pak! Yang merah atau yang biru?


KAKEK

Merah!


Sebuah kotak beludru merah mungil sudah di depannya. Kini Kakek memandangi kotak itu. Memeriksanya dengan kagum. Cincin itu dimasukkannya dalam kotak dan dipandanginya sampai puas, lalu dikeluarkannya lagi. Adegan itu sampai terulang hingga empat kali.


KAKEK

Berapa harga kotak ini?!


PENJAGA TOKO

???


Kakek keluar toko emas dengan tersenyum lebar. Dipandanginya terus kotak mungil itu. Menimangnya. Dan tersadar ketika penjual cincin jalanan berbicara padanya.


PENJUAL CINCIN

Pak, sudah jadi Pak!


Kakek meneluarkan beberapa lembar uang dan menyerahkannya pada penjual itu. Ia cukup puas dengan hasilnya. Lalu memasukkannya ke dalam kotak itu.

Kakek melenggang di tengah keramaian trotoar jalan itu dengan puas.


EXT/INT : Depan Rumah/Dalam Rumah.

Hari sudah sore. Cahaya sore langit yang selalu indah berwarna kuning menghias alam, berpadu dengan jingga dan biru.

Kakek ragu akan memencet bel pintu rumahnya sendiri. Sementara nenek murung di ruang tengah, di atas sofa tempat mereka bermesraan.

KLING….KLONG!

Akhirnya bel berbunyi memecah kesunyian. Kakek merasa gugup di luar. Nenek kaget mendengar bunyi bel, sekilas wajahnya berubah ceria. Nenek menuju ke pintu, dilihatnya dari jendela suaminya berdiri di pintu. Kakek berdiri bertambah gugup mempersiapkan kotak kecil, sementara sudah didengar bunyi kunci pintu diputar.

Nenek membuka pintu. Kakek berdiri mematung. Mereka saling berpandangan.

Kakek lalu menyodorkan kotak kecil berwarna merah. Nenek memandangnya dengan curiga. Namun wajahnya lalu bisa tersenyum.


NENEK
Wah…! Untukku?


Kakek mengangguk. Lalu nenek membuka kotak itu.


NENEK

Ah…! Cicin yang indah. Ini mutiara?


Sebuah cincin mungil di dalam kotak. Memang hiasannya hampir mirip warnanya seperti mutiara. Namun sepertinya itu bukan mutiara. Bentuknya tidak bulat! Itu malah hampir mirip seperti……

Kakek bahagia melihat Nenek tertawa. Ia ikut tertawa memperlihatkan gigi putih rapinya yang kini tak lengkap lagi. Satu giginya sudah tidak ada.


EXT. : Rumah: Ruang Keluarga. Malam.

Duduk mereka semakin rapat. Televisi tidak dihidupkan. Foto-foto masih pada tempatnya. Hanya bertambah satu foto menantu baru mereka. Ruangan itu kelihatan semakin nyaman.


NENEK

Kau sudah terlalu banyak berkorban untukku!


KAKEK

Aku adalah penjagamu. Sudah sepantasnya aku berkorban untukmu!


NENEK

Ini cincin paling indah di dunia. Hanya aku yang memlikinya di dunia ini.


KAKEK

Aku seperti muda kembali Nek!


NENEK

Ini terlalu berlebihan Kek!

Hmmm…. Maukah kau memberiku kalung mutiara ?


Kakek terkejut. Ia sudah membayangkan dokter paling kejam yang pernah ditemuinya. Harus berapa jam lagi ia duduk dikursi paling mengerikan itu.


NENEK

Itu hanya bercanda Kek!


TAMAT/SELESAI/USAI/THE END/FIN/UDAH/UWIS/RAMPUNG


Jogja, 2004

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.