"Wah, kamu sudah besar ya!" kata Tante Marsya ke abang saya.
"Hehehe, Ibu, dia bukan udah besar, tapi udah tua!" Tari anak Tante Marsya mengoreksi ibunya.
Puluhan tahun Tante Marsya tak bertemu dengan abang saya. Tapi, begitu abang saya menyebut dirinya siapa, Tante Marsya langsung ingat siapa dia. Wah, bukan main!!! Dialog di atas terjadi pada pertemuan tersebut.
Tante Marsya adalah ibu dari Gina, teman akrab saya di SD dan SMP. Secara alamiah persahabatan itu membuat saya juga mengenal baik orang tua Gina, dan dua adiknya. Yaitu, Tari dan satu orang lagi. Kami dulu sering saling mengunjungi. Dan sejenisnya…
Sekian puluh tahun berlalu. Ketika kami bertemu lagi, ternyata kami masih saling ingat dan kenal. Namun, yang hebat adalah, Tante Marsya yang pada 2021 ini berusia 82 tahun, masih ingat saya bahkan abang saya. Beliau juga ingat di mana dulu saya tinggal. Dulu, tiap hari saya pulang sekolah diantar mobil keluarga itu lho! Tapi, yang nyetir bukan Tante Marsya sih! Hehe...
Suami Tante Marsya, Oom Er, sudah lama mangkat. Pada 1985. Beliau pernah menjadi kepala salah satu museum di Jakarta. Seorang tokoh nasional di bidangnya, yang juga seorang guru besar di fakultas tempat saya menuntut ilmu. Sempat pula menjadi rektor di universitas kami, bahkan sebagai menteri di pemerintahan pada masa itu.
Apapun jabatannya, bahkan ketika menjadi menteri, Oom Er tetap mengajar di fakultas kami. Mata kuliahnya menjadi mata kuliah yang banyak diikuti oleh mahasiswa di fakultas. Ruangan kuliahnya adalah ruang kuliah terbesar di fakultas. Sejumlah asisten dosen membantu Oom Er dalam mengelola perkuliahan. Uh, sombong-sombong deh mereka!
Bagaimana tidak sombong ya. Menjadi asisten dari dosen yang merupakan sosok sangat ahli di bidangnya dan yang juga seorang menteri, pasti sebuah prestasi tersendiri tuh! Yang tak menyenangkannya, mereka jadi tak ramah juga. Merasa berhak sombong sepertinya. Kesal rasanya kalau harus bertanya kepada mereka. Mendengar cara menjawabnya itu lho yang bikin senep...
Saat mata kuliah yang diajarkan Oom Er berlangsung, mereka, para asisten itu, akan berdiri di sisi-sisi ruang kuliah besar itu. Bersender di dinding. Menjadi wall flower yang pongah. Oom Er mengajar di depan, menjadi pusat perhatian semua mahasiswa peserta mata kuliah. Termasuk saya, yang selalu ingat betapa sukanya Oom Er dengan jambu klutuk putih dari pohon di rumah saya yang selalu berbuah lebat.
Dulu itu, kalau Oom Er datang menjemput Gina di rumah saya, beliau akan meluangkan waktu untuk ngobrol dengan Ayah saya. Pembicaran antarbapak tentang anak-anak perempuannya. Berlangsung secara berdiri, di bawah pohon jambu. Sambil memetik dan memakan jambu. Semakin lama menunggu Gina, sepertinya semakin senang Oom Er. Sebab, Oom Er jadi bisa makan jambu klutuk sebanyak mungkin.
Suatu hari di kampus, saya melihat Oom Er dan para asistennya. Di kejauhan, tapi kami pasti akan segera berpapasan. Duh, dilema nih! Tegur atau tidak ya? Malasnya melihat asisten-asisten itu adalah sesuatu hal yang sudah pasti. Ada niat buat menegur beliau yang adalah bapak dari teman saya. Sekalian, haha, buat bikin kesal para asisten itu.
Tapi, sejak lulus SMP dan pisah SMA dengan Gina, saya tak pernah lagi berjumpa dengan Oom Er. Nggak seru jugalah pastinya kalo saya sudah sok-sok’an akrab ke Oom Er namun ternyata si oom nggak ingat saya, bukan!? Dih, tengsin pasti sama para asisten songong itu. Saya tak termasuk mahasiswa transparan yang bisa lewat tanpa mereka ketahui. Mereka juga tahu bahwa saya biang berisik di kampus. Jadi kalo tengsin ya…, malu.
Atau, saya balik badan saja ya? Tanya saya pada diri sendiri. Tapi, sepertinya sudah terlanjur—apapun maknanya. Pasti bakal jelas kelihatan bahwa saya kabur lintang pukang—ah, sungguh diskusi dengan diri sendiri yang absurd.
Terlalu lama diskusi dengan diri sendiri begitu, tahu-tahu kami sudah semakin mendekat. Beberapa langkah sebelum papasan, tiba-tiba mata saya bertemu dengan mata Oom Er. Deg! Aduh! Gimana nih? Ah, tapi biasa kan ya itu, berpapasan dengan dosen dan lalu bertemu mata—demikian saya menenangkan diri sendiri. Bisa terjadi dengan siapa saja, dan dengan dosen mana saja. Maka, secara reflek saya mengangguk sambil tersenyum kecil. Seperti yang saya lakukan kepada siapa saja dan dengan dosen mana saja. Netral saja.
Momentum pun terjadi. Kami berpapasan ya, bukan tabrakan. Jeng-jeng!!! Saya tetap tersenyum, dengan gaya yang disantai-santaikan. Oom Er balas tersenyum.
"Heeeiii..., anak kecil!!! Apa kabar!!!" Oom Er menyapa riang sambil menguyel-uyel ubun-ubun saya.
Yang terkejut bukan hanya saya. Demikian pula dengan para asistennya. Beberapa saya lihat sampai-sampai rahang bawahnya pada jatuh ke lantai.
"Baik, oom!!!" spontan aku menjawab dengan suara yang spontan keras dan girang.
Panggilan oom itu spontan saja keluar. Berhubung beliau buat saya adalah bapak dari sahabat lama. Bukan maksud hendak bikin kesal para asisten si oom.
Oom Er tersenyum sambil terus melangkah, dan melambaikan tangan pada saya yang juga tetap melangkah ke arah yang berlawanan. Pertemuan sekian detik itu pun berlalu. Senang hati saya, si oom masih ingat saya. Mungkin lupa nama, karena itu menyebut saya si anak kecil, tapi sudah past beliau ingat siapa saya. Saking senangnya hati, saya jalan kemudian sambil melompat-lompat kecil. Skip skip skip..., begitu.
Sejak itu, para asisten Oom Er ramah lho terhadap saya.
Al fatihah buat Oom Er...
Untuk Tante Marsya, saya berdoa agar beliau sehat selalu. Saya masih punya janji untuk menginap di rumah si tante. Sayang, pandemi segera melanda setelah janji terucap. Jangankan menginap, bertemu saja saya belum berani. =^.^=