SEMANGKOK INSPIRASI DARI PEKALONGAN

SEMANGKOK INSPIRASI DARI PEKALONGAN

Pekalongan, kota kecil di pantai utara Jawa, ternyata menyimpan cerita yang begitu inspiratif. Berawal dari berita yang saya dengar dari Kang Maman tentang seorang pedagang mi ayam yang bukan hanya lihai meracik mi ayam, tetapi juga piawai dalam meracik kata.

Mas Harso, begitu dia biasa dipanggil, memang tokoh unik. Di sela-sela kesibukannya berjualan mi ayam, dia mampu menerbitkan berbagai buku. Terus terang saya kagum bukan main padanya.

Kekaguman saya semakin membuncah sampai merinding ketika saya mendengar cerpennya terpilih sebagai cerpen terbaik Kompas, tahun 2024. Ini bukan ajang kaleng-kaleng. loh Di momen itu, Mas Harso mengalahkan nama-nama besar seperti Putu Wijaya dan Seno Gumira Ajidarma dalam ajang Anugerah Cerpen Kompas yang diselenggarakan di Bentara Budaya.

“Ih, hebat banget! Gue jadi pengen ketemu dia,” kata saya ke Kang Maman.

“Gue Jumat pagi mau nemuin dia. Mau ikutan?” tanya Maman.

“Mau tapi gue nyusul sorenya, ya? Tunggu anak gue pulang sekolah.” Momen-momen inspiratif seperti ini, memang saya biasakan untuk selalu mengajak anak saya supaya dia bisa memetik pelajaran hidup.

Jumat sore, kami memulai perjalanan dengan menumpang kereta Argo Sindoro dari Jatinegara. Kereta eksekutif ini melaju dengan tenang, membawa kami menembus hamparan sawah yang hijau dan rumah-rumah penduduk yang sesekali terlihat dari jendela. Di dalam kereta, obrolan kami penuh dengan antusiasme tentang sosok Mas Harso — nama pedagang mi ayam yang belakangan menjadi pembicaraan di dunia sastra.

“Bisa-bisanya, ya, seorang pedagang mi ayam mengalahkan maestro seperti Seno dan Putu,” celetuk Nyonyah tak henti berdecak kagum.

Sampai di Pekalongan, jam sudah menunjukkan pukul 9 malam. Kami menginap di Hotel Santika yang letaknya tepat di seberang stasiun Pekalongan. Besoknya, dengan menumpang Grab, kami menuju ke tujuan. Supir Grab langsung tau, menurut dia, Mas Harso cukup terkenal karena pernah diundang di acara Hitam Putih yang dikomandani Deddy Corbuzier.

Perjalanan nggak sampai 10 menit. Baru saja turun dari mobil, aroma khas mi ayam yang menggoda sudah merayu usus besar. Warung itu sederhana, dengan meja kayu tanpa kursi sehingga tamu harus lesehan. Di sana Kang Maman sedang mewawancara Mas Harso bersama dengan komunitas GNFI (Good News From Indonesia). Agar tidak mengganggu, saya sekeluarga duduk di pojokan sambil menyimak wawancara itu. Anak saya sesekali mengambil foto.

Sesi wawancara pun selesai. Mas Harso menyambut kami dengan senyum lebar. Sosoknya sederhana, mengenakan celana hitam selutut dikombinasikan dengan T-shirt hitam bertuliskan Basabasi Kafe. Sulit membayangkan bahwa pria ini adalah otak di balik cerpen “Istri Sempurna,” yang memenangkan Anugerah Cerpen Terbaik Kompas.

Kami langsung larut dalam obrolan hangat. “Dunia ini memang penuh kejutan,” kata Mas Harso sambil menyajikan mi ayam buatannya. “Saya cuma tukang mi ayam, tapi saya suka menulis. Dan ternyata, tulisan saya diapresiasi.”

“Keren banget.” Semua tamu tak henti-henti melontarkan kekaguman.

“Ada yang tanya ke saya ‘Mas Harso, kamu, kan, sibuk jualan mi ayam, kok sempet-sempetnya, sih, menulis cerpen?”

“Terus? Mas Harso jawab apa?” tanya saya.

“Saya jawab, ‘Emang jualan mi ayam, sibuk?’”

Hahahahaha...semua orang ngakak mendengar jawaban jenius itu.

Mas Harso terus bercerita. Dia menjual mi ayam dari jam 10 pagi sampai jam 10 malam. Dalam sehari, rata-rata dia bisa menjual 30 mangkok. Semangkok dia bandrol seharga Rp11 ribu. Karena tidak punya karyawan, dia meracik mi ayam dengan tangannya sendiri. Dan di tangan peracik mi ini jugalah lahir cerpen-cerpen yang mampu menembus halaman Harian Kompas dan akhirnya meraih penghargaan tertinggi.

“Kalau boleh tau, cerpen yang menang itu bercerita tentang apa. Mas Harso?” tanya saya ingin tau.

Dengan tersenyum malu-malu, Mas Harso bercerita bahwa “Istri Sempurna” terinspirasi dari bayangannya tentang masa depan di mana teknologi semakin mengambil alih kehidupan manusia. Cerita tentang seorang suami yang menceraikan istri karena terlalu sempurna. Sebuah kesempurnaan yang membuka tabir ternyata sang istri adalahlah kecerdasan buatan alias AI. Sebuah sudut pandang masa depan yang unik. Pemikiran itulah yang mungkin menyentuh hati pembaca dan dewan juri.

Nggak terasa kami menghabiskan waktu sampai 4 jam di warung itu. Selain mi ayam, kami juga menikmati semangkuk inspirasi. Perjalanan ini bukan hanya untuk bertemu seorang penulis, tetapi juga untuk belajar bahwa setiap orang punya cerita, dan setiap cerita berhak didengar.

Setiap kali mengajar literasi, saya selalu menyampaikan pesan yang sama pada peserta, yaitu: Jadilah penulis. Tapi kalo kalian memilih profesi yang lain, tetaplah menulis. Mau jadi insinyur, jadilah insinyur yang bisa menulis. Mau jadi aktor, jadilah aktor yang bisa menulis. Mau jadi Youtuber, jadilah Youtuber yang bisa menulis.

Jangan pernah bilang tidak bisa. Mas Harso adalah bukti nyata. Dia pedagang mi ayam dan dia adalah pedagang mi ayam yang bisa menulis. Terima kasih, Mas Harso. Pekalongan kini tidak hanya tentang batik, tetapi juga tentang mi ayam dan cerpen yang segera mendunia. Insya Allah. Aamiin. 

 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.