Cinta di Balik Heningnya Masker

Cinta di Balik Heningnya Masker

 

“Ya?” telepon dari Mawar yang sudah berbulan-bulan tidak pernah berkontak lagi mengagetkan saya di hening sore yang diselingi sayup pengajian masjid sebelah. 

 

“Mau curhat aja.” Jawabnya pendek. 

 

“Ga heran, kamu selalu lari ke saya tiap ada masalah, kan?” Saya ingin membuat ini seketus dan sedingin mungkin. Saya harus. 

 

“Ya Mas sudah tahu kondisinya, kan?” Tanyanya. 

 

“Ya, saya mengerti, kamu sudah cerita panjang lebar di whatsapp. Saya juga tidak tahu harus melakukan apa.” 

 

Terancam terusir dari tempat tinggalnya karena sudah bertahun-tahun tidak membayar, tanggungan anak begitu banyak, kena COVID, diberhentikan dari kerja, beban hidup yang harus dia lewati, selalu menjadi pikiran saya.

 

“Kamu sudah mengerti kan kalau Saya selalu berusaha ada buat kamu sampai jadi orang paling terakhir ada buat kamu, Mawar?”

 

“Iya. Saya berterima kasih untuk itu,” jawabnya. 

 

“Saya tidak ingin mengungkit. Tapi andai kamu mau menerima tawaran saya 6 bulan lalu, tidak perlu jadi seperti ini.” 

 

“Saya tidak ingin terus-terusan merepotkan Mas. Lagipula tawaran Mas terlalu aneh. Saya tidak mungkin terima,” jawabnya. 

 

“Ya sudah itu pilihan hidup kamu. Saya juga dengan pilihan hidup saya. Saya hanya apa adanya, tidak ingin meninggalkan orang yang saya sayangi sampai detik terakhir, sebisa saya.” 

 

“Tapi tidak dengan memaksa mau nikah, saya tidak mau.”

 

“Tidak ada juga yang mau memaksakan sejauh itu. Kamu saja yang melantur kejauhan. Saya hanya ingin status yang jelas saja ketimbang kamu hanya bolak-balik menumpahkan beban kamu ke saya, sementara tiap punya kesenangan, kamu bagi ke orang lain. Saya dilupakan.”

 

Dia hanya diam. 

 

“Hanya friendly date, berbagi cerita lucu, ketawa bareng. Kalau kamu punya masalah, ceritakan ke saya, saya tidak akan banyak komentar atau menghakimi. Itu saja. Soal jodoh atau tidak, itu rahasia Tuhan, Mawar. Kalau kamu memang jodoh, mau lari dan benci setengah mati pun akan datang juga.”

 

“Tapi sekarang saya stres, takut keluar dari rumah. Yang punya rumah ngejar-ngejar saya,” ungkapnya dengan panik. 

 

“Saya juga tidak tahu mesti bagaimana lagi. Saya sudah berdoa, tahajud, puasa buat kamu. Biasanya Tuhan selalu jawab. Sampai hari ini yang saya dapat cuma hening.”

 

“Giliran kamu yang berusaha beresin masalah kamu. Berdoalah,” sambung saya. 

 

“Saya coba,” jawabnya pendek. 

 

“Good, jadilah Mawar yang seperti dulu. Yang jujur dengan semua hidupnya, yang ga pernah menyerah. Saya juga punya banyak masalah. Itu yang ingin saya bereskan berdua dengan kamu. Tapi kalau pilihan kamu beda, saya mau bilang apa.”

 

“Saya hanya ingin menjauh dari semua masa lalu saya.” 

 

“Ya, lakukanlah, itu yang sementara mungkin perlu kamu lakukan. Menyendiri lagi. Tapi tidak perlu terlalu lama. Saya juga sekarang sedang menyendiri. Istirahat dari beban hidup. Tapi juga tidak selamanya. Dunia tetap berputar ada atau tidaknya kita,” jawab saya. 

 

“Dan saya bukan bagian dari masa lalu kamu, datanglah ke sini kalau memang butuh tempat cerita.”

 

“Saya hanya ingin kembali ke Ibu saya,” Ia menangis. 

 

“Good for you. Memang orangtua yang paling mengerti anaknya. Saya sekalipun tidak bisa seratus persen mengerti pikiran kamu, Mawar.”

 

“Saya mau pulang.”

 

“Pulanglah, tidak ada yang melarang. Meskipun saya ragu apakah kamu juga akan diterima di sana. Kalau kamu mau ke sini juga silakan. Ada banyak hal yang kamu tidak tahu yang mesti saya ceritakan.”

 

“Kan bisa di Whatsapp saja?”

 

“Tidak mungkin saya ceritakan semua tertulis. Banyak hal. Saya juga masih berhutang maaf langsung ke kamu.” 

 

“Tapi Mas ngotot banget ketemu sama saya.”

 

“Apa yang salah dari itu/ Saya sudah bilang tidak mau pusing mengejar cinta kamu. Hanya menganggap kamu kembali jadi teman, seperti dulu kita selalu berbagi tawa berdua. Ingat main Ludo bareng dan kamu ketawa karena saya biarkan menang? Kamu tertawa lebar sekali waktu itu. Masakin sesuatu buat kamu kalau kamu dan anak-anak lapar. Itu saja.”

 

“Saya ga suka main game.”

 

“Kamu selalu mati-matian berusaha melupakan apapun momen bahagia kita berdua. Walaupun itu sekedar ngopi sambil tetawa-tawa. Saya heran kenapa kalian perempuan berusaha seperti itu hanya untuk menunjukkan benci ke seseorang.”

 

“Terus mau ngapain?”

 

“Ya cerita banyak hal. Hidup saya punya banyak hal buat diceritakan. Saya juga kesepian hidup sendiri. Kamu punya banyak masalah. Apa salahnya saling menghibur dan ketawa bareng? Cinta ga harus berarti ke pasangan. Cinta ke sahabat itu juga cinta. Sayang, lebih tepatnya.”

 

“Sayang itu ga obsesif, Mas!” potongnya.

 

“Ya emang ga. Kamu tidak mau juga terserah. Kamu tidak terima rasa sayang saya juga bodo amat. Perempuan di dunia ini masih banyak, tidak kamu saja. Saya sudah belajar soal itu, kok. Sudah belajar dari banyak perempuan setelah kamu. Semua datang dan pergi begitu saja.”

 

“Tapi saya ga mau!”

 

“Ya masa bodoh, kalau begitu pergilah dari hidup saya. Ngapain kamu terus-terusan datang dengan segudang masalah seperti ini ke saya?”

 

Lalu pembicaraan terputus. Lama sekali sebelum akhirnya kami bicara lagi. Sudah azan, waktunya kembali Salat, mengadukan soal orang-orang sekitar saya, tentang perasaan saya, tentang beban hidup saya, kembali ke satu-satunya orang yang mesti mendengarnya, Tuhan. 






 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.