Demi Secangkir Kopi

Demi Secangkir Kopi
Photo by Pedro Figueras from Pexels

Aku tersentak. Gelap sekali. Kucoba membuka mata. Masih gelap rasanya.

Ternyata penutup mata ini masih membuat mataku terasa lengket.

Kurasakan lenganku begitu kaku dan lelah.

Ternyata sejak semalam lenganku terangkat ke atas.

Kugoyang-goyangkan pergelangan tanganku, oh masih terikat. Tali pengekang yang mengikat pergelangan tanganku sepertinya menimbulkan luka dan perih luar biasa.

Kucoba membuka mulutku. Oh tidak lagi diplester!

“Halo…?!” Rasanya parau sekali tenggorokanku… Aku haus, aku harus minta tolong. Aku butuh air.

Tiba-tiba terasa ada angin dingin menyentuh betisku yang telanjang. Terdengar seperti suara pintu terbuka, pintu geser otomatis terbuka.

“Halo?”

Kudengarkan ada suara orang berbicara, tapi dengan bahasa yang tak kupahami. Terasa begitu asing. Seperti orang sedang bergumam, tidak jelas. Kudengar langkah kaki mereka mendekat. Bau apa ini? Seperti bau… cairan pemutih. Kutahan nafasku, tapi bau itu begitu menyengat. Aku sempat khawatir mereka akan menyuntikkan cairan serupa pemutih ke tubuhku. Ternyata mereka hanya berbincang dengan bahasa yang sangat asing itu. Terdengar ada ‘kata’ yang bernada tinggi, tapi lebih dominan rendah.

“Halo?” sapaku lagi.

Mereka berhenti bicara. Aku bisa merasakan salah satu atau keduanya mendekatkan bagian kepala mereka ke arah kepalaku. Tiba-tiba kurasakan ada yang sangat dingin menyentuh bibirku. “Aw!” refleksku.

Mereka menjauh.

Dalam gelap bisa kurasakan seperti ada luka di bibirku. Rasa asin dengan sedikit rasa besi terasa di bibirku. Bibirku berdarah… terluka… Jangan-jangan mereka yang melakukan ini padaku, menyiksaku tanpa aku sadari!

Lalu kurasakan salah satu dari mereka mendekatkan dirinya padaku, dan menyentuh bibirku dengan tangan atau bagian tubuh apapun itu yang dingin. Kujilat bibirku perlahan. Lho, kemana perginya rasa darah itu? Ajaib! Luka itu sembuh!

Masih mahluk yang sama. Ia seperti penasaran, sayang saja aku tak bisa melihat wajahnya. Aku hanya bisa merasakan deru nafasnya semakin dekat, dan bau menyengat seperti cairan pemutih itu.

“Koooo….piii…” kata suara itu, mengucapkan sebuah kata yang tak asing di telingaku.

“Hah? Apa? Kopi?” tanyaku, mengonfirmasi.

Sayang aku tak bisa melihat air muka atau reaksinya.

“Koooo… piii…” katanya lagi.

“Apa mau kalian?!” tanyaku agak berang. Rasa letih itu membangkitkan amarahku. Aku benar-benar tak ingat mengapa aku berada di sini, berada di posisi ini sekarang. “Hey!!!” teriakku penuh amarah. Dengan tangan di atas terikat begini, kakiku terasa begitu lemas. Ingin aku menendang mereka saat mereka mendekat, tapi sulit dan kaku rasanya.

“Koooo… piiii…” kata salah satu mahluk itu lagi.

“Iya! Kopi apa?!!” semakin parau dan sakit rasanya berteriak menahan rasa sakit ini. Hey mahluk asing! Kalian tadi menyembuhkan luka di bibirku! Lepaskan aku sekarang!

Aku meronta penuh kemarahan, hingga rasa gelap yang begitu kelam menghampiriku lagi.

Dan lalu aku berada di sini.

Rasa kaku di tanganku menghilang. Aku bisa menyentuh wajahku lagi. Aku mencoba membuka mata, dan tersentak kaget. Dimana ini? Kudapati diriku tertidur di ranjang kecil di dalam ruang yang keseluruhannya berwarna putih. Ranjang kecil itu terbungkus sprei putih, harumnya sangat familiar, seperti sprei yang biasanya ibu pasang di setiap ranjang di rumah kami.

Ruang apa ini? Batinku dalam hati.

Tiba-tiba kudengar suara ketukan perlahan di pintu.

“Gus…” Hah? Suara itu… familiar sekali. Suara Ibu!

Dengan cepat kubangkit dari tidurku dan kubuka pintu kamar. Aku mengira akan melihat sosok ibu. Mungkin aku sudah di surga, akhirnya bertemu Ibu! Harapanku langsung buyar!

Di hadapanku berdiri sesosok mahluk dengan tinggi badan sedang. Ia berpakaian serba putih, seperti teknisi-teknisi laboratorium. Aku hanya bisa melihat matanya. Begitu biru, begitu jernih. Tapi kulitnya berwarna berbeda dengan kulitku. Seperti bukan kulit manusia, meskipun teksturnya seperti tekstur kulit manusia. Di tangannya ia membawa nampan berisi sebuah cangkir yang juga berwarna putih berisi cairan hitam yang harumnya sangat familiar. Harum kopi arabica.

Dia menyodorkan nampan itu kepadaku. “Kopi, Gus.”

Hmmm… aneh betul, aku disodori kopi. Maksudnya apa?

Kuendus sedikit kopi itu. Jangan-jangan sudah dibubuhi arsenik. Dengan cepat kugelengkan kepalaku, “Ngga!”

Tapi dia bergeming. “Kopi, Gus.”

“Ngga ah! Nanti sudah kau taburi arsenik lagi!”

“Kopi, Gus.”

Dua hari tanpa air, tanpa makanan, secangkir kopi harum itu benar-benar membuatku tak bisa berpikir jernih lagi. Meskipun aku agak takut mati, rasa lapar, haus, dan letih ini mendominasi. Kewaspadaanku runtuh.

“Kopi, Gus.” Katanya lagi. Suaranya… suara ibu… seperti suara yang setiap pagi kudengarkan sehabis mandi dan bersiap melaut.

Ah persetan lah! Kalaupun aku mati, paling tidak aku akan ada kesempatan bertemu sekali lagi dengan ibu.

Kuambil cangkir putih berisi kopi arabica itu dan kusesap perlahan. Tuhan… nikmat betul… Kopi pahit yang terasa menyentuh lidahku, meninggalkan jejak rasa asam yang khas arabica. Kopi ini persis kopi seduhan almarhum ibu. Biasanya beliau juga menggorengkanku pisang dan menyajikannya dengan sambal roa yang beliau racik sendiri. Oh rindunya aku pada ibu…

Kupejamkan mataku, kurasakan betapa cairan hitam, harum dan hangat itu membasahi kerongkonganku yang sudah dua hari ini tak tersentuh air dan makanan. Cairan hitam itu seperti langsung menuju pembuluh darahku, memacu jantungku tapi juga seperti melepaskan hormon endorfin begitu deras, begitu dahsyat. Kerinduanku pada ibu, pada secangkir kopi seduhan ibu yang selalu menemani hari-hariku sejak mulai bersiap melaut hingga saat aku pulang dan menambatkan perahu kecilku.

Ibu akan mengulurkan tangannya, dan kucium harum tangan ibu yang sangat kurindukan. Harum cinta, berpadu dengan aroma racikan bumbu-bumbu yang akan selalu hadir di setiap makan siang dan malam kami.

Rasa rindu yang menguasaiku, membuat air mataku menetes di pipi. Kuteguk habis kopi dalam cangkir putih itu. Kutarik nafas panjang dan tiba-tiba aku merasa tubuhku begitu ringan. Semakin ringan…

Kutanggalkan semua keletihanku, ketidaktahuanku, ketidakpastian yang selama dua hari ini meraja.

Keesokan paginya... 

Davina membuka body bag yang ada di hadapannya. Jasad lelaki itu sudah kaku, warna kulitnya sudah membiru. Tapi di wajahnya tersungging senyum yang begitu tulus. Davina mendekatkan kepalanya ke bagian wajah mayat lelaki itu. Hmmm… ada bau yang sangat familiar. Bau apa ya? Kopi?

“Minta Lab segera memproses mayat ini, ya!” perintahnya pada salah satu anak buahnya yang mengangkat mayat dalam body-bag itu.

“Siap, bu!”

Kasus ini sudah ke sekian kali terjadi. Mereka mendapatkan laporan penemuan mayat di lokasi-lokasi aneh yang semua terlihat mirip. Mati dalam keadaan tersenyum, dan tercium bau kopi dari mulut mereka. Tidak ada kesamaan lain selain dua hal itu. Beberapa mayat sebelum ini setelah diselidiki memiliki latar belakang yang begitu berbeda. Ada yang guru, ada yang dokter, pekerja rumah tangga, tukang ojek, hakim, dan yang baru ditemukan pagi ini, seorang nelayan muda.

Desas desus yang beredar adalah ini kasus penculikan oleh alien. Davina tersenyum kecut. Mana ada alien di sini... Alien cuma bertandang ke bagian utara dunia. Di sini terlalu subur dan terlalu hangat mungkin bagi mereka. 

"Kopi, Vin?" sebuah suara membuyarkan lamunannya, menawarinya minuman kesukaannya yang entah sudah berapa cangkir ia teguk sejak tadi pagi. 

Davina menolehkan kepalanya dan dilihatnya sesosok berpakaian serba putih, bertinggi sedang menyodorkannya nampan dengan cangkir putih berisikan kopi panas yang harumnya begitu membuai panca inderanya. 

 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.